04 April 2022
19:16 WIB
Penulis: James Fernando
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA – Saat jarum jam persis menunjuk angka 4, Samsudin (50) terbangun dari tidurnya. Sepagi ini dia dan tiga temannya bersiap membuat dodol Betawi.
Dia bergegas menaruh gula aren ke dekat tungku kayu bakar yang sudah disiapkan di teras rumah. Satu per satu temannya datang saat api tungku itu menyala.
Seorang teman langsung membantu Samsudin mengolah gula aren agar cair. Sementara itu, lainnya menyiapkan tepung beras dan santan. Kira-kira, 40 menit mereka mengaduk gula aren itu sampai cair, lalu mendinginkannya sesaat.
Gula aren cair yang sudah siap, kemudian mereka tuang ke dalam “kenceng” atau kuali berdiameter sekitar dua meter. Setelah melengkapinya dengan santan kelapa dan tepung ketan, isi kenceng itu mulai diaduk dengan spatula besar dari kayu aren.
Secara bergantian, mereka mengaduk adonan dodol dalam kenceng. Meski butuh delapan jam lamanya, momen mengaduk dodol pada hari itu justru penuh canda dan tawa.
Pembuatan dodol Betawi secara bersama-sama memang tak cuma bertujuan menjaga tradisi kuliner saat Ramadan tiba. Lebih dari itu, prosesnya kuat menyiratkan kebersamaan dan persaudaraan. Kerja sama dan kekompakan adalah yang paling dibutuhkan proses pembuatan dodol Betawi di kuali berukuran jumbo.
Setelah dodol matang, mereka segera mengemasnya dengan bermacam-macam ukuran. Gulungan paling kecil disajikan dengan berat 200 gram. Disiapkan pula kemasan dodol dengan berat satu kilogram. Semuanya disesuaikan dengan daftar pesanan.
Dodol Betawi Mak Nyai ini masih mempertahankan cara-cara tradisional dalam proses pembuatannya. Mesin pembuatan dodol otomatis tak masuk hitungan. Sederhana alasannya, ingin mempertahankan tradisi yang diwariskan leluhur.
Bahkan, kayu yang dipakai untuk menyalakan api tetap menggunakan kayu rambutan. Bara api hasil pembakaran kayu rambutan diyakini masyarakat Betawi lebih tahan lama.
Asap hasil pembakarannya juga diyakini tak akan merusak cita rasa dodol. Kayu rambutan malah menambah aroma sedap saat membuat dodol.
“Kalau kayu lain, kami tidak pernah gunakan. Karena kami takut, kayu lain bisa berpengaruh saat dodol selesai dimasak. Misalnya, makanannya bau asap dan lain-lain,” kata Samsudin, saat berbincang dengan Validnews, Senin (4/4).
Selain kayu, mereka juga masih menggunakan alat aduk menyerupai spatula dari kayu pohon aren. Alat ini sama dengan yang dipakai masyarakat Betawi pada zaman dulu.
Untuk mendapatkan alat berbahan kayu pohon aren, Samsudin harus memesan di Garut, Jawa Barat, jauh hari sebelum digunakan.
Daya tahan spatula berbahan kayu aren sudah teruji. Sekitar 30 tahun membuat dodol, belum pernah spatula Samsudin patah.
“Kalau kayu aren ini tidak ada. Mendingan kami tidak mengaduk dulu. Kalau pakai kayu lain, risiko patah. Terus serbuk kayu masuk ke makanan,” ucap Samsudin.
Pembuatan dengan cara tradisional inilah yang membuat dodol Betawi Mak Nyai bertahan hingga kini. Biasanya, saat memasuki pekan kedua bulan Ramadan, mereka sudah sangat sibuk membuat dodol. Agar dodol lebih cepat diproduksi, biasanya beberapa pekerja tambahan mesti direkrut.
Ya, bulan puasa memang menjadi bulan berkah bagi para pembuat dodol Betawi, termasuk dodol Betawi Mak Nyai. Pada bulan puasa tahun lalu saja, mereka sempat mendapatkan pesanan lebih dari 2.000 kilogram dodol Betawi.
Namun, semuanya harus diproduksi pada pekan kedua puasa. Mereka khawatir bila sudah dibuat pada pekan pertama, dodol itu akan mengeras saat di tangan pembeli.
“Padahal kalau orang tahu, saat dodol keras, itu lagi enak-enaknya untuk dimakan. Kalau sudah berjamur juga masih bisa dimakan asal tidak bau. Tinggal buang bagian jamurnya, dalamnya bisa dimakan,” terang Samsudin.
Agar Dodol Betawi Tetap Lestari
Dahulu, dodol adalah makanan yang wajib ada saat masyarakat Betawi menyambut bulan suci Ramadan. Bahkan, dodol sempat menjadi makanan mewah.
Orang-orang Betawi dahulu, biasanya sampai melibatkan 10 orang untuk membuat dodol. Mereka urunan untuk menutupi ongkos pembuatannya.
Selain pada momen Lebaran, dodol Betawi merupakan sajian wajib untuk hantaran pernikahan atau lamaran. Kue ini menjadi pelengkap makanan khas Betawi lainnya, seperti roti buaya, kue geplak, atau kue bacot.
Sayang, meski masih ramai pembeli, tak banyak generasi muda Betawi yang mau melestarikan makanan khas ini. Sebagai pembuat dodol generasi kedua di keluarganya, Samsudin kerap kepayahan mengajak anak-anak muda ikut membuat dodol.
Soal pembuatannya, juga sedikit yang mau mempertahankan cara-cara tradisional. Banyak pengusaha menggunakan kompor gas. Padahal, menurut Samsudin, kematangan dodol jelas berbeda.
Beruntung saja masih ada segelintir pemuda yang masih tertarik melestarikan “kue gotong royong” dengan cara tradisional. Salah satunya Ridwan (25), yang membuat warung dodol Betawi dengan nama Mpok Nur.
Dia mengakui, tak banyak generasi muda yang mau belajar membuat dodol Betawi. Kebanyakan rekan-rekannya memilih untuk menikmati makanan cepat saji.
“Saya belajarnya ya di dodol Mak Nyai. Mereka itu sesepuh di sini. Sejarah pembuatan juga mereka paham. Kalau saya tidak tahu soal filosofi. Tapi, saya mau melestarikan,” kata Ridwan, saat berbincang, dengan Validnews, Senin (2/4).
Memang baru dua tahun Ridwan menjalankan usaha pembuatan dodol. Dia bisa bertahan karena peminatnya masih sangat ramai.
Ridwan bercerita, dalam sepekan, mereka bisa membuat dodol sebanyak tiga kenceng. Tiap kenceng dapat menghasilkan 50 kilogram dodol. Hasil produksinya pun dapat habis terjual dalam waktu satu hingga dua minggu.
Sama dengan Samsudin, Ridwan pun kebanjiran pesanan menjelang Idulfitri. Pada 2021, dia membuat dodol sekitar 2500 kilogram. Tak sampai Lebaran tiba, dodol buatannya itu sudah habis terjual.
“Alhamdulilah. Kalau rejeki itu ada saja. Dodol ini, biasa pasti habis saya jual,” kata Ridwan.
Dodol Betawi Kue Silaturahmi
Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra menguraikan pengamatannya soal dodol ini. Dia menyebutkan, peminat dodol Betawi sebenarnya semakin banyak. Bahkan, menurutnya pengusaha dodol tradisional ini sudah lebih banyak dibandingkan beberapa tahun yang lalu.
Dodol Betawi, kata dia, memiliki filosofi yang religius. Makanan ringan ini mengartikan manusia tidak bisa memisahkan diri dari kekuatan dan campur tangan Tuhan.
Pemilihan tiap bahannya pun memiliki berbagai arti. Misalnya, penggunaan beras ketan melambangkan keeratan dan kebergantungan manusia kepada Tuhan. Sebab, beras ketan membuat makanan menjadi lengket dan susah dipisahkan.
Dari sisi kehidupan sosial, dodol Betawi dianggap sebagai kue silaturahmi. Makanya, dodol wajib dihidangkan untuk hantaran saat Idulfitri.
Fungsinya, sama dengan beberapa makanan tradisi Betawi lainnya, seperti uli, geplak, rakambang, dan wajik. Makanan-makanan ini, kata Yahya, menunjukkan persatuan orang-orang Betawi.
Hanya saja, diakuinya, penyajian dodol saat ini sudah berbeda. Dulu, dodol Betawi disajikan menggunakan tenong atau tempat menaruh makanan yang terbuat dari bambu yang dianyam dan berbentuk bulat. Saat ini, dodol Betawi disajikan dengan berbagai bentuk kemasan.
Yahya menceritakan, sewaktu duduk di bangku Sekolah Menegah Atas (SMA) pada 1978, Yahya sering melihat orang tuanya bersama tetangga sekitarnya membuat makanan ringan ini. Mereka berbagi tugas menyiapkan bahan-bahan untuk dodol.
Ada yang bertugas menumbuk beras ketan. Ada juga yang memarut kelapa. Sebagian lainnya, menyiapkan api dan mengaduk dodol. Karena itu, kebersamaan dan kekeluargaan orang Betawi pada zaman dulu sangat erat.
“Kalau sekarang susah untuk membuat secara bersama-sama. Kemudahan membuat dodol juga sudah berbeda. Banyak juga warung yang menjual dodol. Jadi, waktu mau Lebaran, tinggal membeli saja,” tutur Yahya, kepada Validnews, Senin (4/4).
Bagi Yahya, tradisi pembuatan dodol secara bersama-sama ini perlu dilanjutkan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang sudah membuat Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Sayang, penerapan aturan itu belum maksimal karena sosialisasi yang minim.
“Semua manusia tidak bisa hidup sendiri. Nah, ini tugas kita bersama agar nanti kebersamaan orang Betawi tetap terjaga,” ucap Yahya.
Sementara itu, Kepala Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan, Imron, mengaku concern terhadap kelestarian panganan tradisional ini, termasuk dodol. UPK PBB Setu Babakan kata dia kerap membuat kegiatan di luar perkampungan Betawi, demi memperkenalkan makanan tradisi ini.
Hanya saja, saat pandemi covid-19 menyerang, UPK PBB Setu Babakan tak lagi menggelar acara. Hampir dua tahun, pameran makanan khas Betawi ini pun urung diadakan.
“Tugas kami membantu memasarkan dan mengenalkan makanan ini,” singkat Imron.