03 Juni 2024
20:41 WIB
Izinkan Ormas Keagamaan Kelola Tambang, Pemerintah Langgar UU Minerba
Walhi mengingatkan, niat pendirian dan fungsi awal ormas keagamaan bukan untuk usaha pertambangan, tapi untuk visi misi yang berkaitan dengan keagamaan
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Foto udara kolam penampungan dan lubang pertambangan minyak ilegal yang ditinggalkan pemiliknya di B ungku, Batanghari, Jambi, Selasa (7/5/2024). Antara Foto/Wahdi Septiawan
JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengizinkan pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan berarti pemerintah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
Adapun PP yang dimaksud adalah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Walhi, Rere Christianto menjelaskan, dalam UU Minerba dinyatakan yang bisa mengelola pertambangan hanya badan usaha.
“Yang bisa mengelola pertambangan itu hanya badan usaha, koperasi atau badan usaha perorangan, Tapi pada pada poin pentingnya tidak pernah ditujukan kepada institusi lain selain kepada badan usaha yang memang secara spesifik akan mengurus pertambangan,” jelasnya kepada Validnews, Senin (3/6).
Izin kepada ormas keagamaan, ditekankannya, jelas keliru. Terlebih, ormas keagamaan yang sebetulnya secara niat pendiriannya dan fungsi awal dibentuk bukan untuk usaha pertambangan, tapi untuk visi misi keagamaan.
Rere menyampaikan dalam PP Nomor 25 ini, wilayah izin usaha pertambangan khusus atau WIUPK diberikan prioritas kepada ormas keagamaan. Sementara dalam UU Minerba dinyatakan bahwa untuk bisa mendapatkan WIUPK harus melalui proses lelang, tidak ada proses pemberian prioritas.
“jadi PP ini mem-bypass aturan UU yang mana ini kalau kemudian dibiarkan terus-menerus itu bisa menjadi preseden buruk sebenarnya dalam tata kelola pemerintahan, di mana aturan yang lebih rendah PP mengubah UU,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, ada unsur politik dari diterbitkannya PP Nomor 25 Tahun 2024. Ia mengatakan ada kebijakan politik transaksional terhadap ormas yang mendukung kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Jadi, kebijakan itu justru sangat kental sebenarnya dengan politik transaksi politik,” ujarnya.
Ia menyayangkan hal ini. Sebab, ormas dalam konteks masyarakat sipil sebenarnya adalah bagian dari komunitas masyarakat yang fungsinya adalah mengontrol pemerintah.
“Teori politik dimanapun itu akan menunjukkan bahwa mereka (ormas) adalah pilar demokrasi untuk memperkuat demokrasi, sehingga berjalan secara seimbang antara kekuasaan sama kekuatan masyarakat sipil,” jelasnya.