23 Februari 2024
20:20 WIB
Editor: Rikando Somba
SAMARINDA - Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) kini sudah mempunyai 287 bank sampah yang aktif tersebar di 10 kabupaten dan kota. Sebagai dampaknya, sudah ada lima kabupaten dan kota di Kaltim sudah berhasil meraih penghargaan Adipura, yaitu Kota Balikpapan, Kota Bontang, Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Paser.
Dua di antaranya, yaitu Kota Balikpapan dan Kota Bontang, bahkan sudah meraih penghargaan tingkat ASEAN, yaitu ASEAN Environmentally Sustainable Cities (ESC) Award.
"Bank sampah ini merupakan salah satu solusi untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir -TPA-, sekaligus memberdayakan masyarakat untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari sampah yang mereka miliki," kata Pejabat Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan (Pedal) Ahli Muda Dinas Lingkungan Hidup Kaltim Andi Sitti Asti Suriaty di Samarinda, Jumat (23/2).
Dia menjelaskan, Adipura sebagai penghargaan di bidang lingkungan yang menjadi pemacu bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk senantiasa menjaga keasrian wilayahnya. "Kami berharap, pada tahun ini, kota-kota di Kaltim dapat mempertahankan atau meningkatkan prestasi mereka dalam pengelolaan sampah dan lingkungan," katanya.
Sitti mengatakan, dengan banyaknya bank sampah itu, masyarakat dapat memilah sampah di rumah dan menyerahkannya ke bank sampah terdekat. Sampah itu bisa ditukarkan dengan uang, tabungan, atau barang sesuai dengan nilai sampah tersebut.
Dikutip dari Antara, Salah satu bank sampah di Kaltim yang aktif dengan inovasi pengelolaan sampah menjadi barang bernilai yakni Remaja Kreatif Peduli Lingkungan (RKPL) Swarga Bara, Kutai Timur. Bank sampah tersebut berhasil mengubah limbah sayuran dari masyarakat menjadi pupuk kompos yang dijual ke masyarakat.
"Selain sampah plastik yang dipilah-pilah, kami juga mengumpulkan limbah sayuran dan sampah organik lain yang diolah menjadi pupuk. Alhamdulillah sudah bisa menghasilkan dari penjualan kompos," kata Ketua RKPL Andhika Yohantoro.

Dana Kelola Sampah Organik
Sementara di Kota Yogyakarta, pemerintah setempat mengalokasikan anggaran dari Dana Keistimewaan (Danais) DIY sebesar Rp100 juta per kelurahan untuk kegiatan pengolahan sampah organik.
"Dana itu dimanfaatkan untuk meningkatkan pengurangan sampah organik," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Sugeng Darmanto pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024 di Embung Langensari, Yogyakarta, Rabu.
Dalam peringatan HPSN itu, Pemkot Yogyakarta mencanangkan gerakan olah sampah organik dari rumah bertajuk "Organikkan Jogja, Olah Sampah Seko Omah" untuk memperkuat pengolahan sampah yang selama ini telah dilakukan di wilayah setempat.
Sugeng menuturkan Kota Yogyakarta termasuk wilayah yang terdampak pada pembatasan kuota pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Piyungan, Bantul, D.I Yogyakarta. Hal itu berdasarkan perhitungan bahwa zona transisi dua di TPST Piyungan akan bertahan hingga akhir Maret 2024.
Dia menyebutkan persentase sampah organik di Kota Yogyakarta sekitar 52% dengan dominasi sampah organik. Dan, Gerakan Mbah Dirjo yang telah dilaksanakan di Kota Yogyakarta, menurut dia, mampu mengurangi sampah sekitar 50 ton, sementara Gerakan Zero Sampah Anorganik dapat mengurangi sampah sekitar 100 ton.
Dengan alokasi danais Rp100 juta per kelurahan, menurut dia, dua gerakan pengelolaan sampah itu dapat diperkuat. "Kita akan perkuat Mbah Dirjo dan Zero Sampah Anorganik dengan lebih detail lagi pada pengelolaan sampah organik," ujar dia.
Sementara, Wakil Dua Forum Bank Sampah Kota Yogyakarta Sri Martini menyatakan pihaknya akan terus menggencarkan dan mengajak masyarakat melakukan gerakan olah sampah dari rumah. Menurut Sri, sampah anorganik dapat dibawa ke bank sampah terdekat, sedangkan sampah organik dikelola di rumah tangga masing-masing.
"Metode yang paling sederhana dan secara estetika bagus itu memakai biopori reguler. Harapannya tiap rumah tangga memiliki dua biopori, sehingga kalau satu penuh, tinggal diisi satunya. Itu bisa dimanfaatkan sampai tiga hingga enam bulan dan hasilnya kompos organik," ujar Sri Martini.