28 Maret 2025
08:11 WIB
Indonesia Ajukan Banding Kasus Navayo ke Pengadilan Perancis
Pemerintah menilai penyitaan aset diplomatik Indonesia oleh Naayo atas persetujuan pengadilan Perancis tak melalui prosedur.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra (kiri) bersama Menteri Kehakiman Prancis Gérald Darmanin (kanan) dalam pertemuan di Paris, Prancis, Kamis (27/3/2025). ANTARA/HO-Kemenko Kumham Imipas.
JAKARTA - Pemerintah akan mengajukan banding atas keputusan pengadilan Prancis terkait kasus Navayo International AG dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Permohonan banding akan diajukan pada sidang yang dijadwalkan pada bulan Mei 2025.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) RI Yusril Ihza Mahendra mengaku akan memanfaatkan kesempatan banding untuk menyampaikan keberatan, sanggahan, dan bantahan atas keputusan pengadilan tersebut.
"Kami berharap pengadilan dapat mempertimbangkan berbagai fakta yang ada dan membatalkan keputusan yang telah diambil sebelumnya," kata Yusril dalam pertemuan dengan Menteri Kehakiman Prancis di Paris, Prancis, Kamis (27/3), seperti dikutip dari Antara.
Sebelum sidang itu, pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris telah menunjuk pengacara Prancis yang berpengalaman dalam menangani kasus penyitaan aset negara.
Yusril menuturkan pengacara tersebut pernah menangani kasus serupa bagi negara Kongo, dan dia yakin pengacara itu dapat membantu membela kepentingan pemerintah Indonesia di pengadilan Prancis.
Selain itu, sambung dia, Kemenko Kumham Imipas juga akan mengirimkan perwakilan untuk memberikan keterangan dalam persidangan.
Menko pun menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah hukum di dalam negeri terkait kasus Navayo Internasional.
Langkah dimaksud, yakni dengan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung guna menangani dugaan kecurangan atau fraud dalam perjanjian antara Navayo dengan Kemenhan.
"Dugaan fraud ini telah dikemukakan dalam persidangan arbitrase Singapura, namun langkah hukum pidana tetap diperlukan untuk menangani kasus ini lebih lanjut," ungkap dia.
Dia melanjutkan, pemerintah Indonesia menghormati putusan pengadilan Prancis atas kasus tersebut, namun menyoroti kekhawatiran terhadap prosedur yang telah diambil.
Pasalnya, menurut Yusril, pengadilan Prancis telah menetapkan penyitaan terhadap beberapa aset diplomatik tanpa terlebih dahulu memanggil pemerintah Indonesia sebagai pihak dalam persidangan.
Langkah tersebut, kata dia, bertentangan dengan asas-asas praktik pengadilan internasional, di mana semua pihak yang terlibat dalam suatu perkara seharusnya diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan sebelum putusan dijatuhkan.
"Kelalaian terhadap prinsip ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kredibilitas pengadilan Prancis dalam menangani permohonan yang diajukan oleh Navayo Internasional," kata Menko menegaskan.
Baca: Aset Indonesia Di Prancis Terancam Disita, Menko Yusril Bilang Begini
Selain itu, dia pun menegaskan bahwa berbagai aset yang disita merupakan objek diplomatik, yang seharusnya dilindungi oleh Konvensi Wina, sehingga tidak boleh disita oleh pihak swasta.
Disebutkan bahwa apabila penyitaan tetap dikabulkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi hubungan diplomatik internasional.
Menanggapi keberatan yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia, pihak Prancis menyatakan bahwa seluruh informasi terkait telah disampaikan kepada pengadilan, termasuk konfirmasi dari Kementerian Luar Negeri Prancis bahwa aset yang disita merupakan properti diplomatik pemerintah Indonesia.
Untuk itu, pengadilan Prancis memberikan kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Adapun kasus tersebut terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Pada 2016, Kemenhan menandatangani kontrak dengan pihak swasta asing untuk pengadaan Satkomhan tersebut, salah satunya dengan Navayo International AG.
Berdasarkan perjanjian yang diteken, terdapat ketentuan bahwa apabila terjadi sengketa (dispute) akan diputus oleh arbitrase Singapura. Navayo kemudian mengajukan gugatan ke arbitrase Singapura yang putusannya mengharuskan pemerintah Indonesia membayar sejumlah ganti rugi.
Hingga 2022, perusahaan asal Eropa itu mengajukan permohonan eksekusi sita pemerintah Indonesia di Paris pengadilan Prancis.
Pada 2024, pengadilan Prancis memberikan wewenang kepada Navayo untuk melakukan penyitaan atas hak dan properti milik pemerintah Indonesia di Paris. Salah satu aset tersebut, merupakan rumah-rumah tinggal pejabat diplomatik RI.
Selain upaya pembatalan penyitaan aset pemerintah Indonesia, Menko Kumham Imipas bersama Menteri Kehakiman Prancis Gérald Darmanin turut membahas kemungkinan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Prancis di bidang hukum.
Beberapa agenda utama yang dibahas meliputi perjanjian ekstradisi, pertukaran serta pemulangan narapidana (exchange and transfer of prisoner), serta perjanjian bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance/MLA) antara kedua negara.