c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

05 September 2024

15:42 WIB

Kebijakan RI Soal EBT Tak Jiplak Negara Maju

Potensi besar milik RI menyoal karbon menjadi salah satu pertimbangan pembuatan kebijakan RI soal EBT berbeda dengan negara lainnya.

Editor: Rikando Somba

<p>Kebijakan RI Soal EBT Tak Jiplak Negara Maju</p>
<p>Kebijakan RI Soal EBT Tak Jiplak Negara Maju</p>

Ilustrasi seseorang saat menginstalasi lampu hemat energi dengan tenaga surya. Shutterstock/comzeal images

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, kebijakan Indonesia terkait energi baru terbarukan (EBT) tidak akan serupa dengan negara-negara lain. Dia menegaskan, kebijakan yang dibuat pemerintah, mempertimbangkan faktor-faktor lain termasuk mendukung kesejahteraan rakyat.

"Kita tidak mau apapun policy yang kita buat itu mengganggu pertumbuhan ekonomi kita dan itu harus juga betul dinikmati oleh rakyat-rakyat kecil kita. Makanya policy kita mengenai energi terbarukan itu tidak bisa serta-merta mencontoh negara-negara maju," kata Menko Marves Luhut dalam konferensi pers usai pembukaan International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis (5/9).

Dia memberi contoh bagaimana Indonesia memiliki aset besar dalam penanganan perubahan iklim, termasuk potensi penyimpanan emisi karbon sekitar 600 gigaton melalui Carbon Capture and Storage (CCS).  

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki ekosistem mangrove seluas 3,3 juta hektare yang memiliki kemampuan besar untuk menyimpan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak hanya di atas permukaan, tapi juga di bawah permukaannya.   

Luhut menjelaskan bahwa emisi per kapita Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara maju, dengan catatan 2 ton per kapita karbon emisi dibandingkan 14-15 ton per kapita untuk Amerika Serikat.  


Dengan potensi itu, Luhut optimistis Indonesia dapat mencapai kondisi net zero emission atau emisi nol bersih lebih cepat daripada target 2060 dengan kerja sama berbagai pihak termasuk mendorong penggunaan kendaraan listrik.

Hal itu karena penggunaan bahan bakar fosil menimbulkan berbagai kerugian bagi Indonesia, termasuk polusi udara yang berbahaya untuk kesehatan.

"Air pollution kita keluar Rp38 triliun. Ya dari pemerintah saja di BPJS akibat dari air pollution di Jakarta," katanya.

Dipisah Dua Kementerian
Sementara, Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyarankan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto agar memisahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan (KLHK) menjadi dua kementerian yang berdiri sendiri Menurut Presiden keenam Indonesia itu, pemisahan lebih efektif dalam mengatasi perubahan iklim.

Di sela-sela acara Bloomberg CEO Forum Gala Dinner di Jakarta, Rabu malam, Presiden Ke-6 RI itu menilai pemisahan ini penting agar kementerian tersebut dapat lebih fokus pada tugasnya dalam menghadapi isu-isu perubahan iklim di tingkat global.

"Saya telah berbicara dengan Presiden Prabowo dan saya mengusulkan kepadanya agar Kementerian Lingkungan Hidup didirikan kembali menjadi kementerian yang berdiri sendiri. Sekarang Kementerian Lingkungan Hidup menjadi bagian dari Kementerian Kehutanan (KLHK). Kita harus pisahkan itu, karena Kementerian Lingkungan Hidup harus fokus pada fungsi dan tugasnya sendiri secara global,” kata Susilo Bambang Yudhoyono.

Dikutip dari Antara, SBY mengungkapkan bahwa Presiden Terpilih Prabowo sependapat dan berjanji akan mempertimbangkan pembentukan kembali Kementerian Lingkungan Hidup sebagai kementerian tunggal. Diyakininya, adanya kementerian yang fokus pada perubahan iklim, Indonesia diharapkan dapat lebih maksimal dalam berkontribusi terhadap upaya global mengatasi pemanasan bumi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar