27 Februari 2023
08:08 WIB
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengimbau seluruh jajarannya, selalu berusaha mewujudkan keadilan substantif atau yang memenuhi rasa keadilan di masyarakat dalam melakukan tugas-tugas penegakan hukum.
Burhanuddin sampaikan, harapan itu dapat diwujudkan dengan kemampuan menggali nilai-nilai hukum di masyarakat. Karena, jaksa bukanlah cerobong undang-undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku.
"Jaksa harus menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum. Karena hati nurani tidak ada dalam buku, gunakan kepekaan sosial saudara-saudara," papar Burhanuddin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (26/2).
Burhanuddin meyakini, pendekatan keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum tidak dapat dipertahankan lagi.
Perubahan paradigma tersebut, lanjut Burhanuddin membuat kerja-kerja kejaksaan bukan sekadar melaksanakan kewenangan negara untuk melimpahkan suatu perkara ke pengadilan.
Jaksa juga menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana.
Dia mengungkapkan, adaptasi paradigma keadilan substantif dituangkan melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Hal itu kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, di mana dalam Pasal 30C huruf b dan c mengatur kejaksaan turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya.
Oleh karena itu, Burhanuddin menekankan kewenangan jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan harus dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat.
Pasalnya, hal itu memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Serta, menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat.
Hal serupa juga berlaku ketika penuntut umum berada dalam posisi harus menyatakan sikap banding atau tidak terhadap sebuah vonis.
Mereka dihadapkan pada kewajiban mempertimbangkan dinamika hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat selama ini. Serta, menggunakan standar dan syarat-syarat ketat tertentu yang sangat ketat.
Perhatian dan respons besar masyarakat terhadap perkara yang melibatkan Ferdy Sambo, misalnya, harus dikaji sejauh mana reaksi-reaksi kecewa maupun puas atas vonis persidangan mewakili keadilan substantif.
Kemudian kecermatan yang sama juga perlu dijaga dalam pertimbangan-pertimbangan penerapan restorative justice, mengingat respons serta reaksi masyarakat secara luas dan masif juga bisa dipengaruhi berbagai informasi di beragam platform media.
Oleh karena itu, Burhanuddin menegaskan bahwa berdasarkan asas dominus litis atau pengendali perkara sejak hulu hingga hilir.
Seorang, jaksa harus dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, mengakomodasi kepentingan masyarakat, dan menjadi solusi berbagai persoalan hukum di masyarakat.
"Sehingga jaksa yang modern di masa yang akan datang bukan saja sebagai jaksa humanis dari segi penegakan hukum. Tetapi, dapat menjadi bagian dari jawaban atau solusi persoalan-persoalan hukum di masyarakat urai Burhanuddin.