15 Oktober 2021
21:00 WIB
Penulis: Wandha Nur Hidayat
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – “Ini benaran ada begini?” tulis salah satu pemilik akun pengguna media sosial Twitter.
“Menarik,” lanjut si pemilik akun dengan menambah emoji orang berpikir sambil menopang dagu dan pandangan menerawang ke atas.
Akun lain menambahkan, “Akhirnya muncul juga di Indonesia”.
Begitu tiga cuitan dari ratusan kicauan, merespons sebuah lowongan kerja yang diunggah pemilik akun Twitter pada Februari 2020 lalu. Lowongan kerja yang ditawarkan tertulis ‘professional cuddler’.
Syarat bagi pelamar yang tergiur dituliskan pemilik akun. “Dapat menjadi pemeluk yang nyaman”.
Sepintas mudah. Meski ada balutan tanya, menjadi ‘pemeluk yang nyaman’ itu seperti apa?
Lowongan kerja itu diunggah sebuah platform yang menyebut diri sebagai penyedia jasa layanan berpelukan dan curhat. Indocuddle, nama platform ini, rencananya bakal diluncurkan pada April tahun lalu, seandainya pagebluk covid-19 tidak melanda.
Sejak unggahan tersebut, layanan jasa yang tak lazim ini, setidaknya di Indonesia, mulai ramai dibicarakan di jagat media sosial. Sebutannya lebih dikenal dengan jasa cuddling atau cuddle care. Jasa ini, singkatnya, memberi layanan berpelukan dan curhat ataupun deep talk.
Terlihat intim? Bisa jadi. Namun jangan salah, jasa yang diberikan sebatas curhat atau pelukan. Tidak lebih dari itu, apalagi menjurus ke aktivitas seksual.
Meski masih asing di Indonesia, jasa cuddling sejatinya sudah lama muncul dan punya peminat cukup tinggi di Jepang. Paling tidak sejak sepuluh tahun lalu, ketika Cuddle Cafe didirikan di Distrik Akihabara. Kafe ini menawarkan jasa berpelukan dan tidur dengan lawan jenis, tanpa kegiatan seksual.
David, warga Jakarta Selatan, sekali waktu pernah memakai jasa cuddle care pada medio 2020. Kali pertama dia tahu penawaran jasa ini dari media sosial. Baru kali itu, selama 25 tahun hidupnya, menemukan penyedia layanan berpelukan.
Dia tergerak mencoba. Sejurus kemudian, penyedia jasa pun dihubungi. Deal, kesepakatan harga diterima kedua pihak.
Dia memesan jasa untuk durasi dua jam. Perempuan pemberi jasa pasang tarif dengan tarif Rp700 ribu. Sesi cuddling dilakukan di sebuah hotel di pusat kota Jakarta pada sore hari.
“Setelah gue baca-baca lebih jauh, katanya bakal didengerin curhatannya, bisa bersentuhan, tanpa baper, dan no commitment. Gue makin tertarik. Apalagi saat itu bisa dibilang gue juga lagi ada masalah sama gebetan,” ujar dia itu kepada Validnews, Kamis (14/10).
Ia pun bercerita banyak soal keluh kesahnya ke wanita yang menemainya tersebut. Terutama, terkait masalah percintaannya. Si penyedia jasa, menurut dia, mampu mendengar dengan empati dan memberi tanggapan yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan.
“Kesannya sebenarnya puas-puas saja. Itu yang lagi gue butuhkan kali ya, sentuhan hangat, teman berbagi cerita, dan merasa disayang saja. Tapi memang kalau buat dengerin cerita, sih, oke banget. Karena tadi, dia empati dan dengan sabar dengerin semua cerita gue,” demikian pendapat David.
Meski diakui tidak menyelesaikan masalahnya, namun pembicaraan itu memberi rasa lega bagi David. Selain bisa lebih bebas berkeluh kesah dengan orang asing, ia juga merasa sentuhan dari pelukan si penyedia jasa telah memberi ketenangan yang sedang dibutuhkannya.
David mengatakan, terkadang sentuhan tertentu di punggung atau kepala juga mampu membawa ingatan indah masa kecil ketika orang tuanya masih sering mengeloninya. Ada kerinduan mengalami sentuhan itu ketika merasa kesepian dan terpuruk.
Dari pengalaman pertamanya, dia mengatakan tidak menyesal menjajal layanan cuddling. Walaupun, lanjut pekerja kantoran di perusahaan swasta itu, kalau dipikir-pikir sebenarnya cukup sayang mengeluarkan uang ratusan ribu untuk hal tersebut.
“Kalau tanpa mikirin duit, atau lo punya duit banyak, ya, sebenarnya layanan itu worth it saja,” pungkas David.
Lebih Empati
Pada kesempatan lain, Validnews berbincang dengan Sylvia (bukan nama sebenarnya—red). Perempuan asal Tangerang Selatan ini mengatakan telah membuka jasa ‘penampung curhat’ sejak Juli tahun lalu. Ya, dia salah satu penyedia layanan cuddle care. Sudah sekitar 15 orang yang menggunakan jasanya hingga saat ini.
Awal menjalani profesi ini bermula dari iseng untuk mencari teman baru. Saat kuliah secara jarak jauh, dia punya kesempatan berselancar akan banyak hal.
Sampai dia menemukan profesi nyeleneh ini. Pelajari singkat, selanjutnya, muncul niat mencoba.
Apalagi, saat itu tengah kuliah jarak jauh. Selain bisa mengisi waktu luang, dia berpikir tak ada salahnya salah mencoba dan mendapat teman serta pemasukan.
Niat membantu orang lain pun menambah ketertarikannya. Ia bersedia menjadi tempat penampung keluh kesah orang lain dari masalah yang dihadapi.
“Cuddle care itu dalam arti dijadikan jasa buat orang yang enggak bisa cerita ke keluarga atau teman terdekatnya,” ucap perempuan berusia 22 tahun ini, pada Minggu (10/10).
Sylvia mempromosikan jasa ini melalui akun pribadi media sosialnya. Awalnya, ada keraguan mengingat jasa cuddle care belum lazim diketahui banyak orang. Orang yang sudah tahu pun sering kali salah paham menyamakannya dengan bisnis prostitusi daring.
Jasa ini, tegas dia, punya aturan tegas untuk tidak menerima kegiatan seksual. Benar-benar hanya pelukan dan curhat ataupun deep talk. Harga jasanya minimal Rp300 ribu untuk satu jam, Rp600 ribu untuk dua jam, dan maksimal Rp800 ribu untuk empat jam.
Tak disangka, masih pada bulan yang sama, ia mendapat pengguna pertama jasanya. Beruntung orang itu adalah kenalannya di media sosial. Mereka sudah sering mengobrol meski belum bertemu muka. Pengalaman pertama Sylvia sebagai cuddler pun berjalan tanpa kendala.
“Kami kayak mengobrol biasa saja, kayak bertemu teman biasa aja, enjoy. Nanya gimana hari ini? Macet enggak tadi jalan ke sini? Sudah makan belum? Kalau belum makan, kita makan dulu. Kalau sudah selesai makan, baru deh sesi yang seperti biasa,” urai dia.
Sesi cuddling biasanya dilakukan di hotel bintang tiga sampai lima di kawasan Jakarta Pusat dan Selatan. Tentu tidak semua orang bisa menjadi pengguna jasanya.
Sylvia menetapkan batasan usia paling muda ialah yang seusia dengannya, sedangkan yang paling tua dipatoknya sekitar 30 tahun.
Pengalaman satu tahun sebagai cuddler mengasah Sylvia untuk lebih mudah berempati pada orang lain. Menurut dia, rata-rata pengguna jasanya ternyata menghadapi lebih banyak masalah ketimbang dirinya selaku cuddler.
“Apa yang gue rasakan itu belum seberapa. Jadi itu buat acuan diri gue sendiri juga. Jadi kayak boleh mengeluh, cuma sudah secukupnya saja. Ternyata di luar sana ada yang lebih terpuruk atau yang enggak bisa menyelesaikan dirinya sendiri,” urai mahasiswi semester tujuh itu.
Ia mengungkapkan, ketakutan utamanya ialah jika tidak bisa menjadi teman bicara yang pas. Apalagi Sylvia tidak punya latar pendidikan psikologi. Akan tetapi, tidak dimungkiri, rasa takut soal keamanan dan keselamatannya juga ada, terutama pada pengguna jasa yang belum dikenalnya.
Sebanyak lima dari seluruh pengguna jasanya adalah orang asing. Karena itulah, demi alasan keamanan, Sylvia selalu menyiapkan nomor kontak darurat dan semprotan merica di tasnya, untuk mengantisipasi kemungkinan buruk saat sesi cuddling berlangsung.
Sylvia bersyukur tidak pernah ada pengguna jasanya yang melanggar aturan. Sebab, salah satu pro dan kontra yang muncul dari jasa cuddle care adalah risiko penyedia jasa mengalami pelecehan seksual. Pengguna jasa, misalnya, melakukan penetrasi seksual tanpa consent.
“Di dalam diri sendiri itu pasti ada rasa takut. Cuma percaya saja, ‘Enggak kok, enggak apa-apa, baik kok orangnya,’ kayak begitu. Toh juga selama bertemu orang yang enggak dikenal, yang belum pernah kontakan, aman-aman saja sih,” imbuhnya tenang.
Ekspektasi
Psikolog Klinis Dewasa dari Enlightmind Nirmala Ika berpendapat, banyak orang masih sulit mengakui, dirinya butuh tempat bercerita dan sentuhan saat kesepian. Ini salah satu faktor yang mendorong seseorang lebih memilih melakukannya dengan orang yang belum dikenal.
Menurutnya, pengungkapan emosi atau perasaan di dalam masyarakat masih cenderung sulit diterima. Ketika seseorang mengaku merasa kesepian, misalnya, kadangkala justru dianggap lemah atau mengada-ada. Akhirnya, perasaan itu tidak mendapat validasi dari lingkungannya.
“Ketika anak bilang aku kesepian, orang tua atau bahkan teman-temannya bilang, ‘Kesepian apa sih, kan punya teman-teman banyak, orang di rumah kamu juga ramai’, misalnya. Kemudian merasa tidak divalidasi, dan malah akan jadi malu,” jelasnya kepada Validnews, Kamis (15/10).
Selain itu, lanjut Nirmala, melakukan kedua hal tersebut dengan orang yang belum dikenal tidak terlalu memunculkan ekspektasi tinggi dan konsekuensi. Misalnya, perubahan sikap dari teman-temannya yang menganggap ia seorang rapuh seakan selalu butuh belas kasihan.
“Mungkin nanti temannya jadi bolak-balik checking. Are you okay? Bagaimana hari ini? Sebenarnya mungkin maksud temannya care, tapi kan kita kadang enggak ingin begitu, ‘Ya sudahlah kemarin doang gue memang lagi up and down, begitu,” urai Nirmala.
Ekspektasi akan seseorang juga mempengaruhi. Misalnya, hari ini ia bisa saja seseorang mendapat pelukan hangat dari temannya. Tetapi besok mungkin orang itu berubah sikap, sehingga memengaruhi kepercayaan keduanya.
Nah, konsekuensi semacam ini, dinilai kecil terjadi ketika harus curhat dengan orang yang tidak dikenal melalui jasa cuddle care.
“Misalnya, orang tua kita memeluk dengan sungguh-sungguh dan memahami kita. Besok-besok orang tua kita berubah. Kan, ada ekspektasi-ekspektasi itu. Kalau sama orang lain, kita tidak ada ekspektasi. Ya sudah dipeluk doang, bayar, selesai. Jadi lebih mudah,” ujar dia.
Nirmala juga mengatakan, fenomena munculnya jasa cuddle care, sebenarnya terkait dengan perubahan pola pikir anak-anak saat ini dengan pola pengasuhan orang tua. Umumnya, pola pengasuhan itu mengajarkan anak agar menjalani hidup secara kolektif bersama, meskipun apa adanya.
Sementara, dengan akses yang semakin terbuka di dunia maya, kalangan muda saat ini punya kesadaran bahwa mereka berhak bahagia. Lalu, ada jalan keluar mengatasi kesepian yang mereka alami. Bersamaan dengan itu, kata dia, relasi orang tua dan anak juga makin berjarak.
“Ketika anak punya masalah, dibawa orang tuanya ‘Ya sudah kamu harus kuat namanya juga hidup’. Sedangkan anak-anak ini makin merasa tidak dipahami dengan kompleksitas mereka. Ketika tidak dipahami, ya akan makin merasa sendiri. Itu kenapa kebutuhan itu (afeksi) makin besar,” imbuh dia.
Namun, dia menilai, jasa cuddle care sebenarnya hanya memberi ketenangan sesaat. Tetapi tidak menyelesaikan akar masalah yang dihadapi si pengguna jasa. Boleh jadi orang tersebut justru lebih membutuhkan jasa psikolog profesional atau terapis untuk proses healing.
Satu hal lagi, jika si penyedia jasa cuddling suatu saat punya masalah, apakah dia bisa ‘memeluk’ dirinya sendiri atau harus menyewa cuddler lainnya?