05 November 2025
16:34 WIB
Gubernur Riau, Abdul Wahid Minta Jatah Preman ke Dinas PUPR
Gubernur Riau, Abdul Wahid sejak Mei 2025 meminta jatah preman ke Dinas PUPR jika ingin anggaran dinaikkan.
Penulis: James Fernando
Editor: Leo Wisnu Susapto
Gubernur Riau Abdul Wahid (tengah) menggunakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, Gubernur Riau, Abdul Wahid meminta “jatah preman” untuk syarat menaikkan anggaran bagi Dinas Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PPKP) Provinsi Riau.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya, Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” ungkap Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak saat memberikan keterangan di Gedung KPK pada Rabu (5/11) dengan agenda memaparkan hasil operasi tangkap tangan (OTT) di Riau, Senin (3/11).
Tersangka AW, lanjut Johanis meminta fee lima persen terkait penambahan anggaran 2025 kepada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR-PKKP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.
Dalam perkara ini, selain Abdul Wahid, penyidik juga menetapkan dua orang lagi sebagai tersangka. Yakni, M Arief Setiawan (MAS) Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PPKP) Provinsi Riau. Terakhir, Dani M Nursalam (DAN) sebagai tenaga ahli Gubernur Riau.
Mereka disangka dengan Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Koruppsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Johanis menerangkan, perkara ini berawal dari laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh KPK pada Mei 2025. Informasi itu terkait adanya pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Ferry Yunanda (FRY) selaku Sekretaris Dinas PUPR-PKKP Provinsi Riau dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI untuk membicarakan pemberian fee kepada Abdul Wahid.
Atas informasi itu KPK pun mencari Abdul Wahid yang diduga bersembunyi di salah satu kafe di Riau. KPK juga mengamankan TM selaku orang kepercayaan Abdul Wahid di lokasi.
Baca juga: KPK Prihatin 4 Gubernur Riau Terlibat Korupsi
Setelah menangkap Abdul Wahid, penyidik pun langsung melakukan penggeledahan di kediaman Gubernur Riau itu. Hasilnya, penyidik menyita sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yakni 9.000 pound sterling dan US$3.000 setara Rp800 juta.
Johanis menjelaskan, dari penyidikan, pertemuan tersebut untuk membahas kesanggupan pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5%. Fee tersebut terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan kepada UPTJalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR-PKKP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.
Selanjutnya, FRY menyampaikan hasil pertemuan tersebut ke MAS. Kemudian, MAS mempersentasikan Abdul Wahid meminta fee sebesar lima persen.
Selanjutnya, para Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR-PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau kembali melakukan pertemuan dan menyepakati syarat dari Abdul Wahid. Hasil pertemuan itu pun dilaporkan ke MAS dengan bahasa kode ‘7 batang’.
Setidaknya, ada tiga kali setoran “jatah preman” untuk Abdul Wahid. Yakni, pada Juni 2025, FRY selaku pengepul uang dari Kepala UPT menyerahkan Rp1,6 miliar dan Abdul Wahid mendapat semiliar rupiah dan Rp600 juta kepada kerabat MAS.
Kemudian, pada Agusus 2025, atas perintah DAN, FRY kembali mengumpulkan uang dari kepala UPT senilai Rp1,2 miliar. Uang tersebut didistribusikan ke sopir MAS sebesar Rp300 juta, proporsal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta dan disimpan oleh FRY senilai Rp300 juta.
Kemudian, FRY mengumpulkan lagi Rp1,25 miliar. Kemudian, Abdul Wahid mendapat Rp450 juta melalui MAS dan Rp400 juta lagi langsung dari FRY kepada Abdul Wahid.
“Sehingga total penyerahan pada Juni-November 2025 menapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” tambah Johanis.