c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

15 Mei 2025

18:39 WIB

Hilirisasi Kelapa Terganjal Ekspor

Pemerintah melansir peta jalan hilirisasi kelapa 2025-2045 karena produk melimpah. Namun, kelangkaan bahan baku sudah terjadi di awal rencana. Petani lebih memilih ekspor.

Penulis: James Fernando

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Hilirisasi Kelapa Terganjal Ekspor</p>
<p id="isPasted">Hilirisasi Kelapa Terganjal Ekspor</p>

Virgin coconut oil (VCO) adalah minyak kelapa murni yang dihasilkan dari daging kelapa.Shutterstock/ worradirek.

JAKARTA – Belakangan, harga kelapa bulat tak jua turun. Di negeri dengan lagu Nyiur Melambai ini, sebaliknya malah terjadi hal paradoksal. Kelapa alami kelangkaan. Bukan produksinya berkurang jauh. Minimnya pasokan ke dalam negeri akibat petani lebih banyak menjual hasil panennya ke luar negeri, menjadi musabab. Pihak luar negeri selaku pembeli menerakan bandrol harga tinggi. 

Adalah hal wajar jika petani menginginkan keuntungan akibat kenaikan harga. Namun, fenomena kelangkaan kelapa bulat ini terjadi justru pada tahun pertama Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045 dijalani.  

Peta jalan ini sejatinya adalah rangkaian  program untuk meningkatkan nilai tambah kelapa, yang sering dijuluki sebagai pohon kehidupan (tree of life). Penyebutan pohon kehidupan bukan sembarang. Ini karena semua bagian tanaman kelapa dapat dimanfaatkan, melimpah di Indonesia. 

Hilirisasi mensyaratkan rantai pasok kelapa yang optimal. Tujuan yang ingin digapai dari hilirisasi, menjadikan kelapa sebagai sumber pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.

Sejauh ini, kelapa bisa menghasilkan beragam komoditas turunan yang semuanya punya nilai ekonomi. Mulai dari kelapa bulat, kopra, bungkil kopra, santan, kelapa parut kering, air kelapa, nata de coco, minyak kelapa, gula kelapa, arang tempurung kelapa, dan karbon aktif, adalah produk-produk kelapa yang sudah diekspor Indonesia ke berbagai negara.

Nah, sebelum peta jalan ini dilansir, sudah banyak kegiatan usaha untuk membuat produk turunan dari kelapa. Misalnya, badan usaha berbentuk koperasi yang mengolah minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil (VCO). 

Koperasi Amal di Aur Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat adalah salah satu yang melakukannya dengan sukses. Koperasi ini ada di wilayah dengan produksi kelapa melimpah. Namun, petani kelapa di sana tak menuai hasil tinggi dari mata pencaharian mereka, karena hanya menjual kelapa bulat saja.

Lalu, seorang petani setempat, Noveri Prima Yudi bertemu dengan seorang pengusaha VCO. Dia memberikan ide kepada Noveri untuk mengolah kelapa hasil panen mereka. 

Tatkala tawaran itu dirembuk dengan warga lain, mereka bertekad mencoba. Lalu, mereka belajar membuat. Hasil dari produksi kemudian dikumpulkan oleh koperasi untuk dijual.

“Kini, produksi VCO di koperasi kami 100 liter per bulan dari sekitar 1.000 butir kelapa,” urai Noveri pada Validnews, Rabu (14/5).

Kemudian, koperasi yang mencari pasar dan memasok VCO anggota. Tiap liter minyak kelapa ini dijual seharga Rp165.000 untuk dipasarkan melalui secara konvensional. Misalnya, di apotek dan rumah sakit di wilayah sekitar. 

Beberapa toko bahkan rutin menjual habis stok setiap bulannya. Pasar online sempat dicoba pada 2023. Namun, cara itu dihentikan karena keuntungan yang tipis. 

Minyak kelapa berlabel “Amal VCO” sudah memiliki daya jual. Namun, produksinya masih mengalami berbagai kendala untuk memperbesar pasar karena peralatan yang belum mendukung. 

Kelangkaan kelapa juga menjadi salah satu kendala mereka untuk meningkatkan produksi VCO. Bekerja sama dengan beberapa perusahaan besar untuk pasar luar negeri, seperti permintaan dari pembeli di India. Namun, tawaran itu masih tertunda, karena harga yang ditawarkan terlalu rendah. 

Warga berharap, dengan peralatan lebih modern, produksi mereka bisa lebih efisien dan menarik pasar luar negeri.

Hilirisasi Tersendat
Upaya seperti Koperasi Amal, melakukan hilirisasi kelapa mendapatkan dukungan Menteri Koperasi, Budie Arie Setiadi. Dia juga berharap, akan banyak koperasi serupa di daerah sentra kelapa yang ikut andil dalam hilirisasi kelapa untuk peningkatan ekonomi warga setempat.

“Kami belum punya data lengkap koperasi di bidang hilirisasi kelapa. Tapi, pemerintah siap dengan tim teknis untuk mendukung pengurus dan anggota koperasi mengembangkan produk mereka,” tutur Budie kepada Validnews, Rabu (14/5).

Pengurus Bidang Inovasi dan Kerja Sama Dewan Kelapa Indonesia (Dekindo), Mohamad Tohier membenarkan pernyataan Menko Budie. Dari berbagai UMKM dan koperasi pengolah VCO yang dia kunjungi, banyak yang berkembang setelah mendapat bimbingan dari pemerintah. Termasuk, bimbingan cara memasarkan VCO.  

Kini, lanjut dia, koperasi, BUMDes hingga UMKM dituntut untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan besar. Rantai pasok produksi memang harus mereka jaga agar kegiatan usaha mereka berkelanjutan.

Thohier melanjutkan, VCO punya prospek cerah karena memberikan sejumlah manfaat untuk kesehatan. Misalnya, membantu menurunkan berat badan, menjaga kesehatan jantung, mendukung pencernaan, meningkatkan daya tahan tubuh, dan menjaga kelembapan kulit. Di samping itu, selain untuk kesehatan, VCO bisa kembali diolah sebagai bahan baku kosmetik.

Namun, Thohier minta pemerintah waspada. Pasalnya, saat ini industri olahan kelapa tengah lesu akibat kelangkaan bahan baku akibat tingginya ekspor kelapa. Industri kelapa belum diimbangi dengan kebijakan pelindungan terhadap industri pengolahan dalam negeri.

“Perusahaan olahan kelapa milik saya telah berhenti produksi selama empat bulan karena kelangkaan pasokan,” ungkap Thohier.

Dekindo bersama asosiasi bidang kelapa lainnya terus mendesak pemerintah mengatasi kelangkaan ini. Mereka telah merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan moratorium ekspor kelapa bulat, penetapan tarif ekspor untuk komoditas kelapa, dan pemanfaatan dana dari pungutan ekspor untuk pengembangan industri dan bantuan bagi petani serta pelaku UMKM.

“Ini harus segera dilakukan agar hilirisasi industri kelapa ini bisa terjaga dan dilakukan dengan optimal secara bersama-sama,” kata Tohier.

Jalan Panjang Industri
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan menguraikan, pengolahan kelapa menjadi VCO ini sudah lama dilakukan di Indonesia. Terlebih, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbesar nomor dua di dunia. 

Merujuk data Statistik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, produksi tanaman kelapa pada 2023 sebanyak 2,84 juta ton atau setara 14,18 miliar kelapa butiran. Pada 2024, angka tersebut turun menjadi 2,82 juta ton atau 14,11 miliar kelapa butiran. 

Produksi kelapa di Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai 2,85 juta ton. Produksi ini berasal dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta.  

Tak hanya unggul diproduksi kelapa, Indonesia juga dikenal sebagai penghasil olahan kelapa besar, salah satunya VCO. Indonesia disebutkan merupakan produsen VCO terbesar di dunia, mengungguli negara-negara lain, seperti Filipina dan India.

Ervina Mela dan Dhenadya Savira Bintang, 2021, dalam karyanya bertajuk Virgin Coconut Oil (VCO): Pembuatan, Keunggulan, Pemasaran Dan Potensi Pemanfaatan Pada Berbagai Produk Pangan, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 40, memuat data yang dikumpulkan Research Nester (2021), lembaga survei pemasaran di New York. Dalam jurnal tersebut, disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil VCO terbesar di dunia, yakni mencapai 180 juta ton pada tahun 2017. Produksi ini mengungguli Filipina dengan produksi 150 juta ton dan 115 ton.

Masih dalam jurnal itu, disebutkan Prediksi Research Nester terhadap kondisi pemasaran VCO mulai menampakkan kenyataan pada pasar Indonesia. Pada tahun 2020, sejak terjadi pandemi covid-19, pemasaran VCO di Indonesia kembali menggeliat karena masyarakat berupaya mencari alternatif produk kesehatan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dalam menghadapi virus mematikan itu.

Dalam Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2025-2045, disebutkan produksi VCO cenderung mengalami fluktuasi dari tahun 2019 dan 2022. Sementara itu, produksi kelapa muda mengalami penurunan dari tahun 2020 hingga 2022.

Pada 2019 jumlah produksi VCO mencapai 60.537 ton. Lalu, pada 2020 turun menjadi 57.853 ton. Tahun berikutnya, jumlah produksi VCO menjadi 60.411 ton. Kemudian, pada tahun 2022 menurun kembali menjadi 54.684 ton.

Dalam Peta Jalan Hilirisasi juga disebutkan dari total pemanfaatan kelapa menjadi VCO, sebesar 43,8% diekspor. Di sisi lain, sebanyak 56,2% digunakan untuk konsumsi domestik. 

Bahkan, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah mematenkan temuan mereka tentang VCO, jauh sebelum lembaga itu dilebur ke Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN).

Temuan itu diutarakan Peneliti Pusat Riset Kimia BRIN, Teuku Beuna Bardant pada Validnews. Dia mengutarakan, penelitian VCO dilakukan sejak 1998 dan dipatenkan pada 2002. Ini bermula dari rencana pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. 

Lalu, pemerintah saat itu menggencarkan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar (biodiesel). Kemudian, mendorong industri kelapa agar bisa menyediakan minyak goreng alternatif. Produk sampingan, seperti air kelapa dalam kemasan, nata de coco, dan VCO, diharapkan membantu menekan harga minyak kelapa agar bersaing dengan minyak sawit.

Penelitian di atas diprakarsai oleh peneliti Tami Idiyanti, lulusan Jepang yang menguasai teknologi fermentasi. Penelitian tersebut berawal saat ia mengamati manfaat ragi tempe untuk memisahkan minyak dan air dari santan kelapa secara alami tanpa pemanasan berlebih. Hasilnya, ditemukan VCO dengan kandungan nutrisi yang lebih optimal, yakni minyak kelapa berkualitas tinggi, kaya akan asam lemak rantai pendek dan tak jenuh, serta tetap terjaga tanpa merusak struktur kimianya seperti yang terjadi dalam proses pemanasan konvensional.

“Dengan teknologi fermentasi ini, minyak kelapa dengan asam lemak rantai pendek tidak rusak dan dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Selain itu ikatan rangkap pada asam lemak dalam minyak kelapa juga tidak rusak karena panas. Inilah yang membedakan VCO dari minyak kelapa konvensional,” kata Teuku, kepada Validnews, Rabu (14/5)

Produksi komersial VCO berbasis teknologi ini dimulai tahun 2005 di Ciamis, bekerja sama dengan koperasi TNI AL (PUSKOPAL), dengan kapasitas mencapai 2.000 liter per bulan. Nilai jualnya pada saat itu pun lumayan tinggi dan menutupi biaya produksi.

“Teknologi ini pernah kami rekomendasikan ke pemerintahan saat itu,” tambah Teuku.

Akan tetapi, popularitas VCO dengan teknologi yang dikembangkan oleh LIPI tersebut membawa dampak negatif. Banyak produsen muncul tanpa standar mutu yang jelas. Banyak oknum yang muncul menggunakan mikroba secara asal, bahkan ada dari bibit kompos. Hal ini merusak citra dan daya jual VCO saat itu.

“Teknologi yang kami kembangkan saat itu pun malah ditiru tetapi menggunakan bahan yang tidak layak. Akibatnya, standar VCO pun menurun dan daya jualnya menurun,” tambah Teuku.

Pada 2008, Pusat Penelitian Kimia LIPI sempat menyelenggarakan workshop tingkat ASEAN untuk memperkenalkan teknologi ini. Sayangnya, upaya tersebut belum sepenuhnya diadopsi secara luas, baik di dalam maupun luar negeri. 

Teuku menyatakan, teknologi yang mereka kembangkan saat itu sempat diadopsi oleh Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menilai, desain pengolahan kelapa era Presiden SBY itu sudah sangat baik. Akan tetapi, implementasinya tidak berjalan mulus. Grand desain yang diciptakan pemerintah kembali stagnan dan tidak berjalan.   

“Sampai saat ini, saya belum melihat ada program pemerintah untuk mengembangkan program pengembangan turunan kelapa, khususnya VCO ini,” tandas Teuku. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar