22 November 2022
19:49 WIB
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyarankan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo agar melakukan pemeriksaan internal terkait dugaan pelanggaran proses hukum oleh oknum polisi yang menangani kasus pemerkosaan pegawai di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM).
"Termasuk juga membuka peluang dilakukan proses pidana apabila ditemukannya dugaan obstruction of justice oleh oknum anggota Polres Bogor," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, di Jakarta, seperti dilansir Antara, Selasa (22/11).
Terkait Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur penerapan keadilan restoratif, LPSK merekomendasikan agar dievaluasi secara akademis dan dari sisi kacamata hukum. Tujuannya, agar penerapan keadilan restoratif sesuai atau tepat sasaran, dan tidak asal-asalan.
"Jadi kita tahu kapan suatu perkara dapat dilakukan dengan pendekatan restorative justice atau tidak," ujar Edwin.
Dorongan evaluasi penerapan keadilan restoratif tersebut, juga demi menghindari adanya transasksional justice. Dalam poin-poin rekomendasi LPSK, juga disebutkan bahwa kejahatan yang meresahkan masyarakat dan ancaman pidananya tinggi, selayaknya tetap diselesaikan di meja pengadilan.
Terakhir, kepentingan korban dan masyarakat atas keadilan serta rasa aman harus menjadi satu standar penegakan hukum di Tanah Air.
Tak Sesuai KUHAP
Dirinya juga sempat menyampaikan bahwa surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Penghentian perkara ini tidak sesuai ketentuan Pasal 109 Ayat (2) KUHAP dan tidak sejalan dengan Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana," kata Edwin..
Dengan demikian, penghentian penyidikan kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan pegawai Kemenkop UKM tersebut disebutnya memang harus batal demi hukum.
Selain menyoroti penghentian penyidikan, Edwin juga menyoroti penyelesaian kasus tersebut dengan mekanisme keadilan restoratif. LPSK menilai cara itu tidak tepat karena tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Alasannya, pertama, peristiwa pemerkosaan adalah suatu perbuatan yang meresahkan masyarakat. Kedua, pemerkosaan dikategorikan sebagai perbuatan yang berat dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun sesuai Pasal 286 KUHP.
Dalam Perkap Nomor 6 Tahun 2019 itu disebutkan bahwa suatu kasus dapat dihentikan apabila penyidik belum menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum. Sementara itu, dalam perkara dugaan pemerkosaan terhadap pegawai Kemenkop UKM, SPDP sudah dikirim penyidik sejak Desember 2019.
Kasus yang terjadi di penghujung tahun 2019 tersebut diduga juga terjadi upaya perintangan keadilan atau obstruction of justice berupa pelanggaran etika dan disiplin oleh anggota Polres Bogor Kota.
"Karena oknum anggota Polresta Bogor Kota ini berperan aktif mendorong terjadinya perdamaian tersebut," ujar Edwin.
Tak hanya LPSK, Tim Independen Pencari Fakta pengungkapan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual pegawai Kemenkop UKM juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi.
Tim yang diketuai oleh Ratna Batara Munti tersebut merekomendasikan agar dua pegawai negeri sipil (PNS) yang merupakan pelaku utama dalam kasus tersebut diberhentikan.
"Dua orang PNS yang awalnya hanya menerima sanksi penurunan masa jabatan satu tahun direkomendasikan untuk diberhentikan sebagai PNS," kata Ratna Batara Munti.