24 Juli 2025
13:16 WIB
JPPI Catat 5 Krisis Pendidikan di Jabar
Krissi pendidikan Jabart yang tercatat JPPI seperti kebijakan Gubernru Jabar, Dedi Mulyadi yang
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama 10 Bogor, Sentra Terpadu Inten Soeweno (STIS), Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (14/7/2025). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.
JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memaparkan, ada lima krisis pendidikan di Jawa Barat. Sebagian krisis ini merupakan warisan masa lalu yang semakin parah akibat pendekatan "jalan sendiri" Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dalam merumuskan kebijakan publik.
"Ini adalah alarm keras bagi gubernur selaku pimpinan Pemprov Jawa Barat," sebut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, melalui keterangan tertulis, Kamis (24/7).
Dia memaparkan, krisis pendidikan pertama adalah Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah anak tidak sekolah (ATS) terbanyak. JPPI mendata, ATS di Jabar mencapai 616.080 ATS, lebih tinggi dari Jateng mencapai 333.152 dan 332.844 ATS di Jawa Timur. Dari data ini cukup buat JPPI menyimpulkan layanan dasar pendidikan di Jabar masih buruk dan perlu prioritas.
Kedua, pemantauan JPPI Januari 2024 hingga Juli 2025, Jabar merupakan salah satu provinsi dengan kasus kekerasan terbanyak. Kekerasan yang marak terjadi di lingkungan pendidikan adalah kekerasan seksual, perundungan, dan kekerasan fisik.
Ketiga, hasil pemantauan JPPI, kasus tawuran pelajar di Jabar terjadi di 41 kelurahan. Hal ini mencerminkan kegagalan pendidikan karakter dan intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Keempat, Jabar memiliki kasus intoleransi yang tinggi di lingkungan pendidikan. Yakni, berupa kurangnya guru agama untuk minoritas, persekusi pelajar beda keyakinan, ujaran kebencian, hingga intimidasi dan stigmatisasi sesat. Padahal, seharusnya institusi pendidikan menjunjung tinggi keberagaman.
Kelima, per Juli 2025 JPPI menerima 612 aduan penahanan ijazah oleh sekolah di Jawa Barat. Angka ini tergolong tinggi dibandingkan aduan dari daerah lain. JPPI pun menyoroti pemprov Jawa Barat yang pernah berjanji membayar uang tebusan ijazah kepada sekolah swasta, tapi mengingkari janji itu.
"Fakta-fakta anomali ini bukan sekadar angka, ini adalah tragedi yang kompleks," terang Ubaid.
Untuk mengatasi krisis pendidikan itu, dia berkata Pemprov Jabar harus menghentikan pendekatan "jalan sendiri" seperti kebijakan Gubernur Jabar. Pemprov tidak boleh tertutup dan harus membuka ruang partisipasi publik yang inklusif. Partisipasi ini juga harus transparan, mudah diakses, dan bukan sekadar formalitas.
JPPI menganjurkan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) harus tegas menegur Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang cenderung "jalan sendiri" dalam membuat kebijakan pendidikan. Intervensi dari pemerintah pusat sangat diperlukan untuk memastikan kebijakan daerah sejalan dengan visi pendidikan nasional.
“Supaya ada perbaikan kualitas pendidikan di Jawa Barat, sudah saatnya pemprov melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh kebijakan pendidikan yang telah dan sedang berjalan," pungkas Ubaid.