c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

NASIONAL

21 Juni 2021

21:00 WIB

Cerita Kerumitan Data Diri Transpuan

Tak masalah tertulis jenis kelamin berbeda. Yang mereka inginkan foto tampil seperti perempuan

Penulis: Seruni Rara Jingga

Editor: Leo Wisnu Susapto

Cerita Kerumitan Data Diri Transpuan
Cerita Kerumitan Data Diri Transpuan
Ilustrasi transgender. Ist

JAKARTA – Audi Manaf (39) masih ingat pengalaman tak mengenakkan itu. Hingga kini, apa yang terjadi di kali pertama mengurus kartu tanda penduduk (KTP) elektronik menyisakan penegasan, sulit buat dia dan kaumnya mengurus data kependudukan.

“Itu terjadi pada 2011,” urai Audi pada Validnews, Jumat (18/6).

Satu hari pada tahun itu, dia datang ke satu kelurahan untuk perekaman KTP elektronik. Mulai saat memasuki pintu gedung kelurahan, dia merasa jadi pusat perhatian orang sekitar. Petugas di tempat itu juga tak melepaskan pandangan darinya.

Audi, transgender asal Lampung ini datang berpakaian wanita, sopan. Dia juga memoles wajah agar foto di KTP terlihat bagus.  Namun, stigma buruk tentang transgender, justru lebih mengemuka. Audi tak nyaman menerima perlakuan itu. Dia merasa dilecehkan.

Karena merasa butuh akan kartu identitas, dia bertahan. Saat giliran berfoto, Audi tersentak. Setelah membaca dokumen yang dia bawa, petugas setengah menghardik, memintanya tak berdandan seperti perempuan saat proses perekaman KTP.

Audi menuruti sang petugas. Rambut panjangnya dia ikat. Petugas lalu memfoto wajahnya.  

Perlakuan yang dialami Audi, dirasa juga oleh banyak transgender. "Banyak yang cerita perkataan petugas perekaman KTP. Kamu itu kan cowok, ngapain dandan? Hapus! Ada juga yang diketawain petugas. Hal-hal semacam itu," kata dia.

Berbagai testimonial tak mengenakkan itu menyebar ke lain transgender. Banyak mereka berpikir dua kali untuk mengurus KTP.  Padahal, banyak transpuan lari dari rumah saat belia. Tak sedikit juga terusir dari rumah. Sedangkan, dokumen penting dan sebagainya, tersimpan di rumah.

Ketika jauh dari rumah, mayoritas mereka kesulitan ekonomi. Bertahan hidup dari mengamen, pekerja salon, bahkan menjajakan diri. Semua itu tak memerlukan syarat KTP. Dokumen itu mereka anggap tak penting.

Audi bercerita kisah miris transgender yang dikenalnya. Kawan Audi itu meninggal di Jakarta. Karena, tak memiliki dokumen lengkap, rumah sakit tidak bisa mengeluarkan surat kematian.

Proses pemakaman menjadi tertahan karena butuh waktu cukup lama untuk mengurus biaya serta dokumen kematiannya. Jenazah menjadi berlama-lama di kamar mayat menunggu dimakamkan.   Peristiwa itu bukan sekali dua dia temukan.

Tanpa memiliki KTP, kesulitan hidup transgender jadi bertambah. Layanan publik seperti BPJS, membuka rekening tabungan, transportasi, tak bisa diakses. Saat pandemi covid-19 menerpa, tak sedikit transgender terlewati bantuan sosial dari pemerintah.

Mencari Jalan
Audi dan kawan-kawannya tak mau berdiam. Selaku pendiri Komunitas Warna Sehati Depok, bersama LSM Suara Kita, mereka melakukan langkah advokasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Gayung bersambut. Meski lama waktunya. Kemendagri memberikan kemudahan bagi transgender membuat KTP. Kemendagri meminta seluruh Dinas Dukcapil di Indonesia memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh warga dalam kepengurusan dokumen penduduk, tanpa adanya stigma dan diskriminasi.

Pada 2 Juni 2021, Audi bersama sekitar 10 orang lainnya dari wilayah Depok mengurus KTP elektronik. Itu adalah kali pertema seremonial dilangsungkan, sebagai acara simbolis yang disaksikan langsung oleh Dirjen Dukcapil Kemendagri di Tangerang Selatan.

Audi ambil kesempatan mengubah foto KTP. Tampilan di KTP tak lagi laki-laki. Meski jenis kelamin bukan perempuan, mereka tak buat jadi masalah. Hal yang menjadi prioritas buatnya, syarat-syarat foto KTP terpenuhi.

Salah satunya adalah harus terlihat mata, alis, dahi, dan kedua telinga. Para transgender ini juga tak meminta identitas transgender ditulis dalam KTP elektronik. Sesuai peraturan perundangan yang berlaku, hanya dua jenis kelamin yang diakui di Indonesia, yaitu laki-laki dan perempuan.  

Merlin (59), turut bersama Audi datang ke Tangerang Selatan untuk membuat KTP elektronik yang diselenggarakan Ditjen Dukcapil Kemendagri. Dia bercerita, hal itu menjadi momen haru. Saat petugas di sana menyerahkan KTP elektroniknya, Merlin tak dapat membendung tangisnya. Karena baru kali itu, dia memegang KTP miliknya sendiri.

"Senang, terharu. Saya di sana sampai nangis. Soalnya seumur hidup, baru sekarang saya punya KTP," kenang Merlin di salon miliknya di Pitara, Depok, Sabtu (19/6).

Semestinya, dokumen mutlak kependudukan itu diurusnya di daerah kelahirannya di Mojokerto, Jawa Timur. Namun, setelah berusia 17 tahun, hingga berpuluh tahun kemudian, dia tak bisa mengurus kartu identitas tersebut.

Sikap cuek Merlin berlanjut. Orang tua ingin anak bungsu dari lima bersaudara yang satu-satunya laki-laki, tak ingin bergaya bak perempuan. Merlin bergeming.

Bahkan, dia kemudian memutuskan untuk jauh dari keluarga dan kampung halaman. Jakarta jadi tujuan pertama. Di ibu kota, dia sempat ingin mengurus kartu identitas itu. Akan tetapi, berbagai cerita kawan, membuatnya urung melaksanakan niat.

“Itu semua yang membuat saya berpikir, KTP bukan sesuatu yang mendesak,” urai dia.

Jika banyak orang membutuhkan KTP untuk banyak hal, termasuk membuka rekening tabungan, Merlin tak demikian. Dia yakin tak perlu jasa perbankan.

Asalkan bisa menyambung hidup untuk makan, membayar listrik dan biaya kontrakan, itu semua sudah cukup baginya. Semuanya diurus tunai,

Layanan BPJS pun sama saja. Merlin mengaku belum pernah sekalipun mendatangi rumah sakit atau dokter ketika sakit.

Terpinggirkan 
Cerita para transpuan itu diamini Ketua LSM Suara Kita, Hartoyo. Dia menyesalkan, kelompok transpuan jarang sekali mendapatkan perhatian dari pemerintah dan terpinggirkan dalam struktur sosial ekonomi di masyarakat.  

Buat warga lain, memiliki KTP adalah hal yang biasa. Namun, bagi transgender, dokumen itu begitu berharga. Kerap kali, hak transpuan mendapatkan pelayanan dasar terabaikan dikarenakan luputnya mereka dalam sistem pendataan nasional yang dilakukan oleh pemerintah.

Upaya pendekatan kepada Dirjen Dukcapil berbuah manis. Sejak April 2021, melalui pendataan online oleh kelompok ini, terdata sebanyak 297 transpuan di seluruh Indonesia. Mereka kemudian akan difasilitasi dalam proses pembuatan KTP.

Kini, ada 54 orang transpuan yang telah mempunyai NIK. Pada 2 Juni 2021, telah dibantu lagi dicetakkan KTP elektronik bagi 29 orang transpuan.

Hartoyo menguraikan, tantangan terbesar dari proses pendataan kelompok transpuan adalah banyaknya mereka tidak lagi mempunyai dokumen pendukung. Jadi, ketika dilakukan penelusuran NIK oleh pihak Disdukcapil, datanya tidak ada.

Namun hal ini masih akan terus diverifikasi oleh Hartoyo. Ia berencana membuat tim berbasis komunitas guna melakukan pendataan dan penelusuran. Harapannya, pada 2022, pihaknya bisa membantu memfasilitasi seluruh transpuan di seluruh Indonesia.

Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh menegaskan, setiap warga negara Indonesia termasuk kelompok transgender, berhak mendapat pelayanan publik yang setara dan non-diskriminatif. Apa pun jenis perbedaannya, ujar Zudan, praktik diskriminasi tidak boleh ada dalam pelayanan publik.

"Negara bertanggung jawab agar seluruh WNI mendapatkan pelayanan adminduk terbaik secara cepat dan mudah tanpa diskriminasi," kata Zudan.

Zudan juga menyebut, pelayanan adminduk bagi penduduk rentan administrasi kependudukan merupakan kewajiban negara. Kewajiban tersebut diamanatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 96 Tahun 2019 tentang Pendataan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan.

"Kewajiban negara memberikan identitas kepada seluruh penduduk di Indonesia WNI maupun WNA yang memiliki kartu izin tinggal tetap (KITAP). Bila WNA saja kita layani apalagi kaum transgender, komunitas adat terpencil, serta kaum difabel. WNI semuanya harus dilayani setara atau non-diskriminatif," jelas Zudan.

Sebagai solusi sementara, Direktur Pandaftaran Penduduk Ditjen Dukcapil David Yama mengungkapkan, dukcapil hanya melayani transgender yang sudah terdata dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan sudah punya NIK.

Mereka yang sudah lengkap NIK dan data keluarganya langsung dicetak KK dan KTP-el dan langsung diserahkan kepada yang bersangkutan. Sebagian lainnya dilakukan perekaman di tempat.

"Tahap selanjutnya, transgender yang terdata by name by address ada yang masih perlu dilakukan tahap pencarian dan pembuatan database kependudukan," kata Yama.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar