06 Oktober 2025
15:37 WIB
Eks Dirut PLN Disangka Merugikan Negara Ratusan Miliar
Eks Dirut PLN, Fachmi Mochtar disangka merugikan negara Rp1,3 triliun dari pembangunan proyek PLN.
Penulis: James Fernando
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi seorang pria yang diborgol. Shutterstock/Brian A Jackson.
JAKARTA – Kortas Tipidkor Polri menetapkan mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Fahmi Mochtar sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Kepala Kortas Tipidkor Mabes Polri, Irjen Cahyono Wibowo mengatakan, penyidik juga menetapkan tiga tersangka lainnya dalam perkara serupa. Mereka adalah HK selaku Presiden Direktur PT BRN.
Lalu, RR selaku Direktur Utama PT BRN. Terakhir, HYL selaku Direktur PT PI.
Cahyono menyatakan, kasus ini berawal saat PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan PLTU Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2X50 MegaWatt (MVW). Rencananya, pembangunan ini akan dibangun di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Akan tetapi, sebelum pelaksanaan lelang tersebut terjadi pemufakatan jahat dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan Fahmi Mochtar. Tujuannya untuk memenangkan PT BRN dalam lelang tersebut.
Selanjutnya, atas perintah Fahmi Mochtar, panitia pengadaan PLN meloloskan dan memenangkan KSO bentukan BRN. Di dalamnya terdapat perusahaan ALton dan OJSC. KSO ini pun memenangkan lelang meski tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
"Diduga kuat bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh BRN," kata Cahyono.
Selanjutnya pada 2009, sebelum pelaksanaan tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN. Pengalihan itu dengan kesepakatan pemberian imbalan atau fee kepada BRN
Saat penandatangan kontrak berlangsung pada 11 Juni 2009, pihak PLN belum mendapatkan pendanaan karena KSO BRN belum melengkapi persyaratan.
Kemudian, pada 28 Februari 2012, KSO BRN maupun PT PI baru menyelesaikan 57% pekerjaan. Hingga amandemen kontrak yang ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaanya.
Selama masa kontrak, mereka baru menyelesaikan 85,56% pekerjaannya. Alasannya, ketidakmampuan keuangan.
"Namun demikian, diduga bahwa ada aliran/transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lainnya secara tidak sah," tambah Cahyono.
Berdasarkan penyidikan, ternyata KSO BRN telah menerima pembayaran dari PLN sebesar Rp323.199.898.518 untuk pengerjaan konstruksi sipil. Lalu, US$62.410.523,20 untuk pekerjaan mechanical electrical.
Akan tetapi, hingga saat ini pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat belum juga selesai dan tidak dapat diserahkan untuk dimanfaatkan oleh PLN hingga mengalami kerugian.
Dari Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Kerugian Negara yang dikeluarkan oleh BPK pada 22 Juli 2025 menyatakan, telah terjadi penyimpangan yang terindikasi terjadinya potential loss dalam atau kerugian total pengerjaan proyek tersebut. Rinciannya, US$62.410.523,20 dan Rp323.199.898.518.
"Atau kalau dihitung dengan kurs saat ini mencapai Rp1,3 triliun," kata Cahyono.
Di tempat yang sama, Direktur Penindakan Kortas Tipidkor, Brigadir Jenderal Totok Suharyanto menambahkan, pihaknya telah memeriksa sebanyak 65 orang saksi dalam kasus ini. Juga memeriksa ahli LKPP, EPCC, BPK, keuangan negara dan ahli ketenagakerjaan. Selain itu, pihaknya juga menyita dokumen dari PT PLN, BRN, PT PI dan pihak terkait lainnya.
"Kami juga menerima laporan hasil pemeriksaan investigative perhitungan kerugian negara BPK atas pembangunan PLTU tersebut," kata Totok.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.