03 Agustus 2024
17:42 WIB
Kakao, Komoditas Unggulan Yang Harusnya Tak Terabaikan
Indikasi Geografis, sarana pelindungan hukum kekayaan lokal belum dimanfaatkan benar, termasuk untuk kakao asal Indonesia.
Penulis: Gisesya Ranggawari, Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Seorang petani membersihkan biji kakao di Desa Pepageka, Kecamatan Klubagolit, Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (16/07/2024). Antara Foto/Mega Tokan
JAKARTA – Pada Sidang Majelis Umum ke 65 World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa, Swiss, pertengahan Juli 2024, delegasi Indonesia memamerkan produk indikasi geografis (IG) pertanian dan Perkebunan.
Pameran ini menjadi kesempatan bagi Indonesia mengenalkan kekayaan alam yang luar biasa dan beragam. Termasuk, produk-produk perkebunan dan pertanian yang memiliki keunikan dan kualitas unggul. Produk seperti Teh Java Preanger, Bareh Solok, dan banyak lainnya memiliki potensi besar untuk dikenal dan dihargai di pasar global.
“IG bukan hanya sekadar label, tetapi juga sebuah pengakuan atas kualitas dan keunikan produk komunitas lokal,” urai Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Min Usihen dikutip dari siaran pers pada gelaran itu.
IG merupakan pelindungan agar produk-produk lokal tidak hanya akan mendapatkan nilai ekonomis yang lebih tinggi. Tetapi juga akan membantu melestarikan tradisi dan pengetahuan lokal yang sudah ada selama berabad-abad, lanjut Min.
Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI Kemenkum-HAM, Kurniaman Telaumbanua mengungkapkan, pada saat ini memang sektor perkebunan dan pertanian menjadi sektor yang paling dominan dalam jumlah IG terdaftar. Yakni, sejumlah 104 produk dari 138 produk IG terdaftar dalam negeri.
Berdasarkan data di laman dgip.go.id, pada Sabtu (3/8), DJKI sudah mencatat 155 IG. Dari produk perkebunan, jumlah IG untuk kopi mencapai 50. Sementara, IG untuk hasil perkebunan teh dan kakao masing-masing hanya satu.
Untuk kakao, yang tercatat menerima sertifikat IG baru Kakao Berau, di Kalimantan Timur. Padahal, periode 2019-2020, Indonesia pernah menjadi negara nomor tiga penghasil kakao terbesar di dunia versi International Cocoa Organization (ICCO). Jumlah produksi mencapai 700 ribu ton lebih kakao dalam setahun.
Akan tetapi, hanya dalam dua tahun, peringkat Indonesia merosot ke posisi enam dan sekarang berada di peringkat ketujuh dengan total produksi berkisar 600.000 ton per tahun.
Pendaftaran Baru
Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI Kemenkum-HAM, Kurniaman Telaumbanua mengungkapkan, Kakao Ransiki (Papua), Kakao Jembrana (Bali), Kakao Gunungkidul (DIY) dan Kakao dari Sulawesi akan menyusul mendapat sertifikat IG.
Dasar hukum IG adalah UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Tertulis dalam aturan itu, IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Tanda yang digunakan sebagai IG dapat berupa e-tiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Kurniaman mengungkapkan, minimnya pendaftaran IG kakao di Indonesia disebabkan karena minimnya pemahaman masyarakat produsen maupun pemerintah daerah dan pemangku kepentingan.
DJKI dibantu oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM provinsi serta Kementerian/Lembaga terkait secara berkala dan intensif melakukan program diseminasi tentang pelindungan Indikasi Geografis dan manfaatnya kepada para pemangku kepentingan di daerah.
"Padahal potensi kakao di Indonesia cukup besar," ujar Kurniaman kepada Validnews, Jumat (2/8) di Jakarta.
Dia memastikan secara umum DJKI terus berupaya memberikan pemahaman dan pelindungan terhadap seluruh objek pelindungan kekayaan intelektual di Indonesia, termasuk Indikasi Geografis.
Objek pelindungan Indikasi Geografis sendiri terdiri dari sumber daya alam, kerajinan tangan, dan hasil industri. DJKI mendukung sepenuhnya untuk pelindungan seluruh jenis produk Indikasi Geografis yang ada di Indonesia, termasuk kakao.
"Pada saat ini memang sektor perkebunan dan pertanian menjadi sektor yang paling dominan dalam jumlah Indikasi Geografis terdaftar, yaitu sejumlah 104 produk dari 138 produk Indikasi Geografis terdaftar dalam negeri," beber Kurniaman.
Khusus menyoal kakao, dia memaparkan banyak produk kakao yang memiliki reputasi baik dan perlu pelindungan Indikasi Geografis di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi tersendiri bagi para stakeholder untuk mendaftarkan produk tersebut sebagai produk Indikasi Geografis.
Untuk mempercepat pengajuan, DJKI memberikan target kinerja kepada Kanwil Kemenkum-HAM untuk menginventarisasi potensi-potensi Indikasi Geografis di wilayah masing-masing.
Pada tahun ini, DJKI membentuk Tim Pembinaan Indikasi Geografis Nasional yang melibatkan seluruh pemangku kepetingan terkait Indikasi Geografis, dalam rangka melakukan akselerasi dan meningkatkan sinergitas dalam pengembangan pelindungan dan pembinaan Indikasi Geografis.
"Demi mendorong dan melakukan fasilitasi pendaftaran permohonan Indikasi Geografis yang tentu saja perlu melibatkan pemerintah daerah serta masyarakat produsennya," imbuhnya.
Diharapkan dengan terdaftarnya suatu produk kakao, maka para pemilik hak eksklusif dalam penggunaan tanda IG, dapat melarang pihak lain untuk menggunakan tanda IG, dan melakukan tindakan hukum, baik pidana maupun perdata apabila ada pelanggaran oleh pihak lain.
Termasuk untuk produk kakao di Indonesia yang beragam, seperti Kakao Berau, Kakao Ransiki, Kakao Jembrana, dan masih banyak potensi kakao lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dapat dilindungi dari pendomplengan atau penggunaan Indikasi Geografis (IG) secara tidak sah oleh pihak lain.
Selain itu, IG juga secara langsung menjaga reputasi, kualitas, karakteristik dari masing-masing produk kakao tersebut. Hal ini harapannya berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat produsen.
"Semoga bisa berdampak juga pada peningkatan daerah dan dalam lingkup yang lebih luas lagi meningkatkan pendapatan negara," jelas Kurniaman.
Komitmen Pelindungan
Pada kesempatan berbeda, Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan, Ditjen Perkebunan Kementan, Muhammad Rizal Ismail menyampaikan pihaknya juga berperan membantu untuk penerbitan Indikasi Geografis dari DJKI. Di antaranya kopi robusta Bogor dan kopi arabika Toraja.
Selain Kementerian Pertanian, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga mengalokasikan anggaran untuk kegiatan fasilitasi penerbitan sertifikat Indikasi Geografis.
Menurutnya, Kementan pun berkomitmen untuk melindungi tanaman kakao yang produksinya semakin menurun. Kakao merupakan salah satu komoditas strategis perkebunan yang masuk dalam target rencana kerja pemerintah (RKP) yang tertuang dalam Renstra 2021-2024.
Kakao juga masuk rancangan awal Renstra 2025-2029 dalam bentuk kegiatan hilirisasi, sehingga dengan masuknya kakao dalam prioritas renstra diharapkan semua stakeholder berkolaborasi untuk meningkatkan produksi dari hulu hingga hilir.
Rizal mengatakan, Kementan juga menerbitkan beberapa regulasi untuk menjamin perlindungan kakao, misalnya Permentan Nomor 472 tahun 2018 tentang Lokasi Kawasan Pertanian Nasional.
Ada pula Pasal 33 dalam UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang memberikan perlindungan untuk tanaman dan komoditas perkebunan, seperti kakao. Perlindungan tanaman perkebunan dilakukan melalui pemantauan, pengamatan, dan pengendalian OPT.
"Lalu ada Kepmentan nomor 591.1/Kpts/HK.140/M/9/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian," ungkap Rizal kepada Validnews, Jumat (2/8) di Jakarta.
Saat ini, Kementan sudah membentuk roadmap kakao untuk mengatur beberapa strategi dalam menghadapi kondisi perkakaoan nasional yang kompleks. Strategi ini dibagi menjadi strategi jangka pendek, menengah dan jangka Panjang.
Adapun Strategi Jangka Pendek berdasarkan roadmap kakao 2020-2045, yaitu pengembangan tanaman kakao melalui kegiatan peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi, perluasan dan intercropping.
Selanjutnya, ada pula peningkatan mutu hasil, peningkatan kapasitas dan kemampuan SDM, pengembangan dan penguatan kelembagaan petani serta kemitraan usaha, peningkatan ketersediaan investasi usaha, pendampingan petani, pengolahan dan pemasaran, pemantapan infrastruktur, peningkatan ekspor dan nilai tambah kakao.
"Lalu ada penataan kelembagaan, pengembangan dan penguatan sistem penyediaan pembiayaan," imbuh Rizal.
Sementara itu, untuk Strategi Jangka Menengah dan Panjang berdasarkan roadmap yang sama, akan difokuskan pada beberapa aspek, seperti pengembangan kakao berkelanjutan melalui pemanfaatan potensi sumber daya lokal, pengembangan IPTEK dan pengelolaan pertanaman kakao yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Selanjutnya ada penumbuhan dan pengembangan industri pengolahan kakao dalam negeri baik di bidang pangan dan non pangan, penguatan kelembagaan petani, dukungan terhadap pelestarian lingkungan, fasilitas penyediaan sarana dan prasarana untuk keberlanjutan pengelolaan agribisnis kakao serta dukungan pembiayaan guna meningkatkan investasi usaha dalam rangka menjaga keberlanjutan pengembangan komoditas kakao.
"Permasalahan utama adalah terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan petani sehingga standar teknis budidaya dan peningkatan mutu tidak dapat diterapkan secara optimal," papar dia.
Selain persoalan minimnya pengetahuan dan keterampilan petani, alih fungsi lahan juga jadi persoalan lain. Sayangnya, Kementan belum memiliki regulasi konkret untuk mencegah meluasnya alih fungsi lahan yang menggerus lahan tanam kakao.

Salah satu upaya yang dilakukan Kementan untuk mencegah konversi lahan kakao adalah mengajukan usulan kakao agar masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, sehingga dapat mengendalikan dan menjaga potensi lahan.
"Diharapkan juga ada regulasi seperti UU Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) untuk komoditas padi," urainya.
Sebagai informasi, menurut data Ditjen Perkebunan Kementan, luas lahan tanam kakao dalam lima tahun terakhir terus tergerus. Sepanjang 2024 sisa lahan tanam kakao hanya 1.346.916 (Ha), padahal pada tahun 2020 luasnya mencapai 1.508.955 (Ha).
Keberpihakan
Terhadap serangkaian langkah yang dilakukan pemerintah, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rubiyo P menilai, regulasi-regulasi tersebut efektifitasnya masih tergantung pada situasi tertentu.
Menurutnya, regulasi terkait impor dan ekspor sudah cukup baik karena melarang pertukaran material genetik. Jadi, kakao yang diekspor yaitu biji kering kakao yang sudah tidak bisa dikembangkan. Namun, masih ada beberapa individu yang melakukan jual beli plasma nutfah secara ilegal.
Nantinya, plasma nutfah asal Indonesia tersebut dirakit dan dikloning yang dijadikan bahan olahan dari luar negeri.
"Masih ada beberapa yang bawa ke luar negeri atas dasar saling kenal, pertukaran plasma nutfah yang tidak resmi ini merugikan negara. Maka perlu ditingkatkan pengawasan dan perlindungannya," ujar Rubiyo kepada Validnews, Jumat (2/8) di Jakarta.
Rubiyo memandang masih terbuka lebar potensi bagi Indonesia untuk kembali masuk ke tiga besar penghasil kakao terbesar di dunia. Asalkan, regulasi perlindungan dan pengawasannya dijalankan secara maksimal.
Dari sisi teknis ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan, misalnya pembibitan, pengembangan benih unggul, pengembangan secara vegetatif dan tidak mengembangkan satu varietas saja, namun perlu beberapa varietas yang sesuai dengan agrosistem daerah.
"BRIN sudah merakit verietas unggul baru yang memiliki adaptabilitas yang tinggi dan relatif tahan hama, yaitu varietas klon BB1. Dia ditanam di mana saja akan adaptif. Tapi, kuncinya model pengembangannya mesti poliklonal," bebernya.
Di sisi lain, Rubiyo memaparkan, kakao yang dikembangkan di Indonesia cukup baik kualitasnya, baik kakao lindak atau bulk cacao dan kakao mulia atau edel cacao yang terkenal merupakan biji kakao terbaik di dunia.
Perbedaannya ada pada kualitasnya. Kakao mulia merupakan asli Indonesia yang kualitasnya premium dan nyaris sempurna. Sedangkan kakao lindak, kakao biasa yang ada pada umumnya di negara-negara lain.
"Yang kembangkan kakao mulia itu PTPN di Jawa Timur, biji segarnya warna putih. Kalau kakao lindak dark bean atau warna unggu. Saat ini masih didominasi kakao lindak, sekitar 95%" ungkap Rubiyo.
Di luar itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso berpandangan, dua isu utama terkait kakao adalah masalah produktivitas dan lahan. Dua-duanya saling berhubungan, jumlah lahan kakao saat ini tidak mengalami peningkatan, karena produktivitas rendah.
Menurut dia, hal ini terjadi karena pengolahannya berbasis perkebunan rakyat, khususnya terkait dengan proses fermentasinya. Memang, komoditas kakao sebanyak 99,63% diusahakan oleh perkebunan rakyat yang dikelola petani sejumlah 1,5 juta KK.
"Sedangkan industri hilirnya dipegang oleh pemodal-pemodal besar. Tapi di hulu yang sangat penting itu justru dipegang oleh petani. Ini membuat kualitas kakao rendah dan membuat harga jual juga rendah," ujar Andreas kepada Validnews, Jumat (2/8) di Jakarta.
Dia menyarankan agar pemerintah mulai memprioritaskan program intensifikasi untuk perbaikan kualitas dan kuantitas kakao di Indonesia. Terpenting agar dilakukan peremajaan kakao-kakao di Indonesia, karena banyak bibit baru yang jauh lebih unggul dan bisa menghasilkan produk kakao yang berkualitas.
"Pemerintah harus memprioritaskan peremajaan kakao-kakao ini meskipun dana yang butuhkan tentu besar," cetus Andreas.
Di samping itu, densifikasi juga harus dilakukan oleh pemerintah, sehingga budidaya kakao bisa dilakukan dengan asupan teknologi mumpuni. Saat ini sejauh pengamatan dia kakao seringkali dibiarkan tumbuh sembarangan tanpa dibudidaya dan dirawat secara khusus. Padahal potensi produksi kakao untuk produk unggul baru bisa mencapai 3 ton per hektar.
"Pemerintah tidak perlu konsentrasi ke mana mana, cukup konsentrasi ke Sulawesi untuk menghasilkan produk kakao yang berkualitas, dan juga industri hilirnya harus dibangun," tegas dia.
Andreas menambahkan, industri pengolahan ini akan menjadi hal yang diperlukan jika ingin melakukan ekstentifikasi. Pasalnya, adanya program intensifikasi, mesti dibarengi dengan industri pengolahannya.
"Sehingga apa yang diproduksi petani itu bisa segera di olah dan ditampung oleh pengusaha dalam negeri," tutur Andreas.
Di sisi petani, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Askindo), Arif Zamroni menilai fokus pemerintah belum mengarah ke perkebunan kakao. Menurutnya pemerintah masih fokus dalam pengembangan perkebunan sawit.
Hal itu terlihat dari ragam regulasi yang dirasa Arif tidak menguntungkan para petani kakao. Contohnya, PPN hasil perkebunan 10% dan bea keluar-masuk kakao yang dinilai cukup memberatkan petani.
"Regulasi yang ada justru membuat banyak problem kepada petani. Banyak yang terkendala biaya, akhirnya petani jadi korban. Hasilnya enggak seberapa, dipajakin juga," ucap Arif kepada Validnews, di Jakarta, Jumat (2/8)
Menurutnya, regulasi yang ada tidak terlalu terasa dari sisi petani. Imbasnya, untuk kakao petani lebih banyak mandiri dengan program kakao rakyat karena ada kebutuhan pasar, maka dipertahankan.
Arif berharap pemerintah menjalankan kembali Gerakan Nasional (Gernas) Kakao untuk membangkitkan gairah. Pasalnya, kakao masih menjadi komoditas strategis di Indonesia, namun produksinya terus menurun.
Diketahui, pada tahun 2009 lalu pemerintah menggelar Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas Kakao) yang selesai pada tahun 2013. Kegiatan utamanya adalah peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi kebun kakao milik petani. Dasar pertimbangan pelaksanaan Gernas Kakao salah satunya karena terjadinya penurunan produktivitas kakao nasional dan jika dibiarkan akan membawa Indonesia semakin terperosok.
Program Gernas menjadi inisiasi awal untuk memperbaiki kakao, baik dari segi mutu maupun produksi. Kebun kakao hasil Gernas menunjukkan potensi yang jauh lebih tinggi dan mendorong petani berpikir selangkah lebih maju tentang upaya meningkatkan mutu kakao.
Dampak dari program Gernas Kakao mampu menempatkan Indonesia menjadi produsen kalao terbesar ketiga di dunia.