Hasil studi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak mendapati implementasi regulasi pengelolaan lahan gambut di Indonesia masih lemah
Foto udara lanskap lahan gambut di kawasan Sumatra. Shutterstock/Bagus Park
JAKARTA - Hasil studi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak mendapati implementasi regulasi pengelolaan lahan gambut di Indonesia masih lemah. Hal ini menjadi ancaman yang membuat kerusakan lahan gambut.
Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana mengatakan, hasil studi pada tiga konsesi di Kalimantan Tengah menunjukkan buruknya tata kelola ekosistem gambut, kebakaran berulang pada area konsesi, konflik masyarakat, bahkan indikasi tumpang tindih dengan area proyek strategis nasional food estate.
“Kondisi tersebut menunjukkan ketidakseriusan upaya pemerintah dalam perlindungan ekosistem gambut dan penegakan hukum,” ujarnya, di kantor Pantau Gambut, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (25/2).
Di sisi lain, studi kasus ini meninjau ulang regulasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR), dengan menekankan pentingnya perlindungan ekosistem gambut secara lebih mendalam.
Sertifikasi ISPO di lapangan juga didapati masih menghadapi tantangan serius, seperti lemahnya penegakan regulasi dan praktik perusahaan yang tidak sesuai prinsip dan kriteria ISPO sesuai Permentan 38 Tahun 2020.
Sedangkan untuk EUDR, keterbatasan terletak pada definisi “hutan” yang digunakan, yaitu mencakup lahan lebih dari 0,5 hektare dengan pohon setinggi lima meter atau lebih dan tutupan kanopi di atas 10%.
“Definisi ini kurang memperhatikan ekosistem khusus seperti gambut, yang memiliki peran ekologis penting namun belum terakomodir sesuai dengan definisi tersebut,” katanya.
Sementara itu, Juru Kampanye Kaoem Telapak, Ziadatunnisa Latifa menyebutkan dengan menganalisis kelemahan regulasi yang ada, diharapkan dapat memberikan rekomendasi konkret untuk memperkuat perlindungan lahan gambut.
“Hal ini untuk memastikan Indonesia dapat memenuhi komitmennya dalam mitigasi perubahan iklim global dan mencegah deforestasi besar di masa depan,” ucap Zia.
Ketidakpatuhan Perusahaan
Lebih lanjut, studi ini mengungkapkan bahwa ditemukan praktik ketidakpatuhan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit terhadap regulasi yang ada, baik di tingkat nasional maupun internasional, terutama dalam konteks pengelolaan lahan gambut.
Hasil studi kasus di Kalimantan Tengah mendapati beberapa perusahaan, seperti PT Agrindo Green Lestari, PT Citra Agro Abadi, dan PT Bangun Cipta Mitra Perkasa, terbukti melakukan deforestasi serta konversi lahan gambut lindung menjadi perkebunan kelapa sawit.
Contoh PT Citra Agro Abadi (PT CAA), menanam kelapa sawit di kawasan gambut dengan fungsi lindung yang seharusnya tidak dimanfaatkan untuk kegiatan komersial.
“Pelanggaran ini tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan tetapi juga berdampak negatif pada Masyarakat Adat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem gambut,” kata Zia.
Selain itu disebutkan juga PT Bangun Cipta Mitra Perkasa yang dilaporkan memiliki riwayat kebakaran lahan berulang sejak 2015 ternyata memiliki persoalan tumpang tindih lahan dengan proyek Food Estate.
Upaya konkret untuk perlindungan dan pelestarian ekosistem gambut membutuhkan pendekatan multiaspek.
Multiaspek itu meliputi penguatan peraturan dan penegakan hukum terkait tata kelola perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, pemberian ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses perbaikan peraturan, peningkatan koordinasi antar kementerian dan lembaga yang terkait pengelolaan ekosistem gambut.
Kemudian pelaksanaan advokasi kepada negara-negara konsumen kelapa sawit mengenai kerentanan ekosistem gambut, termasuk melalui implementasi sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan seperti ISPO dan penguatan peraturan seperti EUDR.