11 Oktober 2025
08:39 WIB
Kejagung: Tak Ada Istilah Oplosan Untuk Korupsi Pertamina
Kejagung pakai istilah blending dalam perkara korupsi minyak mentah ini dengan terdakwa petinggi PT Pertamina Patra Niaga.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna (kedua kiri). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/bar.
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan, tidak ada istilah “oplosan” dalam berkas dakwaan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada periode 2018-2023 di PT Pertamina Patra Niaga.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna di Jakarta, Jumat (10/10) menjelaskan, secara teknis, perbuatan mencampur bahan bakar dengan RON yang berbeda bukan disebut dengan "oplosan", melainkan disebut dengan "blending".
“Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah. Istilahnya bukan oplosan, melainkan blending-an dan memang secara teknis memang begitu. Tidak ada istilah oplosan, tetapi blending,” urai dia dikutip dari Antara.
Mengutip laman KBBI, kata oplosan bermakna hasil mengoplos, campuran, dan larutan.
Sedangkan, kata campur memiliki arti berkumpul (beraduk, berbaur, berkacau) menjadi satu, bersama-sama, bersetubuh, dan bersanggama.
Sementara, blending, mengacu google translate dalam Bahasa Indonesia bermakna pencampuran.
Baca juga: Eks Dirut Pertamina Patra Niaga Didakwa Perkaya 2 Perusahaan Singapura Secara Ilegal
Pada Kamis (9/10), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang dakwaan bagi empat terdakwa dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada periode 2018–2023.
Empat terdakwa itu adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga tahun 2023 Riva Siahaan, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga tahun 2023 Maya Kusuma, Vice President Trading Produk Pertamina Patra Niaga Edward Corne periode 2023-2025, serta Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) periode 2022-2025 Sani Dinar Saifudin.
Para terdakwa diduga telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan secara hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah merugikan negara senilai Rp285,18 triliun.
Penuntut umum dari Kejaksaan Agung Feraldy Abraham Harahap yang membaca surat dakwaan pada sidang di Pengadilan Tipikor itu pembacaan surat dakwaan menjelaskan, saat impor produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM), keempat terdakwa telah memperkaya BP Singapore Pte Ltd dalam pengadaan gasoline (bensin) RON 90 pada paruh pertama (H1) tahun 2023 sebesar US$3,6 juta dan pengadaan bensin RON 92 pada paruh pertama 2023 sebesar US$745.493 serta Sinochem International Oil (Singapore) Pte Ltd dengan membeli bensin RON 90 pada paruh pertama 2023 sebesar US$1,39 juta.
Selain itu, dalam penjualan solar nonsubsidi, perbuatan para terdakwa telah memperkaya 14 korporasi lainnya senilai Rp2,54 triliun.
Dengan demikian, kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus tersebut sebesar Rp285,18 triliun. Meliputi, kerugian keuangan negara sebesar US$2,73 miliar dan Rp25,44 triliun, kerugian perekonomian negara Rp171,99 triliun, serta keuntungan ilegal US$2,62 miliar.
Kerugian keuangan negara dimaksud terdiri atas US$5,74 miliar dalam pengadaan impor produk kilang atau BBM serta Rp2,54 triliun dalam penjualan solar nonsubsidi selama periode 2021-2023.
Sementara, kerugian perekonomian negara merupakan kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut. Lalu, keuntungan ilegal didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri.