02 Oktober 2025
20:45 WIB
CSIS Catat 141 Korban Kekerasan Di Papua Sepanjang 2025
Center for Strategic and International Studies mencatat jumlah korban kekerasan konflik di Papua mencapai 141 orang dari Januari hingga September 2025
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustrasi pengejaran kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Antara
JAKARTA - Center for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat jumlah korban kekerasan konflik di Papua dari Januari hingga September 2025 mencapai 141 orang. Sebanyak 108 orang di antaranya meninggal dunia, 33 orang mengalami luka-luka.
Peneliti Senior Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Vidhyandika D. Perkasa menyebutkan, korban meninggal akibat konflik didominasi oleh warga sipil atau orang asli papua (OAP). Jumlah korban sipil mencapai 64 orang. Sementara itu, korban konflik lain, sebanyak 34 dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan 10 orang dari TNI atau polisi.
“Penyebab kekerasan sepanjang 2025 itu rata-rata karena operasi militer maupun sergapan dari pada TPNPB-OPM. Jadi itu adalah kondisi keamanan saat ini,” katanya, dalam media briefing Menimbang Reformasi Polri, di Kantor CSIS, Jakarta, Kamis (2/10).
Penyebab kekerasan sepanjang 2025 di antaranya 10 kekerasan disebabkan operasi militer, delapan sergapan oleh OPM, enam penyiksaan atau penembakan oleh polisi, lalu pemukulan atau penembakan oleh TNI.
Kemudian, penyebab kekerasan lainnya adalah warga sipil, pengejaran TNI-Polri, serangan udara melalui drone, rasisme, dan orang mabuk.
Untuk pelaku kekerasan sepanjang 2025 di Papua, mayoritas dilakukan TNI maupun polisi dengan 23 pelaku. Disusul OPM sembilan pelaku dan OAP satu pelaku.
“Dalam kurun waktu 11 hari, kekerasan hampir setiap hari. Terakhir di Agats Asmat satu warga sipil ditembak mati oleh TNI karena dia mabuk. Belum lagi lima pendulang emas pendatang ditembak mati oleh OPM, belum lagi satu TNI ditembak mati oleh OPM di Kiwirok,” papar Vidhyandika.
Ia mengingatkan, korban kekerasan merupakan orang-orang yang hidup di Papua. Bukan hanya OAP, tapi juga aparat keamanan dan OPM.
“Hampir setiap hari terjadi kekerasan seperti ini. Jadi ini suatu fenomena yang memerlukan penanganan yang lebih serius dan inovatif,” katanya.
Vidhyandika mengamati strategi dan jargon yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua selama ini adalah pendekatan humanis dan proporsional, bertindak terukur dan terkoordinasi. Lalu, tidak melakukan operasi militer tapi pembinaan teritorial, operasi keamanan berbasiskan komunitas, merekrut OAP sebagai Babinsa dan Polri, dan persuasif edukatif. Masalahnya, dalam implementasinya, kekerasan masih terjadi.
Untuk itu, ia berharap rencana reformasi kepolisian yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto mampu membenahi konflik di Papua.
“Jadi itu adalah tantangan dalam reformasi kepolisian membuat strategi keamanan untuk Papua. Karena di mata masyarakat yang terjadi saat ini adalah operasi militer, mereka tidak memahami itu selain itu,” katanya.