22 April 2024
20:20 WIB
Jakarta Tetap Tujuan Urbanisasi Meski Tak Lagi Ibu Kota
Jakarta maupun seluruh kota di Indonesia harus bisa mengelola urbanisasi. Geliat ekonomi di Jakarta masih menjadi magnet urbanisasi meski tak lagi jadi ibu kota.
Editor: Rikando Somba
Sejumlah pekerja berjalan di Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta. ValidNews.ID/Darryl Ramadhan.
JAKARTA-Setelah Ibu Kota Negara pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN), urbanisasi tetap diyakini akan marak ke Jakarta. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai Jakarta tak akan mampu menolak urbanisasi meski nantinya akan menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) .
"Kadang-kadang kita berpikir bagaimana ya membatasi orang masuk. Padahal, sudah takdir sebuah kota akan dikunjungi ramai orang, itu memang sudah di mana-mana," ujar Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9 bertajuk UU DKJ: Masa Depan Jakarta Pasca Ibu Kota di Jakarta, Senin (22/4).
Karena tak bisa membatasi ini, maka Jakarta maupun seluruh kota di Indonesia harus bisa mengelola urbanisasi. Apalagi pengelolaan urbanisasi di Indonesia sejauh ini belum optimal, yang terlihat dari dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Suhajar berpersepsi, hanya satu dari tiga penduduk Indonesia yang akan tetap tinggal di desa pada 2035. Adapun berbagai alasan masyarakat meninggalkan desa, sambung dia, yakni kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur dan aksesibilitas, kemajuan teknologi, serta perubahan sosial dan gaya hidup.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia menetap di daerah perkotaan. Ia menuturkan angka tersebut diprediksi semakin meningkat hingga 2035 menjadi 66,6%. Artinya penduduk rural atau pedesaan hanya tersisa 33,4%.
Dia menilai, kondisi juga terjadi di negara lain di dunia, seperti Jepang, yang hanya butuh 50 tahun untuk meningkatkan komposisi penduduk urban dari 18% pada sekitar tahun 1920 menjadi 50% di sekitar tahun 1970. Ini menjadikannya sebagai salah satu laju urbanisasi tercepat di dunia.

Di Indonesia, kata dia, peningkatan sebanyak 1% penduduk perkotaan hanya meningkatkan 1,4% produk domestik bruto (PDB) per kapita, lebih rendah dari dampak positif urbanisasi terhadap perekonomian China serta negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang mampu memberi kontribusi dua kali lipat lebih tinggi.
Padahal, pertumbuhan 1% penduduk perkotaan China serta negara-negara Asia Timur dan Pasifik masing-masing meningkatkan 3% dan 2,7% PDB per kapita negaranya. Karenanya, pengelolaan kawasan urban harus dikelola lebih inklusif dan mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan. "Ini harus menjadi perhatian seluruh walikota dan gubernur di Indonesia," ucapnya.
Pendatang Baru
Terkait urbanisasi, Pemerintah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, memproyeksikan jumlah pendatang baru usai Hari Raya Lebaran tahun ini akan menurun atau tidak sebanyak apabila dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
"Memang setelah Lebaran selalu muncul arus urbanisasi. Banyak warga pendatang ke kita, tapi tidak sebanyak dahulu," kata Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan di Cikarang, Jumat.
Ia menjelaskan berdasarkan hasil kajian pemerintah bersama Badan Pusat Statistik (BPS), gelombang urbanisasi terjadi dalam beberapa tahap yakni setelah Lebaran, proses perekrutan karyawan, serta kelulusan pelajar. "Justru sekarang banyaknya pas ada perekrutan (karyawan) perusahaan dan habis masa kelulusan. Banyak yang lulus kemudian mencari pekerjaan di Kabupaten Bekasi," katanya.
Kabupaten Bekasi memang menjadi daya tarik bagi pendatang untuk bekerja maupun berwirausaha bahkan wirausaha dinilai potensial mengingat jumlah penduduk yang cukup padat mencapai 3,1 juta jiwa.
Sementara peluang untuk mendapatkan pekerjaan cukup besar, mengingat sedikitnya ada 7.000 pabrik berskala nasional maupun internasional beroperasi di sejumlah kawasan industri daerah itu. Selain itu, besaran Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bekasi mencapai Rp5,2 juta turut menjadi daya tarik tersendiri. "Tapi jumlah pendatang baru yang diperkirakan tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya itu bisa jadi karena ada perubahan tren urbanisasi," katanya.
Dani mengaku faktor digitalisasi teknologi turut mempengaruhi arus urbanisasi, terutama saat digunakan calon perantau untuk mendeteksi lowongan ataupun kesempatan kerja di wilayah yang dituju.