19 Juni 2025
09:18 WIB
DPR Masukkan Impunitas Advokat Di Rancangan KUHAP
Impunitas advokat dimasukkan dalam RKUHAP karena ada advokat yang terjerat pidana ketika mendampingi klien.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi-borgol. Shutterstock/dok.
JAKARTA - Komisi III DPR sepakat untuk membuat pasal terkait impunitas bagi advokat guna dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman menyampaikan hal itu guna merespons usulan dari akademisi sekaligus advokat dari Universitas Borobudur. Usulan itu disampaikan karena ada advokat yang justru terjerat pidana ketika mendampingi klien.
"Pasal terkait impunitas advokat itu sudah kita sepakati untuk dimasukkan di KUHAP," kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (18/6).
Anggota DPR yang memegang lisensi advokat itu menyatakan, Komisi III DPR sudah menyepakati impunitas advokat itu sejak dua bulan lalu. Sehingga, usulan serupa yang datang setelahnya, sudah diakomodasi jauh sebelum diusulkan.
Akademisi sekaligus advokat dari Universitas Borobudur, Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menjelaskan usulan itu perlu ditekankan karena advokat bisa masuk ke penjara setelah bekerja keras membela orang yang berhadapan dengan hukum.
Dia menilai profesi advokat tidak terlalu "sakti" saat mendampingi klien. Terkadang, kata dia, seorang advokat justru masuk ke penjara, sedangkan kliennya bebas dari jeratan hukum.
"Kadang-kadang terdakwanya lolos, tapi kami yang justru masuk. Jadi mungkin ini yang perlu dijadikan bahan perundingan," kata Tjoetjoe dikutip dari Antara.
Baca juga: Peradi Usul Penyadapan Dihapus Dari RUU KUHAP
Sementara itu, Habiburokhman menerangkan, Komisi III menerima 196 masukan dari Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) terkait RKUHAP.
Dari total 196 masukan untuk RUU KUHAP tersebut, DPN Peradi kemudian membacakan 18 poin penting, sedangkan masukan lainnya disampaikan secara tertulis.
“Sesuai dengan permohonan kita terkait dengan usulan-usulan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” kata Ketua Harian DPN Peradi, R Dwiyanto Prihartono.
Advokat senior itu mengatakan, dari 18 poin tersebut, ada empat poin yang krusial. Pertama, tentang penyadapan. Ini suatu hal yang sangat eksesif melewati batas untuk konteks hukum acara pidana yang umum.
“Bahwa kemudian ada undang-undang lain yang mengatur soal itu, itu silakan saja, tapi jangan tempatkan itu di KUHAP,” urai dia.
Kedua, hak advokat, di antaranya berbicara dengan kliennya, baik tersangka, terdakwa, maupun terpidana kapan pun dan tanpa didengar oleh siapa pun.
“Aturan lama yang sekarang berlaku, ini dapat didengar oleh para penyidik atau petugas-petugas,” sebut dia.
Ketiga, penyidik wajib memberikan turunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada saksi maupun tersangka usai menjalani pemeriksaan. Selama ini, hanya tersangka yang berhak mendapatkan turunan BAP.
“Kalau tidak bisa, tidak ada aturannya, maka kami (advokat) tidak bisa meminta kepada mereka berdasarkan surat kuasa yang kita punya,” kata Dwi.
Terakhir atau keempat, penghentian penyelidikan masuk dalam objek praperadilan atau bisa dipraperadilankan. Masukan itu disampaikan karena banyaknya dokumen yang diterbitkan oleh penyelidik mengenai surat perintah penghentian penyelidikan.
Adapun RUU KUHAP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional DPR RI Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI. Habiburokhman pun menargetkan bahwa di masa sidang yang dimulai pada 24 Juni 2025, RUU KUHAP akan mulai bergulir dan masuk tahap pembahasan.