30 Oktober 2024
09:09 WIB
Food Estate Tuai Kegagalan Sejak Era Suharto
Food estate gagal mengancam lingkungan dan merugikan masyarakat.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Petani menyiangi rumput di sela-sela tanaman bawang merah di food estate lereng gunung Sindoro Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (18/11/2021). ANTARAFOTO/Anis Efizudin.
JAKARTA - Semenjak era Presiden Soeharto, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, proyek food estate tidak pernah berhasil.
“Pembangunan sejuta lahan eks gambut untuk food estate di Kalimantan Tengah juga gagal,” kata Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Walhi, Rere Christanto kepada Validnews, Selasa (29/10).
Justru di lahan sejuta eks gambut tersebut, kata Rere, kebakaran hutan dan lahan berulang kali terjadi. Gambut rusak dan tidak lagi dapat dikelola oleh masyarakat.
Proyek MIFFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Maluku dan Papua juga gagal. Di Sumatra Utara juga gagal sebab petani dipaksa menanam jenis tanaman yang tidak sesuai dengan karakteristik wilayah tersebut. Selanjutnya, gagal karena dipaksa menanam dan panen meski belum waktunya, imbuh Rere.
Baca: Food Estate Dinilai Gagal Karena Perencanaan Tak Matang
Sebagai gambaran, MIFFE adalah proyek untuk penggunaan area besar untuk industri pertanian kelapa sawit dan tanaman pangan di Kabupaten Merauke pada 2010.
Dia menegaskan, pembangunan pangan skala besar atau food estate ini justru akan menyebabkan hilangnya pangan lokal, penggusuran rakyat, kerusakan ekologis, bencana ekologis dan krisis iklim.
Rere mengatakan, rezim Prabowo masih menjadikan ekstraktivisme sebagai basis program strategisnya seperti ketahanan pangan, ketahanan energi dan hilirisasi. Ketahanan pangan masih dibangun dengan model food estate.
Baca: Aspek Sosial Budaya Penting Untuk Pembangunan Food Estate
Dia mengingatkan, saat ini Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Papua Selatan itu akan membuka dua juta hektare hutan adat menjadi kebun pangan padi dan tebu untuk bioetanol, menjadi proyek penyebab deforestasi terbesar di Indonesia.
“Sebelumnya, proyek food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara yang terbukti gagal dan hanya menyebabkan kerusakan ekologis serta perampasan tanah milik masyarakat,” tambah Rere.
Struktur Kementerian beserta menteri dan wakil menteri yang telah diumumkan, kata dia, justru memperkuat proyeksi Walhi bahwa rezim Prabowo hanya bertujuan untuk menumpuk modal dan memperbesar kekayaan para pemodal melalui kebijakan dan program yang sedang ataupun akan berjalan.
Seperti, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan menjadi kementerian teknis di bawah Kementerian Koordinator Pangan.
“Walhi menduga besar ada upaya untuk mempermudah dan mempercepat segala bentuk penerbitan izin untuk pembangunan food estate dan shrimp estate di seluruh wilayah di Indonesia,” ungkap Rere.
Selanjutnya, Kementerian ATR/BPN menjadi kementerian teknis di bawah Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. Diduga, untuk mempermudah pengadaan tanah untuk proyek-proyek strategis nasional, proyek infrastruktur, Hak Guna Usaha bagi korporasi sawit, dan bank tanah.
Bukan hanya struktur, tetapi menteri dan wakil menteri yang dipilih untuk menduduki jabatan ketiga kementerian tersebut juga terafiliasi dengan para pemodal yang selama ini menguasai Indonesia.