c

Selamat

Kamis, 16 Mei 2024

NASIONAL

12 Mei 2023

20:23 WIB

Candu Mengabdi Kader Posyandu

Beban kerja kader posyandu sekarang terasa lebih berat karena harus membantu penurunan stunting yang menjadi program nasional

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Nofanolo Zagoto

Candu Mengabdi Kader Posyandu
Candu Mengabdi Kader Posyandu
Ilustrasi kader posyandu. Antara Foto/Yudi

JAKARTA - Nurhamidah (49) baru pulang ke rumahnya jelang sore. Hari itu, dia mesti bekerja lebih keras di Posyandu Darmakusuma, Desa Sinarsari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Meski letih, senyum tulus masih terpancar dari wajahnya.

"Habis kunjungan memantau balita yang mengalami status stunting atau gizi kurang untuk dicek," ungkap Midah saat ditemui Validnews di rumahnya di Kabupaten Bogor, Selasa (9/5).

Midah ikhlas menjalani tugas sebagai kader posyandu. Sungguh sederhana tujuannya. Midah ingin berguna bagi masyarakat sekitar rumahnya.

Perempuan paruh baya ini sudah menjadi kader posyandu sejak tahun 2004. Banyak suka duka dialami. Salah satunya, saat harus berjumpa dengan masyarakat yang menganggap sebelah mata orang-orang yang bekerja di posyandu. 

Mereka yang berpersepsi ini biasanya lebih memilih mendatangi langsung puskesmas atau rumah sakit. 

Dari pengalaman ini, Midah jadi sadar akan sesuatu. Ya, kader posyandu harus mampu berpikir kreatif agar masyarakat tertarik datang ke posyandu. 

Kadang mereka mengiming-imingi hadiah berupa biskuit atau makanan untuk setiap orang yang mendatangi posyandu. 

Pada kesempatan lain, mereka menggalakkan kunjungan door to door. Cara terakhir ini cukup sering menarik perhatian masyarakat. Meski di beberapa kesempatan, warga-warga yang didatangi justru langsung menutup pintu dan gorden rumahnya jika tahu ada kader posyandu datang.

"Paling banyak yang alasan anaknya tidur. Ya, kita tidak bisa memaksakan. Tidak apa-apa," begitu cerita Midah.

Ada satu kejadian penolakan yang masih sangat diingatnya. Midah mengaku pernah sempat diancam oleh golok saat melakukan kunjungan ke rumah warga untuk imunisasi. Aneh, bukan.

Midah mendapat informasi, bapak yang mengancam dengan golok tersebut tidak percaya posyandu karena latar belakang keagamaan. Bapak tersebut mengaku khawatir imunisasi akan berbahaya untuk kesehatan anaknya.

"Tapi itu hanya sebagian kecil saja sih, sekarang berangsur membaik kesadaran warga untuk kontrol ke posyandu, walaupun tetap harus diingatkan," imbuh Ibu dari lima orang anak ini.

Padahal, warga yang menerima kedatangan mereka, pasti akan mendapatkan pelayanan sebaik mungkin. Kader posyandu akan menimbang berat badan anak mereka. 

Setelahnya, ahli gizi akan menyimpulkan persoalan gizi si anak.

Selain berurusan dengan anak, kader posyandu juga memberikan edukasi atau sosialisasi kepada remaja soal reproduksi. Kemudian, melakukan pendampingan terhadap lansia. Semua itu rutin dilakukan oleh kader posyandu setiap hari.

Insentif Seadanya
Ironisnya, tugas berat kader posyandu ini tidak diimbangi dengan insentif yang mereka terima. Karena statusnya relawan, kader Posyandu sering kali tidak mendapatkan upah, terutama pada 2000-an lalu.

Dulu, Midah dan rekan-rekan sejawatnya tidak mendapatkan insentif resmi. Warga biasanya mengumpulkan donasi seikhlasnya untuk mereka.

Seingat Midah, penghargaan buat mereka baru sedikit membaik lima tahun terakhir, atau sejak posyandunya mendapat dana Rp1,5 juta per enam bulan dari kelurahan. 

Dana sebesar itu dibagi rata untuk 5-8 kader posyandu. Jadi, masing-masing kader posyandu mendapatkan Rp50 ribu per bulan.

Tentunya hal ini berbanding terbalik dengan pengakuan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang lantang menyebut peran kader posyandu sangat besar. 

Sebab, selain sebagai pemberi informasi kesehatan kepada masyarakat, kader juga penggerak masyarakat untuk datang ke posyandu dan melaksanakan perilaku hidup sehat.

"Ya disyukuri saja, karena kan awalnya memang untuk mengabdi ke masyarakat. Kami tidak selalu mengharapkan bayaran, itu yang sulit memang," beber Midah yang bertugas di Posyandu Subadra ini.

Alasan pengabdian inilah yang menguatkan keputusan Midah menjadi kader posyandu sampai sekarang. Midah juga mengaku senang bersinggungan langsung dengan masyarakat dan belajar hal baru. 

Posyandu Subadra kebetulan sering bekerja sama dengan unit kesehatan, baik dari pemerintah maupun LSM, yang menularkan banyak pelajaran baru tentang kesehatan.

Karena menjalani tugasnya sepenuh hati di posyandu, Midah juga sempat mendapatkan pengakuan. Dia sempat menyabet juara tiga lomba kader posyandu berprestasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Cerita berbeda dari Rosi Wismarini (53) yang bertugas di Posyandu Yudistira, Perumahan Alam IPB. Warga sekitar justru didapati Rosi tidak antusias mendatangi ke posyandu.

Warga komplek perumahan kebanyakan sibuk. Orang tua bekerja, sedangkan anak biasanya dititipkan ke asisten rumah tangga (ART).

Hal ini membuat posyandu sepi, dan bisa dikatakan bukan jadi pilihan utama warga sekitar. Kebanyakan warga memilih rumah sakit atau klinik daripada posyandu saat ingin melakukan pengecekan awal gejala penyakit.

Saking sepinya, stok Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit di Posyandu Yudistira masih banyak dan nyaris kedaluwarsa.

"Alasannya kejauhan, anaknya tidur atau sebagainya. Karena orang tuanya kerja kan, jadi ART yang ngurusin," begitu kata Rosi kepada Validnews, Rabu (10/5).

Menghadapi situasi ini, Rosi bersama kader posyandu lain tahu harus bekerja lebih ekstra. Mereka akhirnya membuat grup WhatsApp khusus informasi jadwal posyandu setiap bulannya. Kalau ada yang absen pasti akan diingatkan terus melalui jalur grup tersebut.

Kalau cara itu tetap tidak digubris, para kader terpaksa melakukan pendataan langsung atau datang secara door to door ke rumah warga. Target utama mereka adalah para warga yang memiliki balita dan tidak pernah kontrol ke posyandu.

Terbeban Karena Stunting
Kebanyakan orang, disebut Rosi, menganggap mudah kerjaan kader posyandu. Bahkan, kalau dibandingkan dengan masa-masa lampau, beban kerja kader posyandu sekarang ini menurut Rosi justru lebih berat. 

Sebab mereka dituntut untuk membantu penurunan stunting yang menjadi program nasional. 

“Padahal tugas dan beban kerjanya tidak seenteng yang dibayangkan,” ucapnya.

Proses pengecekan juga makin banyak, mulai dari pengukuran anak, ke bidan, melapor ke ahli gizi, dan kemudian didata dan dicek kembali. 

"Jadi, sebenarnya harus belajar terus. Saya saja sekarang masih tahap belajar, misalnya, singkatan-singkatan gitu kan kita harus hafal," terangnya.

Dia bercerita soal lika-liku tegasnya. Bulan Februari dan Agustus selalu menjadi rush season bagi para kader posyandu. Sebab, para kader dituntut 'mengejar' para warga yang memiliki balita untuk diberikan imunisasi vitamin A. 

Di luar itu, bulan April dan Mei juga bisa dikatakan menjadi masa sibuk, khususnya bagi posyandu di Jawa Barat. Karena terdapat kasus polio di Jawa Barat, maka kader posyandu di Kabupaten Bogor ikut mengejar imunisasi polio secara door to door.

"Tantangannya ya ada saja anak yang tidak mau. Orang tuanya lebih memilih ke rumah sakit, padahal sama aja. Tapi alhamdulillah imunisasi polio dari 79 anak sisa 17 yang belum," jelasnya.

Sama seperti Midah, persoalan tidak sesuainya upah yang diterima jadi keluhan tersendiri buat Rosi. Sejauh ini, upah yang diterimanya masih jauh dari kata sesuai. Bahkan dalam satu bulan, tiap kader posyandu di tempatnya hanya mendapat Rp30 ribu.

"Untungnya saya nggak pernah ngitung upahnya sih, karena ini tugas sosial," singkat Rosi.

Hanya saja, persoalan upah menyebabkan kader posyandu tidak dilirik oleh kebanyakan anak muda. Kader posyandu orangnya itu-itu saja. 

Dan, biasanya sudah bertugas puluhan tahun. Padahal, kader posyandu juga perlu regenerasi suatu saat.

Rosi saja awalnya tidak berniat menjadi kader posyandu. Dia tidak sengaja terlibat, karena pada saat 2000-an suaminya sedang menjabat sebagai Ketua RW. 

Namun, karena senang bergaul dengan ibu dan anak balita, lambat laun Rosi merasa nyaman menjalani tugas ini. 

"Banyak yang mengandalkan juga, walaupun sekarang suami saya sudah tidak jadi RW," katanya.

Penguatan Posyandu
Posyandu memang terkesan tidak populer untuk kaum urban. Namun, keberadaannya sangat diperlukan bagi masyarakat desa di daerah. 

Menurut data Kemenkes pada 2017 jumlah posyandu yang ada di Indonesia mencapai 266.827. 

Setiap posyandu memiliki sekitar 3 sampai 4 orang kader. Saat ini, ada lebih dari 1 juta kader posyandu. Rinciannya, 1.133.057 orang kader, terdiri dari 784.505 orang kader aktif dan 3.435 kader yang kurang aktif. Sisanya, tidak jelas statusnya.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, mendorong penguatan posyandu melalui para kader agar perangkat kesehatan dasar ini tidak punah.

Kehadiran posyandu sebagai bagian UKBM menurutnya sangat penting untuk masyarakat. Posyandu dinilai sangat bermanfaat untuk mendukung kesehatan masyarakat dalam hal melakukan skrining dasar dan lanjutan.

"Posyandu tidak hanya melakukan pemeriksaan balita dan ibu hamil, tapi juga pendampingan lansia, edukasi reproduksi remaja, maka harus dilakukan penguatan melalui kader," ujar Hermawan kepada Validnews, Kamis (11/5).

Dia meyakini, penguatan SDM dapat menghapus stigma kader posyandu yang dianggap sebagai tenaga sisa. 

Perekrutan, kata Hermawan, juga harus betul-betul dilakukan secara serius, termasuk perlu diberikan pelatihan dengan seleksi. Misalnya, dengan melihat karakter yang dimiliki para kader. 

Kader posyandu dapat dikatakan influencer atau agent of change untuk masyarakat. Sebab, kader posyandu berperan sebagai jembatan program dari tenaga kesehatan kepada masyarakat.

"Maka dari itu harus diperkuat dari perekrutan sampai soal honor. Karena bagaimanapun kader itu bisa menginspirasi masyarakat," tegas dia.

Sejauh yang diketahui Hermawan di lapangan, upah Rp50 ribu per bulan itu hanya terjadi di kota besar, atau kawasan Jabodetabek. Sementara itu, di daerah-daerah desa pedalaman kondisinya bisa lebih miris. Posyandu banyak  mati suri.

Persoalan besaran honor ini merupakan persoalan yang pelik. Sebab masih ada tumpang tindih regulasi antara Kemenkes dan Kemendagri atau Kementerian Desa.

Dari sisi Kemenkes sebenarnya tengah merencanakan Posyandu Prima dengan penguatan anggaran bagi posyandu. Namun rencana ini terbentur dengan regulasi posisi posyandu yang juga berada di bawah Kemendagri.

"Sementara di lapangan pembinaannya ada di bawah puskesmas, mulai dari kader, layanan sampai sosialisasi program," terang Hermawan.

Untuk menguatkan posyandu, selayaknya adadi bawah naungan satu kementerian. Hermawan terang menyusulkan posyandu berada di bawah Kemenkes. 

"Harus diperjelas dulu ini. Selama ini rancu, dampaknya ke insentif atau honor kader, karena tidak jelas yang membiayai kader siapa," ungkapnya.

Penguatan lain ynag diperlukan juga menyoal peningkatan fasilitas advance, seperti alat skrining atau testing dasar. Nah, keperluan tersebut memerlukan dana yang tidak murah. Maka lagi-lagi memerlukan anggaran yang terpusat dan jelas.

Jika dua hal klise ini dibenahi, posyandu dan kader-kader serta pelayanannya jelas bisa meningkat dan mengikuti perkembangan keperluan kesehatan masyarakat.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar