c

Selamat

Kamis, 13 November 2025

NASIONAL

10 November 2022

21:00 WIB

Dilema Memidanakan Anak Remaja

Pidana yang dilakukan anak masih didominasi oleh pengeroyokan dan tawuran, namun banyak peristiwa terjadi hingga menghilangkan nyawa

Penulis: Muhammad Farhan Adhantyo

Editor: Leo Wisnu Susapto

Dilema Memidanakan Anak Remaja
Dilema Memidanakan Anak Remaja
Ilustrasi kampanye hentikan kekerasan terhadap anak. Dok Envato

JAKARTA – Setelah satu dasawarsa berlaku, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) masih memicu polemik. Banyak yang menilainya tak adil. 

Banyak pihak berharap, revisi beleid ini akan mendatangkan keadilan bagi korban. Sekaligus, aturan itu diharap punya efek jera bagi kenakalan remaja atau anak pelaku tindak pidana atau dalam UU SPPA disebut anak berhadapan hukum (ABH).

Suara menuntut revisi UU SPPA ini muncul setelah ada kasus rudapaksa anak perempuan berusia 13 tahun oleh 4 teman laki-laki di Hutan Kota Sunter, Jakarta Utara. 

Peristiwa nahas ini terjadi pada 1 September 2022. Polres Metro Jakarta Utara yang menangani perkara ini tak menahan pelaku rudapaksa. Alasannya, seorang pelaku masih berusia 12 tahun dan 3 anak lain berumur 13 tahun. Mereka dititipkan di tempat rehabilitasi.

Tindakan penegak hukum itu mengacu pada dua pasal di UU SPPA. Pasal 21 yang menjelaskan bahwa anak di bawah umur 12 tahun terduga pelaku tindak pidana harus dikembalikan ke orangtuanya. Kedua, pasal 32 beleid yang sama menyebutkan, penahanan ABH bisa dilakukan apabila yang bersangkutan telah genap berusia 14 tahun.

Soal pidana yang dilakukan anak-anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, masih didominasi oleh pengeroyokan dan tawuran. Bahkan, dua tindakan itu kian marak setelah pelajar melakukan pembelajaran tatap muka setelah sekian lama belajar secara daring.

Catatan KPAI sepanjang 2022 hingga Juni, kasus pengeroyokan tak hanya terjadi di luar sekolah. Bahkan ada yang dilakukan di dalam sekolah dan saat jam sekolah. Seperti dialami BT (13) siswa madrasah tsanawiyah (MTs) di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara pada Juni 2022. Dia akhirnya meninggal sehari setelah operasi akibat luka pukulan oleh sembilan teman sekolahnya.

Ada juga korban perempuan di sekolah lain. Pelakunya pun perempuan. Bahkan, ada yang nekat menabrak polisi saat mencoba hentikan pengeroyokan. 

Sementara itu, aksi tawuran menggunakan senjata tajam, juga kembali muncul setelah pelajar kembali belajar secara tatap muka. Pidana pemerkosaan sendiri memang jarang terjadi. 

Dari catatan itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solibah memaparkan, ada banyak hal yang memegaruhi anak untuk melakukan tindak pidana. 

Tak hanya sekadar motivasi, ada juga tujuan serta latar belakang anak melakukan tindak pidana.

Kekerasan Fisik
Solihah mengungkapkan keprihatinan atas kasus pidana anak. Namun, dia menjelaskan, secara angka, tindak kejahatan yang dilakukan anak secara nasional mengalami penurunan.

KPAI mencatat, periode 2016-2022, kasus anak yang menjadi pelaku kenakalan sehingga berhadapan dengan hukum berjumlah 2.883. 

Pada 2016 berjumlah 539, dan kemudian menjadi 622 pada tahun berikutnya. Kemudian, 2018 berjumlah 661, tahun 2019 berjumlah 605.

Lalu, pada 2020 berjumlah 199, sedangkan pada 2021 berjumlah 126, dan tahun 2022 hingga September berjumlah 131.

KPAI, lanjut dia, juga mencatat penurunan ABH. Penurunan terbesar mulai terjadi mulai tahun 2019. Pada periode yang sama pula, jumlah kasus anak yang melakukan kekerasan fisik cukup mendominasi. Namun jumlahnya setiap tahun turut berkurang. 

Rinciannya, yaitu pada 2016 sejumlah 108. Pada 2017 berjumlah 112, 2018 sejumlah 107 anak, dan pada 2019 ada 121 anak. 

Sementara itu, pada 2020 berjumlah 58 anak, tahun 2021 berjumlah 22 anak, dan tahun 2022 berjumlah 32.

Penindakan Pelaku
Soal relevansi hukuman terhadap anak pelaku pidana, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Ciput Eka Purwianti juga angkat bicara. 

Dia menyebutkan, anak yang menjadi pelaku kenakalan sehingga berhadapan dengan hukum, tetap akan mendapat perlindungan. 

UU SPPA memerintahkan, mereka akan didampingi oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Bekerja sama dengan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas). Juga didampingi Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Kementerian Sosial (Kemensos).

Bentuk pendampingan yang dilakukan terhadap pelaku berupa penelitian masyarakat (litmas) oleh PK Bapas. Selain itu, ada juga pemulihan serta rehabilitasi sosial, rehabilitasi medis, pendidikan dan keterampilan.

Lantas, menyoal proses peradilan anak, KemenPPPA sebagai koordinator pelaksanaan SPPA melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait. Hal yang dilakukan adalah sinkronisasi perumusan kebijakan mengenai langkah pencegahan, penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial. 

Selama ini diadakan pertemuan koordinasi antar-kementerian dan lembaga untuk menyusun laporan pelaksanaan SPPPA di tingkat pusat dan daerah. 

Penyelesaian perkara pidana tersebut, diupayakan untuk kepentingan terbaik bagi anak. Baik dari segi fisik maupun psikologis.

“Dalam Pasal 5 ayat 1 UU SPPA disebutkan, sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif,” kata Ciput, Selasa (8/11).

Keadilan restoratif mengacu Pasal 1 ayat 6 yaitu penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban. Juga dengan pihak lain yang terkait. 

Koordinasi tersebut untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Salah satu dari proses dari pengadilan anak adalah adanya diversi. Hal ini berupa cara penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan. 

Diversi dilaksanakan mulai tingkat pemeriksaan, penyidikan, dan penuntutan di pengadilan melalui musyawarah dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses hukum.

Dari ketetapan ini, lembaga pemasyarakan (lapas) anak menjadi pilihan terakhir bagi hakim untuk memutuskan tindakan yang diberikan kepada anak. Apabila opsi terakhir memang harus memenjarakan anak, KemenPPPA meyakini, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Indonesia sudah menerapkan kebijakan yang menjamin hak dasar anak dapat terpenuhi. Ada pendidikan, layanan kesehatan, dan hak kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan hari yang pasti diperoleh anak di sana. 

Kendala UU SPPA
Diakui Ciput, KemenPPPA masih belum optimal untuk menerapkan UU SPPA. Hingga kini, belum belum ada peraturan pelaksanaan UU SPPA. Padahal, UU SPPA mengamanatkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana. Pembentukan PP itu merupakan amanat Pasal 71 ayat 5 UU SPPA. 

Kedua, belum ada PP untuk melaksanakan amanat Pasal 82 ayat 4 UU SPPA. Kemudian dia juga sebutkan ketidakharmonisan UU SPPA dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. 

Dia memberi contoh, Pasal 105 ayat 1 huruf F UU SPPA menyatakan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial wajib membangun LPKS. 

Namun, UU Pemda mengamanatkan kewenangan pembentukan LPKS ada di tangan pemda.

Ciput juga menguraikan, KemenPPPA kekurangan sumber daya manusia (SDM) profesional untuk memberikan layanan terhadap anak ketika berhadapan dengan hukum.

Di sisi lain, penegak hukum juga berupaya mengurangi anak yang melakukan pidana. Polisi, misalnya, melakukan upaya pencegahan. Salah satunya adalah Polda Metro Jaya yang menjalankan program ‘Ada Polisi’.

Tim Ada Polisi juga melibatkan sejumlah ahli. Seperti, pengajar dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati. Dia mengungkapkan, program Ada Polisi sudah berjalan 30 minggu. Klaimnya, program ini sudah menunjukkan hasil. 

Pendekatan aparat di tengah-tengah akar rumput yang langsung menyentuh para aktor yang berpotensi melakukan aksi-aksi kriminal khususnya tawuran, bisa direduksi angka kejadiannya. 

“Temuan lapangan Tim Ada Polisi, pendorong anak dan remaja menjadikan jalanan sebagai rumah baru mereka karena keringnya kasih sayang serta perhatian,” kata Devie, Selasa (8/11).

Faktor Keluarga
Berdasarkan temuan itu, Tim Ada Polisi berupaya mendekat anak-anak tersebut. Mengajak mereka untuk dialog melalui komunikasi yang persuasif. Dengan harapan, tumbuh toleransi dan meredam potensi untuk melakukan kekerasan.

Meskipun program ini tak menuntaskan semua masalah yang memicu anak untuk melakukan kekerasan, namun Devie klaim, angka kejadian menurun signifikan.  

Apa yang dipapar Tim Ada Polisi, diamini data KPAI. Menurut catatan Komisi ini, kasus kekerasan dengan pelaku anak, biasanya berawal dari mereka masih kecil. 

Sayangnya, banyak yang tidak menyadari. Biasanya mereka merekam peristiwa masa kecil dalam ingatannya. Kemudian memberikan sebuah contoh.

“Sebagai contoh, biasanya mereka di TK mengambil makanan temannya lalu diinjak-injak atau mereka mengejek temannya sampai menangis. Bagi orang dewasa mungkin ini tindakan yang biasa saja, padahal dari sini sebenarnya bibit perundungan dan kekerasan mulai muncul,” terang Ai Maryati.

Saat beranjak SMP dan SMA mereka mulai berkelompok dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kelompok itu tak menyukai kelompok lain. Akibatnya, adanya rasa kesetiakawanan. Lalu, mereka tawuran dengan kelompok lain.

Dari beberapa kasus yang KPAI dampingi, Ai Maryati Solihah menerangkan ada dua hal krusial.

Pertama, kurangnya apresiasi dari keluarga ketika anak melakukan sesuatu yang menurutnya bagus. Kedua, kurangnya keterlibatan anak di dalam aktivitas keluarga. Ini bisa membuat anak merasa kehadirannya tidak berarti bagi anggota keluarganya.

Hal tersebut mungkin terlihat sepele, ternyata bagi anak itu menunjukkan sisi psikologis yang hampa. Jadi anak pasti akan lari ke lingkungan yang bisa melibatkan serta memberi apresiasi.

Secara sederhana bentuk apresiasi ini bisa disebut sebagai reward and punishment. Saat anak melanggar sesuatu, anak mendapatkan hukuman. Tentu orang tua turut berperan dalam memperbaiki kesalahan yang anak lakukan.

Pemberian penghargaan terhadap anak bukan hanya tentang materi. Hal yang mereka inginkan hanya sebuah apresiasi dalam bentuk pujian, pengakuan, atau tindakan yang menunjukkan kasih sayang.

Baik Ai dan Devie sama berpendapat. Dari semua upaya pencegahan, kasih sayang keluarga jadi kunci utama. 

Namun yang kini menjadi pertanyaan adalah, bagaimana eksistensi kasih sayang keluarga itu, tatkala ada tantangan sosial dan tantangan ekonomi hadir saat ini?

Dari Tim Ada Polisi, Devie menilai perlu melihat faktor lain selain hal itu. “Kalau ada anak yang masih terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, pola pendekatannya harus memahami, ada kontribusi pemicu lain, yakni lingkungan sosial yang abai terhadap mereka,” kata Devie.

Sementarasoal belum sempurnanya UU SPPA, semua pihak berharap kepada parlemen. Beleid yang berumur 10 tahun itu masih menyisakan dilema. 

Hal yang belakangan mencuat dan menjadi desakan terhadap revisi terhadap aturan itu adalah soal penanganan tindak pidana anak yang sebenarnya harus dihukum guna efek jera, seperti kasus rudapaksa di Sunter, Jakarta Utara. Yang dilakukan anak-anak belasan tahun terhadap teman perempuan mereka di usia sama, sejatinya adalah kejahatan. 

Mengembalikan pelaku ke keluarga, dinilai banyak pihak menafikan keadilan. Apa yang dikemukakan pengacara Hotman Paris bisa menjadi pemikiran. 

“Bagaimana kalau seorang anak usia 12 hingga 13 tapi kelakuannya sudah seperti orang dewasa, memperkosa, masih pantas enggak dikembalikan ke orangtuanya?" katanya, dalam pemberitaan beberapa waktu lalu. 

Ini selaras dengan pernyataan kondang reformis penjara Inggris, Elizabeth Fry pada pertengahan abad 18. Hukuman terhadap anak-anak pelaku pidana itu bukan untuk balas dendam. Sejatinya, hal itu ditujukan untuk mencegah kejahatan sama bertumbuh, sekaligus mereformasi pelakunya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar