03 Agustus 2024
12:05 WIB
IDI Ingatkan Dampak Pemerintah Legalkan Aborsi
Pemerintah legalkan aborsi secara bersyarat. IDI sebut, aborsi tindakan medis yang tak lepas dari risiko.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi aborsi. Shutterstock/dok.
JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan, aborsi merupakan tindakan berisiko meskipun aborsi bersyarat sudah dilegalkan oleh pemerintah. PB IDI menegaskan, aborsi merupakan tindakan medis dan seluruh tindakan medis memiliki risiko masing-masing.
"(Risiko) pertama ya pendarahan, kedua infeksi, ketiga mungkin dari faktor-faktor pembiusan, keempat ya trauma-trauma psikologis," ujar Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi PB IDI, Ari Kusuma Januarto, dalam konferensi pers daring, Jumat (2/8).
Dia menjelaskan, risiko itu akan semakin besar jika aborsi dilakukan saat usia kehamilan semakin tua. Lalu, jika terjadi luka dalam proses aborsi, hal itu akan berpengaruh pada kehamilan selanjutnya. Meski begitu, perempuan yang melakukan aborsi tetap punya kemungkinan untuk hamil lagi.
Selain itu, lanjut Ari, beberapa kondisi medis meningkatkan risiko aborsi pada perempuan. Misalnya, perempuan dengan riwayat infeksi, diabetes, hipertensi, atau berusia di atas 35 hingga 40 tahun.
Baca: Pemerintah Izinkan Aborsi Bersyarat
Oleh karena itu, Ari menegaskan aborsi bersyarat tidak boleh dilakukan sembarangan. Layanan aborsi harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten seperti dokter kandungan, tenaga medis atau tenaga kesehatan yang diberi pelatihan, psikiater, dan psikolog klinis. Layanan juga harus dilakukan di fasilitas yang memadai.
Selanjutnya, perempuan yang melakukan aborsi dinilai Ari perlu mendapat penanganan psikologis melalui konseling. Di samping itu, diperlukan pula dukungan psikologis dari keluarga.
Sebelumnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Aturan ini tercantum dalam Pasal 116.
Sementara itu, Pasal 119 menyatakan pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan pada fasilitas layanan kesehatan tingkat lanjut yang sesuai standar menteri. Layanan aborsi dilakukan oleh tenaga medis dibantu tenaga kesehatan sesuai kompetensinya.
Lalu, Pasal 123 menyatakan, dalam pelayanan aborsi harus diberikan pendampingan dan konseling sebelum dan setelah aborsi. Konseling dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, atau tenaga lainnya.