01 Oktober 2024
18:28 WIB
Indonesia Tak Cukup Hanya Andalkan Pengolahan Sampah Termal
KLHK mengatakan, Indonesia bisa saja menerapkan pengolahan sampah termal, namun tidak akan berdampak besar seperti Singapura
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Dua anak berjalan melintasi jembatan di atas kali Suralaya, Kota Cilegon, Banten, Jumat (2/8/2024). Antara Foto/Muhammad Bagus Khoirunas
JAKARTA - Singapura kerap mendapat respons positif atas pengolahan sampahnya menggunakan sistem termal. Meski begitu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) mengatakan sistem yang sama tidak begitu efektif menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia.
Adapun pengolahan sampah secara termal adalah proses pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan yang dapat terbakar, yang terkandung dalam sampah dan/atau menghasilkan energi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, Indonesia bisa saja menerapkan pengolahan sampah termal. Namun, tidak akan berdampak sebesar Singapura.
Dia menerangkan, pengolahan sampah hanya dengan cara termal bisa cocok di Singapura, karena luas negaranya yang kecil.
“Indonesia dengan segala kondisi budaya, kemudian sosial yang berbeda-beda itu tidak mungkin hanya diselesaikan dengan termal saja,” jelasnya, dalam forum diskusi di Jakarta, Selasa (1/10).
Maka dari itu, Indonesia perlu pengelolaan sampah secara less waste, ekonomi sirkular, maupun teknologi seperti adalah Refuse Derived Fuel (RDF). Model pengelolaan sampah ini disesuaikan dengan kondisi daerahnya masing-masing.
Terkait RDF ini, Vivien mengatakan, penting untuk dilakukan pemetaan sampah karena teknologi RDF bergantung pada industri atau offtaker.
Ia meminta komitmen pemerintah daerah (pemda) dalam mengelola sampah agar kebutuhan sampah untuk para offtaker terpenuhi.
“Industri ini tidak akan bisa menggunakan sampahnya kalau tidak konsisten jumlah sampah yang disetor. Kalau hari ini bisa satu ton besok hanya 500 kilogram (kg), kemudian turun jadi 200 kg, berat mereka,” kata Vivien.
Dengan menjaga konsistensi sampah, menurut Vivien, komitmen offtaker juga bisa dijaga. “Kalau tidak, sampahnya sudah menumpuk, kemudian industrinya tidak bisa terima, parah itu parah. Oleh karena itu ekosistem ini yang harus dibangun,” tambahnya.