c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

29 Maret 2022

19:15 WIB

Jalan Berliku Raih Stempel Halal

Target BPJPH menerbitkan 10 juta sertifikasi halal, dianggap terlalu muluk jika sosialisasi kepada UMKM tidak dijalankan dengan baik

Penulis: James Fernando, Dwi Herlambang

Editor: Leo Wisnu Susapto

Jalan Berliku Raih Stempel Halal
Jalan Berliku Raih Stempel Halal
Warga menunjukkan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tertera di mi instan impor dengan latar belakang logo halal Indonesia. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

JAKARTA – Rumit. Begitu Cahyadi Kalyubi menggambarkan proses menggapai sertifikasi halal yang dijalaninya. Meski begitu, ia mau tak mau harus menjalaninya karena tak terpikir untuk mengabaikan logo halal di kemasan produk makanan yang diproduksinya.

“Rangkaian mengurus sertifikasi jadi bertambah karena kini melewati beberapa lembaga,” kata Cahyadi menjelaskan proses baru mendapatkan sertifikat halal kepada Validnews, Sabtu (26/3).

Seperti diketahui, pemerintah dengan landasan Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) menetapkan, seluruh produk yang beredar di Indonesia harus memiliki sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019. Batas akhir sertifikasi ditetapkan pada 17 Oktober 2024 untuk industri makanan dan minuman.

Saat ini, untuk mendapatkan logo halal, pemohon harus berurusan dengan tiga lembaga. Yakni, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH), Lembaga Peneliti Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini merupakan amanat dari UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

BPJPH sendiri sejatinya sudah menjamin, proses sertifikasi tak akan dibuat rumit. BPJPH mematok, proses penerbitan sertifikasi halal hanya akan menghabiskan waktu 21 hari kerja.

Namun berdasarkan pengalamannya, Cahyadi tak mendapatkan apa yang menjadi janji tersebut. Dia masih mengalami kerumitan untuk menjalankan proses sertifikasi.

Memori rumitnya mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya kembali bangkit. Ia membayangkan, karena kini ada tiga lembaga yang harus dilaluinya, kerumitan akan berlipat tiga.

Kerumitan menurutnya makin terasa lantaran sosialisasi pemerintah terhadap proses sertifikasi halal yang baru ini masih minim. Jika ia tidak mencari tahu sendiri, ia yakin tidak akan mengetahui bagaimana proses yang harus dilalui.

“Ini menyulitkan UMKM,” cetusnya.

Sertifikasi Gratis
Cahyadi tak sendiri, kegamangan akibat minimnya sosialisasi juga dirasakan Mukroni, pemilik warung tegal (Warteg) di Jakarta. Menurut Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara) ini, sertifikasi halal saat ini justru menyulitkan pengusaha warteg.

Dia menuturkan, usaha warteg memiliki hampir 40 item makanan yang harus disertifikasi. Belum lagi proses penyajian makanan yang dijajakan.

“Ini menyulitkan kami. Mau ngurus gimana kalau prosedurnya belum jelas. Apakah 40 item ini mau diverifikasi satu-satu? Proses fasilitasnya kurang jelas,” kata Mukroni melalui sambungan telepon, Kamis (24/3).

Jika keseluruhan item tersebut harus diverifikasi, Mukroni pun mempertanyakan berapa besar dana yang harus dikeluarkan. Ia menyayangkan jika biaya sertifikasi halal untuk usaha warteg justru mempersulit pelaku usaha, mengingat keuntungan yang cukup banyak tak selalu didapat.

“Sampai sekarang belum ada sosialisasi. Mereka (BPJPH) harus makan di Warteg dulu (baru tahu proses di lapangan). Sebenarnya ini program bagus, tapi harus ada kemauan sungguh-sungguh dari Pemerintah. Biayanya, kan, bikin pusing kami,” sebut Mukroni.

Sayangnya, alih-alih mengedepankan sosialisasi, kerumitan proses yang dihadapi masyarakat sepertinya tak terbaca jelas oleh BPJPH. Lembaga ini dengan anteng dan yakin menggelar program akselerasi sertifikasi halal untuk mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham menargetkan, sebanyak 10 juta sertifikasi halal terbit bagi UMKM, tanpa merinci lebih jauh proses detail yang harus dijalankan. 

BPJPH, kata Aqil, membuka pengajuan sertifikasi halal gratis bagi 25 ribu UMK melalui program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). Program ini dimulai pada Maret sampai Desember 2022.

Agil pun hanya mengingatkan, sertifikasi halal penting bagi pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Sertifikasi ini sebagai bentuk jaminan kehalalan sekaligus menjadi nilai tambah baik produk agar berdaya saing tinggi.

Tenaga Pendamping
Terkait pembiayaan sertifikasi halal, BPJPH sudah memberlakukan peraturan tarif layanan Badan Layanan Umum (BLU). Aturan ini dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 141 Tahun 2021 tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH.

Dalam aturan tersebut, pemilik usaha yang menggunakan skema self declare, tidak dibebankan biaya atau nol rupiah atau gratis. Sementara untuk layanan sertifikasi halal bagi pelaku UMK melalui skema reguler, biaya layanan dibebankan kepada pelaku usaha.

Biaya tersebut mencakup pendaftaran dan penetapan kehalalan produk sebesar Rp300 ribu dan biaya pemeriksaan kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebesar Rp350 ribu.

"Penetapan peraturan tarif layanan tersebut merupakan wujud komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian tarif, serta transparansi biaya layanan sertifikasi halal di Indonesia," kata Aqil.

Untuk mencapai target 10 juta sertifikasi halal, Aqil mengaku pihaknya juga akan merekrut sebanyak 100 ribu tenaga pendamping Proses Produk Halal (PPH) melalui training of trainer (ToT). Layanan ini diklaim gratis bagi pelaku UMKM yang melakukan self-declare.

Sesuai aturan dalam Pasal 68 PP Nomor 31 Tahun 2019, produk yang wajib mempunyai sertifikat halal pada dasarnya terbagi dari dua jenis utama, yakni barang dan jasa. 

Barang yang harus disertifikasi adalah makanan dan minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa dan barang gunaan yang mengandung unsur hewan, baik penggunaan sandang, aksesori, peralatan, dan kemasan.

Sementara jasa yang harus disertifikasi halal ialah pelaku penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan pendistribusian, penjual dan penyajian.

Data Sistem Informasi Halal BPJPH menyebutkan sampai 5 November 2021 ada 31.529 pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal. Dari jumlah tersebut mayoritas pelaku usaha mikro yang mencapai 19.209 atau 60,92%. Menyusul pelaku usaha kecil sejumlah 5.099 atau 16,17%. Total 76% adalah pelaku UMK (usaha mikro dan kecil).

Dilihat dari jenis produk yang diajukan, jumlah terbesar adalah makanan ringan (20%), roti dan kue (15,45%). Kemudian minuman dan bahan minuman, ikan dan produk ikan olahan, dan lima besar adalah produk rempah, bumbu, dan kondimen.

Terlalu Ambisius
Ekonom dari Universitas Negeri Surakarta Agus Trihatmoko menuturkan, secara teori sertifikasi halal bagi pelaku UMKM memiliki tujuan yang sangat baik karena akan melindungi konsumen yang mayoritas beragama Islam. 

Namun, ia mempertanyakan apakah saat ini situasinya sudah sangat genting, sehingga harus mematok target yang sangat tinggi.

Ia melihat, kesadaran pelaku UMKM akan produk halal atau tidak halal, sejauh ini sudah cukup tinggi. Mengingat mayoritas pelaku UMKM sendiri beragama Islam, ia menilai sisi urgensi ini tidak terpenuhi, karena hampir tidak mungkin para pelaku UMKM menciptakan produk yang menyimpang dari unsur halal.

Di luar komunitas muslim seperti di Bali, kebijaksanaan lokal juga sudah berjalan dengan sendirinya. Di banyak daerah di bali, produk-produk non halal, umumnya dipasangi rambu atau penanda yang bisa dibaca jelas oleh konsumen. Informasi ini, kata Agus, sebenarnya sudah cukup dan sudah menjadi budaya tersendiri.


“Justru ini bukan harus dengan satu aturan yang demikian atau dorongan yang bersifat legalitas. Kesadaran cultural yang tentunya jauh lebih bagus untuk kita terus bangun bagi UMKM,” kata Agus kepada Validnews, Kamis (24/3).

Di sisi lain, meskipun biaya yang dirilis terlihat terjangkau, ia menduga biaya sebesar itu hanya berupa biaya administrasi saja. 

Iya cukup yakin, praktik di lapangan akan berbeda, mengingat pada proses sertifikasi akan ada monitoring, pendampingan, visit dan lainnya. Biaya-biaya inilah yang diproyeksikannya tidak termasuk dalam biaya resmi yang dirilis.

“Oleh sebab itu, target 10 juta apakah tercapai atau tidak, saya agak pesimis karena dari proses, faktor pemahaman dan aspek sosialisasi (belum sempurna). Sebenarnya sertifikasi halal tidak diperlukan, karena mereka yang mayoritas muslim pun sudah akan memastikan produknya halal,” ujar dia.

Menambah Biaya
Di luar aspek sosialisasi dan biaya sertifikasi, wacana BPJPH yang akan merekrut 100 ribu pendamping atau konsultan juga tak lepas dari sorotan, mengingat hal tersebut akan memperbesar cost yang harus dikeluarkan untuk menerbitkan selembar sertifikat halal.

Konsultan akan bekerja dan turun ke lapangan tentu saja memerlukan biaya. Meskipun saat ini biaya konsultan ini ditanggung oleh donator, ada kekhawatiran pada masa yang akan datang jika tak ada lagi penanggung, biaya akan dibebankan ke pemohon, termasuk pelaku UMKM.

“Secara tidak langsung akan menjadi beban UMKM juga. Nah, ambisi ini yang kita tidak tahu kenapa harus di-push sekian, seberapa bahaya juga ini yang tidak pernah disampaikan. Apakah UMKM ini sudah benar-benar menyimpang dari unsur halal? Saya pikir belum ada keluhan. Paling hanya satu atau dua, itu oknum ya,” jelasnya.

Lebih lanjut, dengan merekrut konsultan sebanyak itu, Agus melihat dari sisi kelembagaan Indonesia belum siap melakukan sertifikasi secara massal. Menurutnya jika sudah siap, perekrutan tenaga kerja secara besar-besaran, tak perlu dilakukan. 

Regulasi yang mendetail serta sosialisasi merata kepada produsen, sudah cukup membuat sistem berjalan dengan baik.

Sayangnya, ia merasa kehadiran dan target BPJPH sangat terburu-buru dan tidak matang. Menurut dia, lembaga seperti MUI sudah ada dan seharusnya dioptimalkan untuk mengurus sertifikasi halal, terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang ada.

Pasalnya, dengan adanya tiga lembaga—meskipun diklaim dilakukan dalam pelayanan satu pintu—Agus melihat hal ini pada praktiknya akan memberatkan. Apalagi tidak semua pelaku UMKM mengetahui aturan. Proses ini akan sangat memusingkan, jika pelaku UMKM harus mempelajari satu per satu aturan dari tiga lembaga ini.

Belum lagi, soal detail produk bisa dikatakan halal atau , juga sampai hari ini masih kurang mendetail disampaikan ke publik. Padahal, bagi Agus berbicara halal tentu harus dari hulu ke hilir. BPJPH juga harus menjelaskan, apakah sertifikasi halal ini harus dilakukan per produk atau berdasarkan lokasi.

“Ini kebijakan atau ide yang bagus tapi kurang matang implementasinya. Yang dikhawatirkan jangan sampai membuat keresahan dan kepanikan. Selama nggak ada kata wajib, ya ok-ok saja, artinya UMKM boleh melakukan sertifikasi atau tidak dan yang akan memutuskan market-nya,” ucapnya.

Satu hal yang tak kalah penting, lanjutnya, sosialisasi tentang keuntungan dengan mendapatkan sertifikasi halal juga harus dijelaskan kepada pelaku UMKM. Jangan sampai ada perpecahan dan propaganda pada kemudian hari, antara pelaku usaha yang punya sertifikat halal dan yang belum mendapatkannya.

“Komunikasi harus hati-hati karena dalam bisnis ada persaingan. Karena tetangganya sudah ada sertifikat satunya belum nanti menjadi alat propaganda. Jangan sampai sertifikat justru jadi alat promosi untuk menyerang satu dengan lainnya,” imbuh dia.

Terlepas dari penjelasan detail tentang sertifikasi halal bagi UMKM masih belum memuaskan, Koordinator Hukum dan Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsih melihat, target tinggi 10 juta ini merupakan sebuah komitmen negara yang perlu diapresiasi.

Akan tetapi, ia menekankan harus ada pengawasan dan pengawalan dalam proses pelaksanaannya. Apalagi koordinasi antar tiga lembaga menjadi titik kunci, jika target ini ingin terealisasi, bukan hanya omong kosong semata.

Sularsih menilai, menuju proses sertifikasi adalah hal yang berat bagi UMKM. Kondisi ini sudah selayaknya jadi perhatian pemerintah. Pemerintah harus sadar, untuk mencapai tahap tersebut akan ada banyak hal yang disiapkan sebuah UMKM. Karena itulah, ia menyarankan pemerintah memberikan pelatihan khusus bagi UMKM.

“Semua proses ini kualitasnya harus konsisten dan membangun konsistensi ini sangat penting,” ujar dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar