14 Juni 2023
16:06 WIB
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR, Johan Budi mengingatkan, agar para jaksa tidak menyalahgunakan restorative justice (RJ) sebagai salah satu upaya 'damai' terhadap suatu perkara. Apalagi, perkara-perkara besar dengan tuntutan lebih dari lima tahun.
"Melihat dari banyaknya kasus yang di-RJ-kan, jangan sampai ada kesan RJ ini merupakan jalan untuk 'damai' dengan tanda kutip, terhadap satu perkara," ujar Johan Budi dalam rapat Komisi III DPR, Rabu (14/6).
Menurut data Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, pada 2022 ada 1.454 perkara yang selesai dengan restorative justice.
Rinciannya, 1.393 perkara orang dan harta benda, 31 perkara Keamanan Negara dan Ketertiban Umum Dan Tindak Pidana Umum Lainnya (Kamnegtibum-TPUL) dan 30 perkara narkotika.
"Untuk narkotika ini kan biasanya dari polisi dulu, coba minta penjelasan terkait ini biar detail," ucap mantan Juru Bicara KPK ini.
Dia menambahkan, para jaksa mesti lebih ketat menyeleksi perkara yang masuk RJ sesuai dengan Peraturan JA Nomor 15 tahun 2020. Sebab, beberapa waktu lalu Johan menerima informasi kasus korupsi bisa dilakukan RJ.
"Saya dapat info, yang saya cek kemudian tidak benar, kasus-kasus korupsi mau di-RJ-kan. Mengkhawatirkan kalau ada kesan RJ itu jalan damai, padahal perkara itu tidak masuk kategori RJ," paparnya.
Ke depannya, Johan meminta Jampidum Kejagung untuk sosialisasi pengetahuan soal keadilan restoratif. Termasuk, meningkatkan pengetahuan jaksa untuk mengatasi perkara-perkara dengan syarat restorative justice.
Apalagi, menurut dia, tantangan ke depan akan lebih besar karena adanya kemajuan teknologi yang berpotensi menjadi persoalan hukum. Di samping itu, memasuki tahun politik juga kemungkinan akan banyak laporan untuk menjatuhkan lawan politik.
"Ini sumber daya manusia jaksanya perlu ditambah dengan pengetahuan baru. Seharusnya ada anggaran untuk peningkatan kapasitas kemampuan jaksa," tutur Anggota Fraksi PDIP ini.
Senada, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso juga meminta jangan sampai ada penyalahgunaan penetapan RJ, terutama dalam kasus kecil yang sudah memenuhi syarat RJ.
"RJ jangan dijadikan sumber ATM, apalagi bagi rakyat yang memang perkaranya atas tindakan yang dilakukan sesuai dengan syarat RJ," cetus Santoso.
Lebih lanjut, Santoso mendorong Jampidum Kejagung untuk meningkatkan moralitas jaksa sebagai penegak hukum. Lantaran, jaksa dihadapkan oleh potensi adanya abuse of power pada perkara-perkara tertentu.
Maka, ia berharap jaksa bisa lebih konsisten dan tegas dalam menyelesaikan suatu perkara, khususnya perkara-perkara menyangkut nama dan jabatan yang besar.
"Harapannya hilang, tapi kalau hilang 100% tidak mungkin, jadi harus berkurang. Saya harapkan kinerja Jampidum terhadap para jaksa di bawahnya," tandas Santoso.
Kejaksaan Agung menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020 tersebut, pertimbangan untuk melaksanakan RJ berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Restorative justice sendiri adalah metode penyelesaian konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.
Restorative justice lebih mengutamakan proses dialog dan mediasi guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku.