20 September 2024
21:00 WIB
Ikhtiar Tak Putus Para Pendamping Odapus
Orang dengan lupus (odapus) mengalami permasalahan yang kompleks, baik itu dari sisi finansial, kualitas hidup, produktivitas hingga keadilan
Penulis: James Fernando
Editor: Nofanolo Zagoto
| Ilustrasi pita ungu yang menandakan penyakit lupus. Shutterstock/Jo Panuwat D |
JAKARTA - Diagnosis dokter 39 tahun lalu benar-benar membuat Tiara Savitri syok. Siapa sangka, saat merasa sehat, dokter justru berkata dirinya mengidap penyakit lupus.
Tiara sempat depresi. Apalagi di tahun 1985 belum banyak informasi soal lupus. Dia hanya tahu penyakit ini tidak bisa sembuh.
Mau tak mau, dia harus mengonsumsi obat khusus secara berkala untuk mengendalikan munculnya gejala yang beragam. Di antaranya adalah demam tinggi, ruam pada kulit, rasa lelah yang ekstrem, nyeri dada dan lainnya.
Dulu, tidak banyak buku dan kajian yang mengulas soal lupus. Kalaupun ada buku yang membahas, Tiara lebih banyak didera rasa khawatir. Jadi, saat ada buku yang mereferensikan sejumlah obat, Tiara terang tidak akan berani mengikutinya.
Masalah besar lainnya, dokter spesialis yang bisa menangani penyakit ini dulu masih minim. Baru pada tahun 1998, saat bertemu dengan dokter Zubairi Djoerban, Tiara mulai bersemangat. Karena, pernah saat berkonsultasi dengan dokter tersebut, Tiara dianjurkan untuk berkomunikasi dengan orang dengan lupus (odapus) lain.
Tiara bahkan disarankan membuat satu komunitas yang bisa membantu memberikan informasi soal penyakit lupus ini. Saran ini langsung diikutinya. Dia yakin keberadaan komunitas akan memudahkan para odapus untuk saling membantu, serta saling menyebarkan informasi yang valid soal penyakit ini.
Gayung bersambut. Tiara senang keinginannya mendapat respons positif odapus lain. Dari situ, dia mengetahui banyak odapus punya pengalaman hidup serupa. Sama-sama sulit mendapatkan informasi terkait lupus. Dari kumpul-kumpul ini akhirnya terbentuk lah Yayasan Lupus Indonesia.
Setelahnya, bersama-sama mereka mengumpulkan informasi yang bermanfaat untuk bertahan dari odapus. Informasi ini juga meluruskan banyaknya informasi yang salah.
Misalnya, ada informasi yang menggambarkan betapa menyeramkannya penyakit lupus ini. Berseliwerannya informasi hoaks ini menyebabkan mereka menjadi rentan dijauhi orang lain.
Tak hanya itu, banyak juga beredar informasi salah mengenai obat yang disarankan untuk odapus. Setahunya, pernah ada banyak sekali informasi di media yang menyarankan agar pengidap penyakit lupus untuk meminum obat yang bisa meningkatkan imun mereka. Padahal, para pengidap penyakit ini memiliki imun yang berlebih.
Jadi, seharusnya, ketika penyakit ini kambuh, mereka harus berupaya untuk menekan imun, bukan menambahnya.
Agenda penting mereka juga adalah menyebarkan informasi positif tentang lupus kepada masyarakat luas. Mereka terus menginformasikan bahwa para odapus sangat bisa bertahan dari lupus. Mereka bisa menang.
“Ternyata ya, saat saya dan teman-teman bergerak, kami akhirnya paham informasi yang beredar selama ini salah. Sudah langka, informasinya tidak valid. Obat yang kadang direkomendasikan pun suka salah,” ucap Tiara, saat berbincang dengan Validnews, Kamis (19/9).
Informasi terkait odapus lebih sering mereka sebarkan dengan cara interaksi langsung. Mereka sering menemui pasien-pasien odapus yang tengah dirawat di rumah sakit. Bahkan, mereka kerap melibatkan pihak rumah sakit untuk memberikan informasi serupa dan menyarankan para pasien untuk bergabung dengan komunitas ini.
Saling Beri Semangat
Di Yayasan Lupus Indonesia, Tiara dan teman-temannya juga sepakat berperan sebagai support system satu sama lain. Jadi, mereka sebagai pengidap, sekaligus pemberi semangat.
Mereka juga kerap berkomunikasi melalui sambungan telepon. Sesekali mereka mengadakan pertemuan untuk bertukar informasi baru mengenai lupus. Seiring berjalannya waktu, Tiara dan teman-temannya juga memutuskan untuk melakukan pendampingan kepada para odapus baik anak maupun orang dewasa.
Mereka tidak mau para odapus baru mengalami depresi yang berkepanjangan. Harus dipahami pula, status sebagai odapus bukan hal yang mudah dijalani. Sebab akan ada fase odapus tidak menerima kondisi tubuhnya sendiri.
Biasanya, situasi seperti itu rentan terjadi pada odapus yang masih duduk di bangku SMP maupun SMA. Sebab, anak perempuan yang masuk dalam usia remaja biasanya senang menjaga penampilan mereka agar tetap menarik. Akan tetapi, karena ketergantungan dengan obat, tubuh mereka bisa saja menjadi gemuk, tidak sesuai dengan harapan mereka.
Lain lagi dengan orang dewasa. Mereka rentan terpaksa merelakan pekerjaan mereka karena harus fokus untuk menjalani perawatan.
Pengidap penyakit lupus ini memang tidak bisa dalam kondisi stres atau tertekan. Karena bisa kambuh secara mendadak. Situasi ini biasanya tidak bisa dihadapi odapus dengan mudah, bisa berujung pada depresi.
Karena itulah, Tiara dan teman-temannya mencoba untuk mendampingi mereka agar tetap bisa menjalani perawatan dan aktivitas mereka sehari-hari, seperti biasanya.
Menurut Tiara, kegiatan pendampingan ini tidak mudah. Mereka tidak bisa terus menerus mengontrol para odapus baru atau muda lantaran punya masalah yang sama. Jadi, agar komunikasi tetap bisa intens, mereka sengaja membentuk sebuah grup WhatsApp.
Kendala Biaya Pengobatan
Sepengalaman Tiara, masalah utama yang dihadapi oleh para odapus biasanya soal besarnya biaya pengobatan. Harga obat untuk para pengidap penyakit lupus memang tergolong mahal. Setidaknya, satu strip jenis obat bisa menghabiskan ratusan ribu, belum lagi kebutuhan lainnya. BPJS tidak menanggung biaya pengobatan para odapus secara keseluruhan.
Biasanya, Tiara dan teman-temannya akan mencari cara untuk membantu biaya pengobatan. Perusahaan farmasi maupun korporasi swasta lainnya yang hendak memberikan CSR untuk Yayasan Lupus Indonesia, adalah pihak yang biasa dituju. Kalau bukan bentuk uang, bentuk sumbangan yang mereka dapat bisa berbentuk obat-obatan.
Kadang, Tiara juga bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk memberikan diskon harga obat kepada para odapus. Misalnya, kalau normalnya odapus harus mengeluarkan biaya Rp100 ribu untuk membeli obat, kali ini mereka cukup mengeluarkan uang Rp35 ribu.
Untuk meringankan biaya perobatan, Yayasan Lupus Indonesia juga bekerja sama dengan laboratorium dan sejumlah rumah sakit. Tujuannya untuk mempermudah para odapus mendapatkan pengobatan. Yayasan Lupus Indonesia juga bekerja sama dengan beberapa dokter agar bisa mempermudah pengobatan para odapus.
Di lain kesempatan, mereka juga kerap berkunjung ke daerah-daerah untuk bertemu dengan para odapus lainnya. Di sana, Tiara pasti membagikan pengetahuan yang dia tahu. Dia juga terbiasa menyarankan odapus di daerah untuk membuat komunitas sendiri untuk mempermudah keseharian mereka.
“Alhamdulillah, sekarang komunitasnya sudah banyak. Saya dan teman-teman juga pernah diminta untuk memberikan pendapat pengesahan hari lupus sedunia yang jatuh pada 10 Maret,” kata Tiara.
Seperti halnya Tiara, Ian Sofyan dan tiga orang temannya juga membangun gerakan yang sama di wilayah Yogyakarta. Mereka menamai komunitas mereka dengan nama Sahabat Cempluk. Kebetulan, Ian dan tiga orang temannya juga odapus.
Ian dan teman-temannya berkomitmen untuk memberikan dukungan bagi masyarakat yang mengidap autoimun lupus. Mereka berupaya menjadi tempat untuk sharing dan ruang pertolongan untuk sesama odapus.
Mereka selalu berupaya untuk memberikan edukasi dan pendampingan kepada para odapus dan juga keluarganya. mulai dari dukungan moral, obat-obatan, fasilitas pendukung seperti kursi roda, ambulans, dan menyelenggarakan event edukasi tentang lupus.
Ian sendiri sudah 25 tahun mengidap penyakit ini. Oleh karena itu, dia paham betul rasanya berjuang sendiri mencari tahu soal lupus, berjuang mencari dokter spesialis yang memahami lupus, hingga berjuang mencari obat-obatan yang harus dikonsumsi setiap hari.
Sepengalamannya, odapus juga bisa mengalami depresi karena perubahan fisik akibat lupus, hingga efek samping penggunaan obat secara terus menerus.
Odapus juga mengalami perubahan fisik yang disebut dengan moon face, gigi keropos, katarak dan lainnya. Tidak dapat dipungkiri ketika berada di fase itu, para odapus akan merasa sangat depresi dan sedih.
Karena itu, odapus sangat membutuhkan dukungan keluarga, teman, atau orang-orang sekitarnya. Terlebih anak-anak atau remaja belum tentu memiliki mental kuat untuk menghadapi perubahan fisik yang dimaksud Ian.
Makanya, sejak 2014 Ian dan teman-temannya berupaya untuk membantu odapus bangkit dari depresi. Mereka juga berupaya memastikan para odapus, khususnya anak-anak, memperoleh perawatan yang baik, meski Ian dan teman-temannya punya masalah yang sama.
Saat melakukan pendampingan, Ian kadang membagikan sejumlah tips untuk agar bisa survive dari lupus.
Biasanya, Ian akan mendorong para odapus untuk selalu berpikir positif. Dia kerap menyarankan agar para odapus bisa berdamai dengan kondisi mereka saat ini. Para odapus harus bisa mencintai dirinya sendiri meski mengalami perubahan total.
“Selemah-lemahnya, sejelek-jeleknya, di fase ini kita sudah siap menerima referensi baru. Biasanya kalau sudah begini sudah banyak ‘tanda’ mesti ke mana atau ngapain,” cerita Ian kepada Validnews, Kamis (19/9).
Ian dan teman-temannya selalu berharap bisa mengangkat kesedihan para odapus, meski sejumlah permasalahan lain akan menunggu, misalnya masalah biaya pengobatan.
Pasien lupus, sepengalaman Ian, memang terbiasa mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan. Kadang, orang tua dari anak dengan lupus harus menyisihkan pendapatan untuk ongkos perawatan harian. Kadang hal ini menempatkan mereka pada situasi sulit.
Karena hal itu, Ian selalu berupaya menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan farmasi. Dia berupaya untuk mendapatkan suplai obat-obatan untuk para odapus.
Cara lainnya, mereka akan coba meminta perusahaan farmasi untuk menjual harga obatnya lebih murah dibandingkan di apotek maupun di rumah sakit. Misalnya, satu strip obat dijual dengan harga Rp80 ribu dari harga normalnya lebih dari Rp200 ribu.
Beruntung, terbilang banyak perusahaan farmasi yang mau peduli. Kadang ada perusahaan yang memberikan obat untuk odapus secara cuma-cuma. Tapi, Ian dan teman-temannya tetap menjual obat itu dengan harga murah. Uang hasil penjualannya pasti diberikan kepada pengidap odapus yang tidak miliki biaya untuk berobat.
"Jadi ini kayak subsidi silang saja. Tujuannya, tetap untuk odapus juga membantu pengobatan dan lain-lain," kata Ian.
Ian juga berupaya menjalin kerja sama dengan perusahaan farmasi juga karena tahu stok obat-obatan di rumah sakit maupun di apotik sangat terbatas. Obat-obatan yang harus dikonsumsi para odapus hanya ada di rumah sakit tertentu saja, misalnya obat imunosupresan untuk mengontrol imun.
Peningkatan Kesadaran
Menurut Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Sukamto Koesnoe, langkah yang dilakukan Tiara bersama Yayasan Lupus Ondonesia, dan Ian bersama Sahabat Cempluk sangat bermanfaat bagi para odapus.
Gerakan seperti ini dinilainya bisa menguatkan pertukaran informasi antar-odapus. Mereka jadi mudah berbagi pengalaman dan tips penanganan gejala. Orang dengan lupus sangat membutuhkan dukungan emosional. Gerakan terkait bisa juga memacu kesadaran masyarakat tentang lupus. Para odapus juga jadi mudah mendapatkan informasi tentang dokter, pengobatan atau layanan pendukung.
Hanya saja, dia mengingatkan, informasi yang dibagikan jangan sampai mengesampingkan nasihat medis profesional. Jadi, ada baiknya setiap komunitas menguatkan kerja sama dengan tenaga medis.
Setahu dia, informasi seputar lupus beberapa tahun belakangan semakin menguat. Hal ini terlihat dari peningkatan kesadaran masyarakat dan munculnya penelitian tentang lupus.
"Meski demikian, masih ada kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran publik dan pendidikan medis tentang lupus," kata Sukamto, kepada Validnews, Kamis (19/9).
Sukamto juga mengingatkan, para pengidap lupus masih mengalami permasalahan yang kompleks, baik itu dari sisi finansial, kualitas hidup, produktivitas hingga keadilan.
Karena itu, dia berharap pemerintah dapat meningkatkan cakupan BPJS untuk obat-obatan lupus secara bertahap, serta mengembangkan program subsidi khusus untuk pasien lupus dengan kriteria dan syarat tertentu.
"Saya juga mendorong ada penelitian untuk pengobatan yang lebih terjangkau. Solusinya itu harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan pasien, keterbatasan anggaran dan keadilan bagi seluruh masyarakat," harap Sukamto.