14 Agustus 2025
08:46 WIB
Dapat Amnesti, Hasto Minta MK Ubah Pidana Perintangan Penyidikan Korupsi
Hukuman untuk perintangan penyidikan korupsi dinilai Hasto tak adil.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Hasto Kristiyan to (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan usai sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakara Pusat, Jumat (14/3/2025). AntaraFoto/Fathul Habib Sholeh.
JAKARTA – Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto berharap Mahkamah Konstitusi mengubah ancaman hukuman perintangan penyidikan dari paling singkat tiga tahun, menjadi paling lama tiga tahun.
Perkara yang dimohonkan Hasto teregister dengan Nomor 136/PUU-XXIII/2025. Dia menguji konstitusionalitas norma Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Ancaman hukuman yang layak dari Pasal 21 UU Tipikor harus dimaknai sama dengan ancaman hukuman terendah dari UU Tipikor, yaitu Pasal 13 UU Tipikor, yakni dengan ancaman hukuman paling lama tiga tahun,” kata kuasa hukum Hasto, Erna Ratnaningsih, dalam sidang pendahuluan di MK, Jakarta, Rabu (13/8)
Hasto mendalilkan, praktik Pasal 21 UU Tipikor ditafsirkan secara tidak proporsional dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Baca juga: PDIP Tegaskan Tidak Ada Transaksi Amnesti Hasto Kristiyanto
Menurut dia, Pasal 21 UU Tipikor seharusnya tidak ditafsirkan sesuai kebutuhan aparat hukum semata. Pembatasan terhadap makna dalam pasal tersebut dinilai harus sesuai dengan bunyi dan makna teksnya agar menciptakan akuntabilitas.
Pasal yang diuji Hasto mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara 3–12 tahun dan/atau denda Rp150 juta–Rp600 juta.
Menurut bunyinya, dalil Hasto, Pasal 21 UU Tipikor hanya dapat dipersangkakan atau didakwakan kepada setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, ataupun saksi.
Oleh sebab itu, dia menilai pasal tersebut seharusnya tidak dapat digunakan dalam menetapkan tersangka atau mendakwa seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut, Hasto menilai, pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun tidak proporsional jika digunakan untuk menghukum karena adanya perbuatan perintangan penyidikan perkara korupsi dalam bentuk suap menyuap.
Sebab, ancaman hukuman di Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU Tipikor satu tahun hingga lima tahun penjara. Sedangkan, ancaman hukuman merintangi perbuatan memberi hadiah atau janji yang dilarang oleh Pasal 13 UU Tipikor adalah paling lama tiga tahun.
Agar Pasal 21 UU Tipikor tidak menjadi pasal pembalasan berlebihan, Hasto mendalilkan, ancaman hukuman minimal yang dijatuhkan karena adanya pelanggaran terhadap tersebut seharusnya sama dengan ancaman Pasal 13 UU Tipikor.
Jadi, MK memaknai Pasal 21 UU Tipikor menjadi selengkapnya tertulis, “Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun maupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Dia juga meminta MK menyatakan frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa frasa tersebut memiliki arti kumulatif, dalam arti tindakan mencegah, merintangi atau menggagalkan harus dilakukan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Sebelum bebas dari tahanan usai menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, Hasto merupakan terdakwa dugaan suap dan perintangan penyidikan dan gratifikasi terkait penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR 2014-2019.
Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan sehingga ia divonis tiga tahun dan enam bulan penjara serta denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.