17 Maret 2025
18:39 WIB
Kasus Reses Ilegal, KPK Didesak Periksa Pimpinan DPD RI
Fakta dan bukti baru terus bermunculan di media, atas kasus reses ilegal atau sering disebut kelebihan reses yang dilakukan anggota DPD RI
Pimpinan DPD RI terpilih 2024-2029 dalam sidang Paripurna Pemilihan Pimpinan DPD RI di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/10/2024) Antara/ Aditya Pradana Putra
JAKARTA- Tuntutan agar Koisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti kasus dugaan resese ilagal yang dilakukan Dewan Perwakilan daerah (DPD), terus mengemuka. Kali ini, tuntutan tersebut disuarakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (PP Perisai) Chandra Halim di Jakarta, Senin (17/03).
Chandra meminta KPK untuk segera tangkap Sultan Najamudin dan semua pimpinan DPD RI terkait kasus korupsi anggaran reses ilegal DPD RI. "Kami tegaskan kembali tuntutan kami agar KPK segera tangkap Ketua DPD RI Sultan Najamudin dan semua pimpinan DPD RI, termasuk Tamsil Linrung karena perbuatan melawan hukum melaksanakan reses ilegal yang merugikan keuangan negara puluhan miliar rupiah," tegas Chandra dalam keterangannya, Senin (17/3).
Kata Chandra, fakta dan bukti baru terus bermunculan di media, atas kasus reses ilegal atau sering disebut kelebihan reses yang dilakukan anggota DPD RI. "Faktanya sudah banyak di medsos, salah satunya diungkap anggota DPD RI La Nyalla Mattalitti di Podcast Forum Keadilan. Pimpinan DPD RI berinisiatif melaksanakan reses dua kali walau melanggar aturan. Termasuk meminta buka blokir anggaran," ujar Chandra.
Ia melanjutkan, dua kali pimpinan DPD RI berkirim surat permintaan pembukaan blokir anggaran dan kedua permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Menteri Keuangan. “Ini jelas pelanggaran hukum yang tidak bisa ditolerir,” serunya.
Chandra menambahkan, dari data yang dimilikinya, Tamsil Linrung termasuk pimpinan DPD RI yang diduga paling aktif mendorong dilaksanakannya reses Ilegal. "Pimpinan DPD RI tetap melaksanakan reses sebanyak dua kali, dimana seharusnya tidak boleh dilaksanakan. Ini jelas perbuatan melawan hukum yang terang benderang dan korupsi paling nyata dan brutal." jelasnya.
"Oleh karena itu dengan fakta hukum yang terang benderang sedemikian rupa tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak segera menangkap semua pimpinan DPD RI. Termasuk juga Kesekjenan DPD RI," ucap Chandra.
Disampaikan oleh Chandra, PP Perisai bersama dengan sejumlah organisasi kepemudaan akan menggelar Diskusi Publik Bedah Kasus Reses Ilegal DPD RI dengan mengundang stakeholder dan melibatkan mahasiswa.
"Kita undang narasumber dari pimpinan DPD, KPK, Anggota DPD, dan Tokoh Bangsa yang selama ini konsen pada isu pemberantasan korupsi. Kita akan buat Korupsi Reses Ilegal DPD RI semakin terang benderang," pungkas Chandra.
Kerugian Negara
Sebelumnya, tuntutan senada datang dari Dewan Pimpinan Pusat Serikat Sarjana Muslimin Indonesia (DPP SESMI) yang disampaikan langsung oleh Ketua Umum DPP SESMI Sanusi Pani.
“Reses illegal yang diduga diinisiasi oleh pimpinan DPD RI harus diusut tuntas karena merupakan perbuatan melawan hukum dan menyebabkan kerugian keuangan negara puluhan miliar,” kata Sanusi di Jakarta, Senin (10/03).
Ia melanjutkan, perbuatan serius melawan hukum oleh 150 anggota DPD RI tidak mungkin bisa dilakukan tanpa seijin pimpinan DPD. Menurutnya, sebagian anggota DPD dan pimpinan DPD adalah orang-orang lama di DPD yang sudah tahu mekanisme reses termasuk segala aturan perundangan tentang reses.
“Undang-Undang MD3 mengatur, reses DPD RI mengikuti atau selaras dengan reses DPR RI sebanyak empat kali, bukan lima kali seperti yang dilakukan DPD RI. Kelebihan reses ini hanya bisa dilakukan sepengetahuan atau inisiatif pimpinan DPD,” ujarnya.
“Selain itu, sekretariat tidak mungkin mengikuti kemauan DPD RI melaksanakan reses lima kali dalam satu tahun sidang kalau tidak ada tekanan atau intervensi dari yang lebih kuat atau pimpinan DPD,” ucap Sanusi.
Oleh karena itu, ia meminta lembaga anti rasuah KPK segera turun mengusut secara tuntas kasus reses illegal atau kelebihan reses yang sengaja dilakukan, dengan tujuan untuk memperkaya diri.
“Pimpinan DPD RI setidaknya telah melanggar tiga undang-undang yang mengatur, diantaranya, Undang-undang MD3, Undang-Undang Tentang Penyelenggara Negara dan Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara,” tuturnya.
Ia menegaskan, reses illegal atau kelebihan reses yang merugikan keuangan negara puluhan miliar bukan sekedar pelanggaran etik tapi juga pelanggaran pidana serius. “Karena itu harus diproses hukum secara terbuka terang benderang tidak bisa selesai hanya dengan pengembalian uang kepada negara. Usut tuntas,” tegas Sanusi.
Tiga UU
Beberapa wakt lalu, desakan yang sama juga datang dari Aliansi BEM NKRI. Mereka bahkan sempat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (24/2/2025). Aksi ini dilakukan untuk mendesak KPK segera mengusut dugaan penyalahgunaan keuangan negara oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, terkait penambahan jumlah reses pada tahun 2024, yang diduga melanggar aturan dan berpotensi merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah.
Dalam pernyataan tertulisnya, Komite Aksi Aliansi BEM NKRI menegaskan, keputusan Pimpinan DPD RI untuk mengadakan dua kali reses dalam periode Oktober hingga Desember 2024 bertentangan dengan aturan yang berlaku. Mereka menyoroti, pelanggaran ini tidak hanya merupakan penyimpangan prosedural, tetapi juga bertentangan dengan tiga undang-undang, yakni UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kevin Simamora, Koordinator Lapangan yang juga merupakan Presiden Mahasiswa Universitas Jayabaya menegaskan, keputusan tersebut bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga berpotensi memperkaya diri atau kelompok tertentu. Hal ini terjadi karena anggaran reses yang bernilai puluhan miliar rupiah telah dicairkan dan diterima oleh anggota DPD RI, meskipun secara aturan mereka hanya berhak atas satu kali reses dalam periode tersebut.
"Kami sudah menelusuri pola reses DPR dan DPD dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2019, DPR RI hanya melaksanakan satu kali reses dalam periode Oktober hingga Desember. Tetapi yang terjadi di DPD RI pada tahun 2024 ini justru anomali. Mereka melaksanakan dua kali reses dalam periode yang sama, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini jelas bukan kesalahan teknis, tetapi ada unsur kesengajaan yang berpotensi merugikan keuangan negara," ucap Kevin.
Sebelumnya, Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mengkritik keras kebijakan penambahan jumlah reses di DPD RI pada rentang bulan Oktober hingga Desember 2025, dari seharusnya satu kali, menjadi dua kali. Menurutnya, menambah jumlah reses dari empat kali menjadi lima kali pada tahun persidangan terakhir, dianggap tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dapat berujung pada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara.
Sebab, kata Hardjuno, masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR. Sedangkan di rentang Oktober hingga Desember 2025, DPR hanya satu kali reses. “Saya kira, selain melanggar UU MD3, penambahan reses ini tentu akan memberikan tekanan yang berat kepada APBN kita. Ini mencerminkan para pembuat kebijakan di DPD tidak memiliki sense of crisis,” kata Hardjuno di Jakarta, Kamis (15/1).
Ia pun menegaskan, uang pajak rakyat yang dipakai untuk membiayai penambahan reses anggota DPD RI ini sangat besar. Bahkan angkanya mencapai miliaran rupiah.
“Kita tahu uang reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR dan DPD cukup besar. Kalau tidak salah setiap orang menerima lebih kurang Rp350 juta sekali reses. Sedangkan jumlah anggota DPD sekarang 152 orang. Jadi dikalikan saja, berapa uang APBN yang terkuras untuk penambahan reses DPD RI ini,” tegas Hardjuno.