19 Oktober 2023
20:00 WIB
JAKARTA - Majelis Hakim Tipikor Jakarta memvonis Lukas Enembe delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider empat bulan pidana kurungan pengganti atas perkara suap dan gratifikasi. Gubernur nonaktif Papua tersebut menyatakan menolak putusan majelis hakim dan akan mengajukan banding.
“Beliau menyatakan menolak putusan hakim,” kata Petrus Bala Pattyona, Penasihat Hukum Lukas Enembe dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/10).
Mulanya, Hakim Ketua Rianto Adam Pontoh menjelaskan, atas vonis delapan tahun penjara yang dijatuhkan kepada Lukas, pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU) memiliki hak yang sama untuk menyatakan sikap.
“Apakah menerima putusan atau menolak putusan dengan mengajukan upaya hukum banding atau saudara berpikir-pikir selama tujuh hari. Itu hak saudara,” kata Rianto.
Penasihat hukum terdakwa langsung menyatakan menolak, sementara JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyatakan pikir-pikir terlebih dahulu selama tujuh hari. Ditemui usai sidang, Petrus mengaku telah menjelaskan seluruh pokok vonis kepada Lukas. Mendengar itu, Lukas tegas mengatakan menolak.
“Makanya saya mengutip lurus-lurus bahwa beliau menyatakan menolak putusan. Artinya, kami akan menyatakan banding dalam waktu tujuh hari. Hari ini, Kamis, mungkin besok beliau harus tanda tangan surat kuasa untuk kami nyatakan banding,” imbuh Petrus.
Selain hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider empat bulan pidana kurungan pengganti, Lukas Enembe juga dihukum untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp19.690.793.900, paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Jika tidak membayar, harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dengan ketentuan apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara selama dua tahun,” sambung Rianto.
Selain itu, Lukas Enembe divonis pula dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun, sejak dia selesai menjalani pidana pokoknya.
Lukas Enembe terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan,” imbuh Rianto.
Tak Sopan
Untuk diketahui, Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadikan sikap tidak sopan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai bahan pertimbangan yang memberatkan, dalam memutus perkara suap dan gratifikasi tersebut.
“Terdakwa bersikap tidak sopan dengan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas dan makian yang diucapkan dalam ruang persidangan,” kata Rianto.
Selain itu, katanya, hal-hal yang memberatkan lainnya adalah, perbuatan Lukan Enembe dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Di sisi lain, majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan pada diri terdakwa. Terkait hal itu, majelis mengatakan Lukas Enembe belum pernah dihukum, bersedia mengikuti persidangan sampai akhir, hingga memiliki tanggungan keluarga.
“Terdakwa dalam keadaan sakit namun bisa mengikuti persidangan sampai akhir; serta terdakwa memiliki tanggungan keluarga: seorang istri, dan anak-anak,” kata Rianto.