09 Oktober 2025
20:12 WIB
Hakim MK Soroti Kontradiksi Aturan Jabatan Sipil Diisi Prajurit TNI
Ketua MK Suhartoyo menilai ada inkonsistensi antara syarat dan mekanisme pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan sipil yang diatur dalam Pasal 47 UU TNI
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Hakim Mahkamah Konstitusi. AntaraFoto/Dhemas Reviyanto
JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Suhartoyo, menilai ada kontradiksi pada sejumlah ayat dalam Pasal 47 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang mengatur soal TNI mengisi jabatan sipil. Kontradiksi ini memberikan ruang bagi Panglima TNI untuk ikut campur ke ranah sipil.
“Ini ada semacam kontradiktif di antara beberapa ayat kalau kita runut dari ayat satu sampai ayat lima,” katanya dalam sidang uji materi UU TNI di Gedung MK, Jakarta, Kamis (9/10).
Suhartoyo menilai ada inkonsistensi antara syarat dan mekanisme pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan sipil.
Pada ayat 1 disebutkan bahwa prajurit dapat menduduki jabatan di sejumlah kementerian atau lembaga (K/L). Kemudian pada ayat 2 dikatakan, prajurit dapat menduduki jabatan sipil di luar K/L yang tentukan pada ayat 1 setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
Selanjutnya, pada ayat 3 disebutkan bahwa prajurit yang menduduki jabatan sipil harus didasarkan atas permintaan pimpinan K/L serta tunduk pada administrasi yang berlaku di K/L bersangkutan.
Namun, Suhartoyo mengamati ayat berikutnya berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara institusi sipil dan militer.
Pada ayat 5, menurutnya, justru muncul ketentuan yang membuka ruang dan memberikan peran kepada Panglima TNI untuk melakukan pembinaan karier terhadap prajurit yang telah menduduki jabatan sipil.
“Di ayat 5 di situ justru disebutkan bahwa pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana ayat 1 dilaksanakan oleh Panglima. Ini bagaimana Panglima masih bisa cawe-cawe (ikut campur) kalau syarat untuk menduduki jabatan tertentu itu harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi,” ujarnya.
Terkait hal ini, Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pembinaan Panglima TNI dilakukan karena prajurit TNI masih terikat dengan pengadilan militer.
“Dia tidak bisa terlepas dari arahan panglima militer, karena di situ berlaku hukum pidana militer di situ,” jelasnya.