14 Mei 2024
19:22 WIB
Dewan Pers Tolak Draf RUU Penyiaran, Ini Alasannya
Sebagian aturan-aturan dalam draf RUU penyiaran menurut Dewan Pers akan memicu produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional, dan pers yang tidak independen
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Dewan Pers menyelenggarakan jumpa pers terkait RUU Penyiaran, Selasa (14/5). Validnews/Aldiansyah Nurrahman
JAKARTA - Dewan Pers menyatakan menolak draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sekarang tengah digodok di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
“Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin UUD 45,” jelasnya, di gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5).
Ia menjelaskan, argumentasi penolakan yang pertama adalah terkait konteks politik hukum, yakni tidak dimasukkannya UU 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran di RUU Penyiaran.
Kedua, RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers tidak merdeka, tidak independen, dan tidak melahirkan karya jurnalistik berkualitas.
“Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers kita menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional, dan pers yang tidak independen,” papar Ninik.
Ketiga, dari sisi proses, RUU ini menyalahi putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa penyusunan sebuah regulasi harus ada keterlibatan masyarakat.
“Dalam konteks RUU Penyiaran ini, Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU 40 tidak dilibatkan proses penyusunan RUU ini,” ujarnya.
Ninik menambahkan, secara substantif alasan Dewan Pers menolak RUU Penyiaran ini pertama karena adanya pasal yang memberikan larangan pada media investigatif.
Larangan tersebut dinilai sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU 40 Tahun 1999 Pasal 4.
“Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas,” jelasnya.
Ninik menegaskan, penyiaran media investigatif adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional.
Kedua, yakni soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Di dalam RUU ini dituangkan penyelesaian dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga yang tidak punya mandat penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik.
Mandat penyelesaian jurnalistik, ditegaskan dia, ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam UU.
“Oleh karena itu, penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu UU dan yang lain tidak tumpang tindih,” ujarnya