09 Desember 2024
20:00 WIB
Gerak Anak Muda Merasai Pekerjaan Hijau
Anak muda banyak yang mengira sektor hijau hanya terbatas menyediakan pekerjaan yang berkaitan dengan lingkungan atau tumbuh-tumbuhan.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi pekerjaan hijau. Shutterstock/Thx4Stock team
JAKARTA - Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan belakangan mulai menyita perhatian generasi muda. Mereka bahkan menjadi pihak yang paling khawatir dengan ancaman perubahan iklim di masa mendatang.
Ya, survei Indikator Politik Indonesia bersama Yayasan Cerah Indonesia pada 2021 menemukan ada 52% dari 4.020 responden (berusia 17 sampai 35 tahun) yang merasa sangat khawatir dengan kerusakan lingkungan, dan 30% agak khawatir. Isu polusi udara dan perubahan iklim juga tercakup dalam delapan besar isu yang mereka paling khawatirkan.
Beruntung, anak muda tidak sebatas merasa khawatir saja. Belakangan mereka juga banyak yang mulai tergerak untuk ikutan terlibat mengantisipasi perubahan iklim. Nabila Putri misalnya, yang kepikiran berbuat sesuatu karena merasakan Kota Malang berubah. Kota Malang dinilainya tidak lagi sejuk seperti masa kecilnya dulu.
Nabila bahkan merasa suhu di Malang sudah hampir menyerupai Jakarta.
“Saya baru menyadari kalau banyak yang berubah setelah saya masuk kuliah dan kerja magang di Jakarta beberapa tahun lalu. Pas balik ke Malang, saya mulai merasa kalau Malang sudah lebih panas dan cuacanya gak bisa diprediksi,” aku Nabila kepada Validnews, Kamis (5/12).
Setelah mencari tahu penyebabnya via internet, dia menyadari ini karena dampak kerusakan lingkungan. Meski ada cukup banyak informasi yang lantang menyuarakan pentingnya mengurangi dampak kerusakan lingkungan, Nabila lebih condong tertarik pada informasi yang disampaikan Koaksi Indonesia seputar green jobs (pekerjaan hijau) dan green skills.
“Kebetulan saat itu saya masih kuliah di semester terakhir pas 2022, jadi ada banyak waktu luang untuk ikut-ikut kegiatan yang diadakan sama Koaksi Indonesia, mulai dari webinar, workshop, semuanya saya ikuti,” terangnya.
Setelah mengikuti beberapa kali pertemuan, Nabila jadi yakin green jobs memiliki peluang yang cukup besar di Indonesia. Sebab perusahaan-perusahaan juga sudah mulai menyadari pentingnya tindakan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Karir di bidang hijau pun tidak hanya dikhususkan untuk lulusan jurusan teknik maupun lingkungan.
Setahu Nabila, semua pekerjaan yang ada saat ini bisa dikaitkan dengan green jobs, dan memanfaatkan green skills. Oleh karena itu, dirinya yang mendalami ilmu komunikasi pun memiliki kesempatan untuk berkarir pada sektor hijau.
“Setelah saya ikut berbagai kegiatan dan pelatihannya itu saya baru tahu kalau saya juga bekerja di sektor hijau, bahkan peluangnya besar, yang penting kita harus punya green skills,” tuturnya.
Pekerjaan Nabila saat ini sendiri merupakan bagian dari green jobs. Sekarang Nabila bekerja sebagai seorang peneliti muda di salah satu NGO yang fokus pada isu pertanian berkelanjutan. Di situ Nabila tidak hanya fokus pada isu pertanian saja. Dia juga bertugas memastikan para petani di Indonesia dapat menciptakan sistem pangan yang aman, adil, dan ramah lingkungan di masa depan.
“Kelihatannya memang tidak memungkinkan sebagai lulusan ilmu komunikasi bisa bekerja di bidang ini, saya sempat ikut workshop dan pelatihan lalu mendapat informasi pekerjaan ini dari greenjobs.id, dan saat ini sedang melanjutkan S2 untuk mendukung pekerjaan saya,” terangnya.
Menurut Nabila, generasi muda saat ini harus bisa ikut berperan dalam perubahan, khususnya untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Sebab, jika generasi muda saat ini tidak ikut berperan, generasi selanjutnya yang akan terdampak.
Salah satu langkah perubahan yang bisa dilakukan adalah dengan memiliki green skills dan bekerja di sektor green jobs. Menurutnya, dengan bekerja di sektor hijau, berarti seseorang telah berupaya untuk mengurangi dampak negatif aktivitas manusia terhadap lingkungan, mendukung keberlanjutan, dan melindungi sumber daya alam untuk generasi mendatang.
“Saat ini, memang belum banyak komunitas atau NGO yang fokus pada green jobs dan green skills, yang saya tahu baru ada Koaksi Indonesia dan juga Greenjobs ID, mungkin kalau lebih banyak akan lebih bagus jadi lebih banyak anak muda yang tertarik untuk masuk ke sektor hijau ini,” harap Nabila.
Usaha Sampah
Di tempat lain, Kholik Nur Habibie (24) tidak membayangkan dapat memiliki usaha manajemen sampah untuk beberapa perumahan di Bogor. Semua pengetahuan ini didapat Kholik sejak mengikuti kegiatan bootcamp Koaksi Indonesia di Bogor. Kegiatan itu membuat Kholik sadar bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi Bogor adalah masalah pengelolaan sampah.
“Mulai dari masalah penyortiran sampah rumahan maupun industri, pengelolaan sampah, hingga kapasitas penampungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) jadi permasalahan utama di Bogor,” kata Kholik kepada Validnews, Jumat (6/12).
Di bootcamp itu, Kholik mendapat teman baru dari Yogyakarta yang lebih dulu memulai usaha manajemen sampah di kotanya. Kholik belajar darinya agar dapat melakukan hal yang sama di Kota Bogor.
Mulanya, Kholik mengalami kesulitan saat meminta ibu-ibu di perumahan untuk melakukan penyortiran sampah di rumah mereka. Sampah yang tidak dipilah ini tentunya akan menyulitkan proses penyortiran antara sampah yang bisa didaur ulang dengan sampah yang bisa dijadikan kompos.
Dirinya sebenarnya sempat melakukan sosialisasi bersama Ketua RT untuk meminta warga untuk menyediakan dua tempat sampah di rumah masing-masing. Sayang, hal tersebut belum berhasil dilakukan.
Akhirnya, Kholik meminta bantuan dari Koaksi untuk itu mengedukasi ibu-ibu tersebut terkait pemilahan sampah. Gayung bersambut, sebagian warga mulai mau memisahkan sampah mereka.
“Awalnya memang susah, apalagi orang-orang di perumahan saya tidak terbiasa untuk melakukan penyortiran sampah, jadi memang selain mengelola sampah rumahan kita juga harus sosialisasi dan edukasi masyarakat agar bisa melakukan penyortiran sampah,” terangnya.
Meski usahanya belum terlalu besar, tetapi Kholik kini sudah bisa mengelola manajemen sampah di lima perumahan di sekitar tempat tinggalnya. Kholik menjalankan ini dengan bantuan beberapa pegawai, dan mulai bekerja sama dengan TPA, penyedia jasa pengelolaan dan pengangkutan sampah.
Dalam hal manajemen sampah ini, sampah dari tiap-tiap perumahan tidak langsung diangkut ke TPA. Sampah-sampah tersebut dipilah terlebih dahulu, lalu dikelola dengan menggunakan metode yang sesuai.
“Misalnya kalau plastik dicacah atau dilelehkan untuk jadi biji plastik, kertas diolah jadi kertas daur ulang, kemudian sampah organik akan dikelola menjadi pupuk kompos,” kata Kholik.
Berada di antara sampah sempat membuat Kholik dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, pendirian Kholik tetap tidak goyah berkat dukungan Koaksi Indonesia dan teman-teman dekatnya. Terlebih tujuan Kholik tidak hanya mengumpulkan uang saja, tapi ingin agar masyarakat dapat memahami manajemen sampah mulai dari rumah.
Dengan demikian, sampah-sampah ini tidak hanya dibuang menjadi benda tak berharga dan menumpuk di TPA. Tetapi sampah bisa dikelola sesuai jenisnya dan bisa menghasilkan sumber daya yang berharga.
“Sedikit demi sedikit pun warga mulai memilah sampahnya meskipun memang belum semua, tapi kesadaran itu mulai tumbuh,” ujarnya.
Kholik berharap hal yang dilakukannya sedikit banyak berkontribusi mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Sebab, pembiaran sampah akan berdampak pada lingkungan dan masyarakat, mulai dari pencemaran lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia, gangguan ekosistem dan lingkungan, serta dampak sosial dan ekonomi.
“Makanya anak muda harus mulai mengenal green jobs dan juga green skills, sehingga mereka juga bisa ikut berkontribusi dalam mencegah dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan, karena kalau tidak dimulai dari sekarang dampaknya bisa lebih buruk,” katanya.

Anak Muda Belum Paham
Sementara itu, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, Muhammad Ridwan Arif mengatakan, Greenjobs ID merupakan salah satu inisiasi dari Koaksi untuk mengenalkan apa itu green jobs dan green skills kepada generasi muda di Indonesia.
Ridwan menjelaskan, green jobs merupakan pekerjaan yang bisa membantu melindungi, memulihkan, dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Perlu digarisbawahi, green jobs tidak hanya mencakup pekerjaan yang berhubungan dengan upaya perlindungan lingkungan, tetapi juga pekerjaan di sektor lain yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan.
“Masih banyak yang salah persepsi yang salah soal green jobs, namun utamanya green jobs itu berfokus pada tiga hal, yakni layak, berkontribusi pada lingkungan, dan inklusif, jadi tidak hanya di bidang lingkungan tapi semua bidang bisa dikategorikan dalam green jobs,” kata Ridwan, Sabtu (7/12).
Greenjobs ID, kata dia, ada karena masih banyak generasi muda tidak mengenal green jobs dan green skills. Padahal, berdasarkan prediksi pemerintah, akan ada 1,8 juta pekerjaan baru di sektor green jobs pada 2030 mendatang.
Namun, karena ketidaktahuan generasi muda terkait dengan green jobs dan green skills ini, potensi ini bisa terbuang sia-sia. Oleh karena itu, Koaksi Indonesia mulai melakukan advokasi dan berbagai kegiatan untuk mengenalkan green jobs dan green skills ke anak muda di Indonesia.
“Antusias teman-teman sangat tinggi meskipun pada praktiknya ada beberapa kendala yang hadapi, tapi tiap kita mengadakan kegiatan antusias teman-teman mahasiswa ini sangat tinggi,” kata Ridwan.
Kegiatan yang dilakukan pun tidak hanya sekedar sosialisasi ke generasi muda, khususnya mahasiswa. Koaksi juga rutin melakukan diskusi, workshop, hingga bootcamp gratis untuk mengembangkan pengetahuan dan menambah green skills para mahasiswa tersebut.
Mereka juga menyediakan platform khusus untuk para mahasiswa atau fresh graduation yang ingin berkarir di bidang green jobs. Dengan demikian, mahasiswa atau fresh graduate yang tertarik untuk berkarir di sektor hijau bisa lebih mudah untuk mendapatkan informasi pekerjaan tersebut.
“Kalau yang ikut bootcamp ini sudah lebih dari 500 orang ya, cuman kalau yang ikut pelatihan atau bekerja, kami belum recap berapa banyak karena platformnya juga masih dikembangkan, tapi kami yakin sudah banyak,” katanya.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengenalkan green jobs dan green skills adalah masih banyaknya persepsi yang salah soal pekerjaan di sektor hijau. Ada banyak yang mengira, sektor hijau ini hanya menyediakan pekerjaan yang berkaitan dengan lingkungan atau tumbuh-tumbuhan.
Padahal, sektor green jobs sangat luas dan bisa mencakup banyak hal. Ia mencontohkan peserta bootcamp yang berasal dari jurusan desain produk bisa bekerja di sektor green jobs, dengan menyediakan desain produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Jadi tidak benar kalau green jobs ini berkaitan dengan petani atau perkebunan, semua pekerjaan itu terkait dan green jobs itu luas, jadi generasi muda tidak perlu khawatir dan takut untuk berkarir di sektor hijau yang peluangnya masih sangat besar,” kata Ridwan.
Dia mengatakan, tidak hanya soal pemahaman generasi muda yang masih asing soal green jobs. Salah satu tantangan lain yang dihadapi adalah masih banyaknya daerah yang tidak memiliki lapangan pekerjaan di sektor hijau. Padahal, seharusnya tiap-tiap daerah sudah mulai menghadirkan lapangan pekerjaan di sektor green jobs untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Contohnya, pekerja waste management atau pengelolaan sampah masih belum tersedia di kota-kota. Banyak kota hanya sekedar memiliki TPA tetapi tidak mempekerjakan seseorang sebagai manajer pengelolaan sampah.
Padahal, peran manajer pengelolaan sampah ini sangat penting untuk menyortir dan mengelola sampah sebelum dibuang ke TPA. Dengan demikian sampah-sampah ini tidak hanya menumpuk dan mencemari lingkungan, tapi memiliki nilai jual.
“Makanya dari workshop dan bootcamp kami, ada beberapa teman-teman yang akhirnya membuka usaha waste management atau ecopreneur untuk mendukung sustainability dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan, ini kan berkaitan erat dengan green jobs,” katanya.
Ridwan mengatakan, pemerintah sebenarnya mulai mengenalkan green jobs sejak tahun 2010 lalu. Pada saat itu pekerjaan yang tersedia masih berkaitan dengan energi terbarukan, sehingga pekerja yang dibutuhkan harus memiliki skill tertentu.
Namun, sejak 2020 ini pekerjaan di sektor hijau ini semakin terbuka luas dan mencakup berbagai hal. Berkaitan dengan komitmen pemerintah untuk menerapkan green economy dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
“Sejak tahun 2022 pemerintah melalui Bappenas mengeluarkan peta jalan green jobs, sehingga peluangnya makin terbuka luas, tinggal bagaimana pemerintah bisa melakukan sosialisasi dan membuat lebih banyak mahasiswa yang tertarik bekerja di sektor ini,” urainya.
Butuh Sosialisasi Masif
Menurut Peneliti Kebijakan Publik dari BRIN, Renny Savitri, sangat penting bagi pemerintah untuk lebih masif mengenalkan tentang green jobs dan green skills kepada generasi muda di Indonesia. Bukan hanya karena peluangnya yang besar, tetapi guna mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
“Pemerintah juga harus bekerja sama dengan komunitas, tidak hanya sekedar melakukan sosialisasi dan mengenalkan apa itu green jobs dan green skills saja, tetapi harus menciptakan program-program pelatihan untuk menyiapkan generasi muda,” kata Renny, Sabtu (7/12).
Renny mengatakan, generasi muda memainkan peran krusial dalam upaya penyelamatan bumi. Sebab mereka secara langsung mendukung upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, termasuk mempromosikan penggunaan sumber daya secara efisien dan berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.
Oleh karena itu, generasi muda membutuhkan skill-skill tertentu, khususnya yang berkaitan dengan green skills. Namun, hingga saat ini berbagai lembaga pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan tinggi masih belum menyiapkan lulusan mereka untuk masuk dalam sektor hijau tersebut.
Bahkan, masih ada banyak hambatan yang dihadapi generasi muda untuk mengakses informasi dan keterampilan hijau yang diperlukan untuk mendukung karir mereka. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena Bappenas telah memprediksi kebutuhan tambahan tenaga kerja green jobs adalah antara 1,8 sampai 4,4 juta hingga 2030.
“Pemerintah memang sudah menambahkan pelatihan green skills ke kartu prakerja sejak 2020 lalu, tapi pengikutnya juga masih sedikit karena mereka masih asing dengan istilah green jobs, green skills, dan lainnya, ini jadi PR besar untuk 5 tahun ke depan,” katanya.
Renny menambahkan, jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan ekonomi hijau dan pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah harus menyiapkan SDM yang memiliki green skill. Sebab, tanpa green skills dan pemahaman tentang sektor hijau yang memadai upaya pemerintah untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan akan sia-sia.