c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

27 Agustus 2024

20:18 WIB

Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi Bertentangan Dengan Konstitusi 

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengingatkan, UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat warga negara

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Nofanolo Zagoto

<p><b id="isPasted">Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi Bertentangan Dengan Konstitusi&nbsp;</b></p>
<p><b id="isPasted">Kekerasan Aparat Terhadap Massa Aksi Bertentangan Dengan Konstitusi&nbsp;</b></p>

Personel kepolisian berupaya membubarkan unjuk rasa penolakan pengesahan Revisi UU Pilkada di sekitar Kompleks Gedung DPRD Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/8/2024). Antara Foto/Aji Styawan

JAKARTA - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa aksi belakangan ini bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan berbagai peraturan perundangan menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berpendapat warga negara.

"Kekerasan yang demikian brutal dilakukan oleh kepolisian ini patut untuk dipertanggungjawabkan dan institusi negara juga seharusnya tidak boleh diam, termasuk Presiden Jokowi, DPR, dan juga Komnas HAM," ujar Dewan Pengarah KIKA, Herlambang P. Wiratraman, dalam konferensi pers daring, Selasa (27/8).

Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menilai, kekerasan dari kepolisian justru akan melahirkan ketidakpercayaan publik. Jika kekerasan terus terjadi, bukan tidak mungkin kekuatan masyarakat yang jauh lebih besar akan lahir sebagai upaya menegakkan konstitusi.

Herlambang juga menyoroti, banyak korban kekerasan polisi merupakan mahasiswa dan pelajar. Padahal, mereka memiliki hak berekspresi di ruang publik yang dilindungi oleh hukum. Artinya, kekerasan yang mereka alami merupakan represi terhadap kebebasan akademik.

Perwakilan KIKA lainnya, Syukron Salam menambahkan, aparat keamanan telah menggunakan gas air mata, kekerasan fisik, melakukan penangkapan, dan diduga melakukan sweeping terhadap massa aksi Darurat Demokrasi di berbagai kota.

Dia merinci, pada aksi pertama di Jakarta sebanyak 39 korban mendapat serangan dan penahanan dari aparat. Di Bandung, dua korban luka parah dan satu di antaranya berpotensi kehilangan satu bola mata akibat lemparan batu.

Lalu, sebanyak 22 pelajar massa aksi di Semarang ditangkap dan tidak boleh didampingi. Hal serupa terjadi di berbagai kota lainnya.

Atas tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan, KIKA mengeluarkan maklumat yang berisi enam poin. Pertama, Kapolri dan seluruh jajaran kepolisian harus menjaga anak buahnya agar tidak melakukan kekerasan dan menggunakan senjata yang merupakan tindak pidana dan pelanggaran HAM berat.

Kedua, Mabes Polri memerintahkan seluruh jajarannya untuk memberikan HAM berupa akses bantuan hukum yang terbuka, melepaskan massa aksi yang masih ditahan, dan memberikan sanksi tegas kepada aparat yang melakukan kekerasan.

Ketiga, Kapolri segera menarik surat imbauan pemberian sanksi dari Kapolrestabes Semarang kepada sekolah menengah yang pelajarnya terlibat demonstrasi. KIKA menilai ini adalah bukti Polri menjadi alat pemerintah dan bertindak di luar kewenangannya.

Keempat, Komnas HAM, Kompolnas, KPAI, Ombudsman RI, dan Komnas Perempuan segera melakukan pemantauan lapangan. Khususnya, Komnas HAM perlu segera melakukan penyelidikan pro-yustisia atas dugaan pelanggaran HAM berat selama aksi.

Kelima, pemberitahuan untuk tidak mengikuti aksi adalah pelanggaran hak warga negara dan kebebasan akademik. Oleh karena itu, sekolah, universitas, dan lembaga lainnya tidak selayaknya memberi ancaman, pemidanaan, atau pendisiplinan pada peserta didik.

Keenam, KIKA mengimbau masyarakat dan massa aksi untuk tetap bergerak serta menggunakan tagar #DaruratKekerasanAparat dan #PanggilanDarurat sebagai protes terhadap kekerasan dan intimidasi yang terjadi.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar