06 September 2025
16:19 WIB
Gelombang Aksi Lahir Dari Kondisi Sosial Sejak Pandemi
Sejak pandemi, kondisi ekonomi rakyat tak membaik dan wakil rakyat serta partai politik lebih menjaga kepentingan sendiri ketimbang suara rakyat.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Aksi membakar ban saat aksi unjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerj a di Jakarta, Rabu (28/10/2020). ANTARAFOTO/Galih Pradipta.
JAKARTA – Pengajar di Unviversitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta beri pendapat akan gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat sipil yang dalam beberapa pekan terakhir menyuarakan sejumlah tuntutan.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Mundjid, dikutip dari laman kampus itu, Sabtu (6/8) menilai aksi demonstrasi yang marak di berbagai daerah tidak bisa dipahami hanya sebagai respons spontan. Tetapi, lahir dari kondisi sosial yang sudah lama menekan publik.
“Sejak pandemi, masyarakat menghadapi beban ekonomi yang semakin berat, dan kebijakan yang seringkali tidak berpihak pada rakyat,” terang dia.
Dia menambahkan, tindakan represif aparat menjadi salah satu faktor yang memperbesar emosi massa. Sehingga menciptakan lingkaran kemarahan yang sulit dikendalikan.
Munjid menyoroti jarak antara rakyat dan para wakilnya di parlemen semakin jauh. Aspirasi publik seolah tidak pernah terhubung dengan proses politik formal.
Keadaan itu diperparah dengan partai politik yang belum menjalani reformasi pasca 1998, dan hanya berputar di lingkaran elit.
Sedangkan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Faturochman menyoroti dimensi psikologis dari keterlibatan generasi muda dalam aksi unjuk rasa. Ia menilai partisipasi mahasiswa dan Gen Z muncul karena rasa kecewa yang menumpuk, bukan sekadar mengikuti tren atau rasa takut tertinggal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak apatis, melainkan memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu keadilan sosial.
Kondisi tersebut memperlihatkan adanya kebutuhan besar untuk kanal partisipasi yang sehat agar energi kolektif mereka tidak tereduksi menjadi kemarahan semata. Tekanan sosial yang dialami generasi ini, baik karena faktor ekonomi maupun hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah, membuat aksi di jalan menjadi saluran yang dianggap wajar.
“Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita,” tutur dia.
Faturochman menambahkan, relasi antara pemimpin dan rakyat harus dibangun di atas penghormatan, bukan sekadar empati sesaat.
“Yang lebih mendasar dari empati adalah rasa hormat. Rakyat ini punya potensi besar, dan ketika tidak dihormati, maka kepercayaan akan hilang,” katanya.
Para pembicara sepakat, demonstrasi yang terjadi belakangan ini tidak boleh dipandang semata sebagai ancaman. Namun, sebagai cerminan kegelisahan masyarakat yang harus dijawab secara serius oleh negara. Respons instan dan parsial tidak akan cukup, karena akar persoalan terletak pada struktur politik dan institusi yang belum sepenuhnya menjalankan mandat publik.
Sehingga, harus ada reformasi menyeluruh, mulai dari perbaikan institusi kepolisian, pembenahan partai politik, hingga upaya membuka ruang partisipasi rakyat secara lebih luas.