c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

17 Maret 2025

08:10 WIB

Dosen Unhan Uji Materi UU TNI ke MK

Uji materi UU TNI terkait jabatan pengaturan sipil prajurit dan larangan prajurit TNI berbisnis.  

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Dosen Unhan Uji Materi UU TNI ke MK</p>
<p>Dosen Unhan Uji Materi UU TNI ke MK</p>

Ilustrasi prajurit TNI. AntaraFoto.

JAKARTA - Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Kolonel M Halkis mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Karena UU TNI dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengekang hak prajurit sebagai warga negara," ungkap Halkis dikutip dari Antara, Minggu (16/3).

Kuasa hukum pemohon, Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar, menerangkan, permohonan uji materi itu dengan nomor registrasi 41/PAN.ONLINE/2025.

Baca: RUU TNI Akan Bahas Usia Pensiun Dan Penempatan Prajurit Di Jabatan Sipil

Pemohon yang juga perwira TNI aktif itu menguraikan, Pasal 2 huruf d UU TNI mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.

Pasal ini menurut pemohon tidak tepat secara logika karena menggunakan pendekatan negatif, tidak menjelaskan apa definisi tentara profesional secara positif, melainkan hanya menyebutkan apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga ada kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer.

"Tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik," urai pemohon.

Lalu, dalam Pasal 39 ayat 3 UU TNI, melarang prajurit untuk berbisnis, aturan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Di Amerika Serikat dan Jerman, menurut pemohon, prajurit justru boleh memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas. Selanjutnya, mengapa di Indonesia dilarang, sementara jaminan kesejahteraan bagi prajurit tidak memadai.

"Prajurit juga mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pascapensiun. Jika larangan tetap berlaku, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak bagi prajurit selama bertugas dan setelah purnatugas," jelas dia.

Selain itu, lanjut Halkis, pada Pasal 47 ayat 2 UU TNI, yang membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif hanya pada tujuh instansi, seperti Kemenko Polhukam, BIN, Lemhannas, dan BNN. Aturan ini tidak sejalan dengan prinsip meritokrasi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945, yang menjamin hak warga negara atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

"Banyak jabatan sipil yang memerlukan keahlian teknokratis dari prajurit TNI, seperti di Kementerian Pendidikan atau Kementerian Luar Negeri, namun aturan ini membatasi kesempatan bagi mereka yang memiliki kompetensi di luar tujuh instansi tersebut," sebut Halkis.

Karena itu jika MK mengabulkan permohonan ini, beberapa perubahan besar dapat terjadi, konsep profesionalisme militer akan lebih jelas dan berbasis prinsip konstitusi serta keadilan. Hak ekonomi prajurit lebih fleksibel, diberlakukan sistem pengawasan ketat, atau negara wajib memberikan kesejahteraan yang lebih baik.

Prajurit TNI bahkan memperoleh kesempatan karier yang lebih luas, prajurit dapat menduduki jabatan sipil berdasarkan kompetensi.

"Reformasi UU TNI melalui keputusan MK diyakini dapat menjadi dasar untuk merevisi UU TNI agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman, sekaligus menjadi preseden penting bagi reformasi ketatanegaraan di Indonesia," jelas Halkis.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar