21 November 2023
18:50 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA - Bursa karbon adalah pasar tempat perdagangan izin emisi karbon dan kredit karbon yang dihadirkan sebagai bagian dari upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengatasi perubahan iklim.
Namun, dalam penerapan perdagangan ini, selayaknya ada pengawasan. Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Heru Kristiyana mengatakan penerapan perdagangan bursa karbon perlu diawasi secara ketat.
"Hal ini dikarenakan adanya tantangan bahwa bursa karbon dapat dijadikan sebagai media greenwashing akibat carbon offset, yang mana perusahaan seolah-olah menurunkan emisi karbon, meskipun pada kenyataannya masih menyumbang emisi karbon yang cukup besar," kata dia dalam "LPPI Virtual Seminar #95: Bursa Karbon dan Peluangnya bagi Sektor Keuangan Indonesia" di Jakarta, Selasa.
Bursa karbon sendiri bertujuan menciptakan insentif bagi perusahaan dan negara guna mengurangi GRK dengan cara menyediakan mekanisme untuk membeli dan menjual izin emisi atau kredit karbon.
Bursa ini secara resmi, diluncurkan pada September 2023 dan dijalankan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Produk yang diperdagangkan di bursa karbon meliputi persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha dan sertifikasi pengurangan emisi GRK.
Heru yang dikutip dari Antara mengamini, penerapan bursa karbon di Indonesia akan memperkuat upaya pengurangan emisi karbon dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, dia mengingatkan.
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu menyadari dan memitigasi tantangan yang ada, seperti fenomena greenwashing, melalui regulasi dalam penyelenggaraan bursa karbon.
RUU EBET
Pada kesempatan berbeda, pemerintah mengungkapkan sudah menginisiasi usulan baru soal ketentuan nilai ekonomi karbon masuk dalam daftar inventaris masalah (DIM) pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam keterangannya di Jakarta, Selasa mengatakan usulan baru tersebut akan makin meyakinkan kepercayaan para investor energi bersih.
Arifin menjabarkan apabila beleid itu nantinya disepakati pemerintah dan legislatif, maka badan usaha dapat memperoleh insentif dari upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) pada kegiatan pengusahaan energi baru dan energi terbarukan dan/atau kegiatan konservasi energi yang dilakukan oleh badan usaha.
"Mengenai (mekanisme) perdagangan karbon pada Pasal 7B yang tadinya tidak ada dalam DIM sebagai usulan baru dari pemerintah," kata Arifin saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (20/11).
Dia juga menekankan, mekanisme perdagangan karbon harus mempertimbangkan aturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
Upaya pengurangan emisi GRK tersebut, sambungnya, dapat menjadi bagian dari mekanisme perdagangan karbon melalui perdagangan emisi, pengimbangan (offset) emisi GRK, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Kami ingin menambahkan kata mekanisme perdagangan karbon," jelas Menteri ESDM.
Ketentuan tersebut bakal berlaku serupa bila ada kegiatan investasi pengembangan EBET dan/atau kegiatan konservasi energi sebagai upaya pengurangan emisi GRK, yang bersumber dari pendanaan luar negeri dalam kerangka kerja sama antarpemerintah.
"Ini tambahan untuk pelengkap ketentuan nilai ekonomi karbon," sebut Menteri Arifin.