c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

25 Oktober 2025

16:44 WIB

Dilema Upaya Menertibkan Izin Pesantren 

Minim bangunan pesantren tak berizin, izin operasional juga banyak tak dimiliki pesantren yang bisa berdampak pada santri di kemudian hari.

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Dilema Upaya Menertibkan Izin Pesantren&nbsp;</p>
<p>Dilema Upaya Menertibkan Izin Pesantren&nbsp;</p>

Ilustrasi-Santri membaca Kitab Suci Al-Qur'an. Humas Pemkab Tegal.

JAKARTA – Pondok pesantren (ponpes) belakangan jadi sorotan. Ini berihwal dari peristiwa ambruknya musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September. Peristiwa ini juga memunculkan isu lama, masih adanya pengabaian terkait lembaga pendidikan yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka ini pada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Tragedi di Pesantren Al-Khoziny menguak fakta, minimnya pesantren yang memiliki izin bangunan. Dari sekitar 42.000 pesantren di Indonesia, hanya 51 di antaranya yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung menjelaskan, PBG bertujuan menjamin suatu gedung dibangun sesuai standar, termasuk gedung pesantren.

Fakta itu menarik perhatian semua pihak, termasuk Presiden Prabowo Subianto. Dia lalu menginstruksikan sejumlah kementerian untuk mendata dan memeriksa keamanan bangunan seluruh pondok pesantren. Bangunan pondok pesantren yang rusak lantas perlu diperbaiki dengan bantuan pemerintah.

Saat proses pendataan kelaikan bangunan itu, ditemukan fakta lain. Bahwa, pesantren tak hanya terkendala dalam mengurus izin PBG. Sejumlah pesantren juga belum memiliki izin operasional yang membuat mereka tidak punya legitimasi hukum.

Upaya untuk mendapatkan data jumlah pesantren tak punya izin operasional ke Kementerian Agama (Kemenag) tak pernah dijawab hingga berita ini diturunkan. Berdasarkan hasil penelusuran sejumlah media, pesantren tanpa izin operasional di antaranya ditemukan di Kota Samarinda, Kabupaten Jombang, hingga Kota Parepare. Masing-masing memiliki puluhan pesantren tak berizin per Oktober 2025.

Di periode yang sama, di Jawa Timur ada enam pesantren di Malang belum memiliki izin operasional. Lalu, ada 39 pesantren di Jombang belum memiliki izin operasional.

Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari data Kanwil Kemenag Jatim pada awal 2024. Tercatat, 1.200 dari sekitar 7.000 pesantren tercatat belum memiliki izin operasional.

Lalu, di Kabupaten Kendal, dari 221 pesantren yang terdata, baru 162 yang mengantongi izin operasional resmi dari Kemenag.

Kemenag Jateng hingga tahun 2025, Kemenag mencatat lebih dari 5.500 pesantren yang mempunyai izin operasional. Terakhir terdata ada 5.308 ponpes, terdiri 223.790 santri putri dan 215.774 santri putra. Ada tiga jenis ponpes: Salafiyah, Mualimin (modern) dan Terintegrasi yang punya SMP hingga SMA.

Dalam UU, pesantren disebut pula dengan dayah, surau, meunasah, adalah lembaga yang memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamiri melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pesantren dalam beleid dikategorikan atas pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengkajian Kitab Kuning. Bentuk kedua, adalah pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Muallimin; atau pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lain yang terintegrasi dengan pendidikan.

Izin operasional pesantren telah diatur dalam UU Pesantren. Pasal 5 dan 6 aturan itu menjelaskan, untuk mendapatkan izin dari Kemenag pesantren harus memenuhi lima unsur, yaitu kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian kitab kuning.

Izin operasional menunjukkan bahwa pesantren sudah memenuhi standar pendidikan nasional dan standar sarana-prasarana. Izin ini juga membuat pesantren dapat mengakses berbagai program dan bantuan dari pemerintah.

Pengawasan Lemah
Terkait masih banyak pesantren yang belum memiliki izin operasional, Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) memberi penjelasan. 

Organisasi yang menaungi sekitar 13.000 pesantren ini menilai, penyebab banyak pesantren tak memiliki izin karena karakteristiknya yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Karakteristik ini menghambat pengurusan perizinan.

Sekretaris Jenderal IPI, Muhammad Hermansyah menjelaskan, kegiatan pesantren tak hanya berupa transfer pengetahuan atau belajar-mengajar seperti sekolah umum. Pesantren juga memiliki transfer nilai, di mana para santri belajar nilai-nilai teladan dari kiai dan ustaz. Hal ini terlihat dari berbagai praktik sehari-hari yang dilakukan santri dan ustaz mulai dari bangun tidur hingga mereka terlelap di malam hari.

Tak hanya itu, pesantren menerapkan transfer spiritual atau pendidikan spiritual. Pada bagian ini, santri belajar ilmu agama melalui pengajian, bimbingan spiritual dari kiai, atau kegiatan ibadah lainnya.

Kombinasi dari banyak hal ini dan panjangnya waktu pendidikan di pesantren membuat para pengurus fokus pada pendidikan keagamaan yang mereka jalankan. Mereka cenderung tidak memberi perhatian lebih pada perizinan pesantren terlebih jika tak ada pengingat dari pihak luar.

"Di lembaga yang lain tentu tidak demikian. Misalnya, di sekolah, ada proses belajar-mengajar, selesai sudah," ujar Herman kepada Validnews, Kamis (23/10).

Terkait PBG, sebagai syarat wajib pembangunan pesantren juga kerap menjadi kendala. Pasalnya, sebagian pesantren tak punya perencanaan pembangunan yang matang seperti sekolah negeri. Hal ini karena pembangunan pesantren harus disesuaikan dengan kondisi keuangan pesantren.

"Pesantren ini, Pak Kyai dan pengurus pesantrennya itu rata-rata ketika ada keuangan lebih baru bisa membangun," tambah Herman.

Dia juga memahami, pesantren tak berizin tidak bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Meski begitu, dia menyebutkan pesantren berizin pun tak banyak yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, misalnya untuk sarana dan prasarana. Di samping itu, sebagian pesantren yang menerima bantuan adalah pesantren yang sudah mapan, bukan pesantren kecil yang dinilainya lebih berhak.

Hal itu membuat pesantren-pesantren tak berizin harus menjalankan operasionalnya secara swadaya. Sistem inilah yang selama ini umum digunakan untuk menyokong kegiatan pesantren.

Herman mengatakan, banyaknya pesantren yang tidak memiliki izin operasional juga dipengaruhi oleh lemahnya pengawasan dari Kemenag. 

Menurutnya, Kemenag biasanya mengunjungi pesantren saat mengurus izin operasional, lalu setelahnya hampir tidak pernah berkunjung lagi. Dia menilai hal ini sebagai bentuk minimnya kehadiran negara bagi pesantren.

"Tidak banyak yang mendapatkan bantuan, yang sudah punya izin operasional juga jarang mendapatkan perhatian. Bahkan seringkali, maaf ini, pejabat-pejabat kita ini hadir ke pesantren waktu ada kegiatan-kegiatan elektoral saja," ujar Herman.

Pendapat senada diungkapkan pengamat pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah. 

Dia menilai banyak pesantren tidak memiliki izin operasional karena pengawasan pemerintah yang lemah. Hal ini juga terlihat dari adanya pesantren-pesantren tak berizin yang baru diketahui statusnya setelah terjadi kasus kekerasan di sana.

"Melalui kasus Sidoarjo dan kasus-kasus kekerasan di pesantren, seharusnya menjadi starting point untuk menertibkan pesantren khususnya yang tidak berizin," ujar Jejen kepada Validnews, Rabu (22/10).

Dia melanjutkan, lemahnya pengawasan kemenag bisa membuat pesantren menganggap perizinan bukan hal penting. Pesantren merasa boleh saja tak mengurus izin operasional karena selama ini tidak mendapatkan teguran dari pemerintah.

Status tak berizin itu sebenarnya merugikan pesantren. Sebab, pesantren bukan hanya tidak bisa mendapat bantuan pemerintah. Tapi, kualitas pesantren juga bisa jauh di bawah standar karena tak ada monitoring dan evaluasi dari pemerintah.

Dosen manajemen pendidikan itu pun menilai pemerintah perlu menegakkan hukum dan melakukan sosialisasi untuk menyadarkan pesantren tentang pentingnya izin. Sementara dari sisi pesantren, perlu kesadaran untuk menaati aturan sebagai warga negara yang baik.

"Mereka mendidik santri dan harus bersedia dibimbing dan dibantu pemerintah untuk mendapatkan fasilitas yang standar, sehingga memberikan kenyamanan dan keamanan bagi santri," saran Jejen.

Penguatan Pendataan                            
Pada kesempatan berbedapengamat pendidikan sekaligus guru Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Jakarta Selatan, Iman Zanatul Haeri menguraikan, untuk membenahi masalah ini pemerintah perlu terlebih dulu mendata jumlah pesantren. Hal ini penting untuk memperhatikan pertumbuhan pondok pesantren di seluruh Indonesia.

Setelah itu, pemerintah perlu memperkuat pengawasan. Tujuannya tak hanya untuk memastikan legalitas, tapi juga mencegah masalah yang selama ini terjadi di pesantren. Misalnya, kekerasan dan sarana-prasarana yang tak memenuhi syarat. Dia juga menilai Kemenag perlu memastikan izin pesantren diproses secara profesional tanpa tahapan yang berbelit.

"Selama izin operasional itu bersifat rasional, adaptif, saya kira pesantren-pesantren pasti akan mendaftarkan perizinan," terang Iman.

Terkait izin pesantren, Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar mengakui selama ini masih ada pesantren yang tidak terdata dan tidak tersentuh oleh bantuan pemerintah. Dia menyebutkan masalah ini akan ditangani dengan lebih baik melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren Kemenag yang pembentukannya sudah disetujui Presiden Prabowo Subianto melalui surat tertanggal 21 Oktober lalu.

Pembentukan Ditjen Pesantren bertujuan untuk memberikan perhatian yang lebih besar bagi seluruh pesantren, baik dari aspek personalia, pendanaan, maupun program. Selain itu, akan ada perangkat kerja yang lebih luas dan sistem yang lebih terkoordinasi untuk menangani persoalan yang ada dengan lebih baik.

"Nanti kita akan lebih intensif lagi memberikan pendataan (pesantren) yang lebih baik," tegas Nasaruddin usai Apel Hari Santri di kantor Kemenag, Jakarta, Rabu (22/10).

Izin operasional bagi pondok pesantren wajib menurut UU Pesantren. Instrument itu menunjukkan pesantren memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal kurikulum, fasilitas, dan kualitas pengajaran. 

Sehingga, menjadi jaminan kepada masyarakat, santri mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan standar nasional.

Selain itu, izin ini juga menjadikan pesantren punya hak untuk menerima berbagai bantuan dari pemerintah. Seingga, dapat membantu pesantren dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para santri, seperti UU Pesantren.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar