20 Oktober 2023
10:48 WIB
LONDON – Bungkamnya Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas serangan sistematis Israel terhadap penduduk sipil di Jalur Gaza, Palestina menuai banyak kecaman. Padahal, aksi Israel dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan dan "sama sekali tidak dapat diterima" oleh banyak pihak.
Seperti diketahui, selama lebih dari 10 hari, Israel membombardir wilayah Palestina yang terkepung itu sampai merenggut korban tewas yang jumlahnya kini mendekati 3.000 yang 750 di antaranya anak-anak.
Serangan Israel menargetkan bangunan-bangunan di kawasan pemukiman padat penduduk, yang ditudingnya digunakan oleh kelompok Palestina Hamas.
Serangan udara juga menghantam rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah, sebagaimana laporan badan-badan PBB seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Beberapa staf medis dan staf kemanusiaan terbunuh dalam serangan Israel, bersama dengan jurnalis dan pejabat layanan sipil serta penyelamatan setempat.
Bencana kemanusiaan semakin parah ketika Israel memutus air, listrik dan pasokan lainnya ke Gaza. Sekitar 2 juta penduduk mengalami kekurangan kebutuhan dasar yang telah menimbulkan kekhawatiran dari PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Israel juga memerintahkan evakuasi untuk warga di Gaza utara, yang berdampak kepada lebih dari 1 juta orang atau hampir setengah dari seluruh penduduk di kantong Palestina itu.
Perintah Israel itu dikritik keras oleh organisasi-organisasi internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia sebagai "pemindahan paksa" dan kejahatan perang. Pelanggaran besar lainnya yang dilakukan Israel adalah penggunaan fosfor putih dalam serangannya di Gaza.
Militer Israel membantah tuduhan tersebut, tapi kelompok-kelompok hak asasi manusia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah membuktikannya dalam investigasinya.
Seperti dikutip Anadolu, Jumat (20/10), Ahmed Abofoul, peneliti hukum dan petugas advokasi pada organisasi hak asasi manusia Al-Haq menegaskan, tindakan Israel di Gaza adalah "kejahatan perang".
Sementara penargetan infrastruktur sipil dan penduduk sipil dapat disebut sebagai ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’. Abofoul mengatakan ada pernyataan genosida yang sangat meresahkan dari para politisi Israel, seperti Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang bersumpah akan mengubah Gaza menjadi puing-puing.
Abofoul yang juga seorang pengacara internasional yang berbasis di Den Haag menyatakan, kelambanan ICC dalam menindak kejahatan Israel "sama sekali tidak dapat diterima."
"Penting untuk dicatat, jaksa ICC mempunyai mandat tidak hanya untuk menyelidiki kejahatan, tetapi juga untuk mengeluarkan pernyataan preventif, yaitu pernyataan peringatan dini yang dapat memberikan efek jera," kata dia.
“Kondisi ini juga memalukan karena komunitas internasional tidak benar-benar mendorong gencatan senjata, dan malah mendukung Israel dengan mengirimkan senjata,” tambahnya.
Abofoul berpendapat, tindakan Israel yang menjatuhkan hukuman kolektif kepada warga Palestina melalui serangan tanpa pandang bulu dan pengepungan total dapat dianggap genosida.
"Kami telah mendengar pernyataan Israel yang tampaknya mengabaikan kehidupan warga sipil yang tidak bersalah," tuturnya.
Abofoul menekankan, penggunaan fosfor putih selalu berdampak pada penduduk sipil karena senjata tersebut tidak pandang bulu.
"Mereka mengetahuinya dan menggunakannya, oleh karena itu, itu dapat dikatakan sebagai kejahatan perang," kata dia.
Pengunjuk rasa dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat berunjuk rasa di depan Kedubes AS untuk mengutuk penyerangan Israel ke Palestina. Antara Foto/Wahyu Putro A
Biden Bungkam
Tak hanya ICC, Presiden Amerika Serikat Joe Biden bungkam saat ditanya apakah tindakan Israel di Gaza sesuai dengan hukum perang. Hal Itu terjadi saat Biden ditanya oleh seorang wartawan saat dia mengadakan jumpa pers di Pangkalan Udara Ramstein Jerman, setelah kunjungannya ke Israel, Rabu.
"Pak Presiden, apakah Israel menjalankan hukum perang seperti yang Anda bicarakan pekan lalu,” tanya seorang reporter kepada Biden.
Bukannya menjawab pertanyaan si wartawan, Biden malah mengatakan "Senang berbicara dengan kalian semua," dan kemudian pergi meninggalkan ruangan konferensi pers.
Israel diyakini berada di balik pemboman Rumah Sakit Al-Ahli Baptist di Gaza pada Selasa (17/10) malam waktu setempat, yang menewaskan sekitar 500 orang. Namun, Israel telah membantah bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Insiden serangan itu serta blokade total Israel terhadap Gaza, dengan memutus pasokan air, listrik, dan bahan bakar juga telah mendorong protes di seluruh dunia Banyak pengamat menyatakan, Israel melanggar aturan perang.
Sebelumnya, Biden membantah laporan pers Israel yang menyebut, AS akan mendukung Israel dalam perang melawan Hizbullah. Mengenai kemungkinan Israel membatalkan serangan darat di Gaza, Biden hanya mengatakan bahwa para pejabat militer Israel dan AS sedang membicarakan alternatif apa yang mungkin dilakukan.
Biden juga menyatakan upaya evakuasi warga AS di Gaza terus dilakukan. Uniknya, Biden mengatakan, Washington akan memberi Israel semua yang diperlukan untuk mempertahankan diri dalam melawan kelompok militan Palestina, Hamas, yang dia salahkan atas ledakan dahsyat di rumah sakit Gaza.
"Berdasarkan apa yang saya lihat, sepertinya hal itu dilakukan oleh tim lain, bukan Anda (Israel). Namun, ada banyak orang di luar sana yang tidak yakin, jadi kita perlu mengatasi banyak hal," kata Biden pada Rabu.
Israel mengatakan, ledakan itu disebabkan oleh roket Palestina yang gagal meluncur ke wilayah Israel. Hamas telah membantah hal itu. Pertumpahan darah di sana telah memicu protes anti-Israel yang sengit di wilayah tersebut.
Biden, yang mendarat di Israel dan bertemu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Rabu pagi, mengatakan Hamas lebih buruk daripada ISIS. Ini karena pembunuhannya terhadap warga sipil Israel dalam serangan mendadak pada 7 Oktober yang memicu kekerasan terbaru Israel-Palestina.
Presiden Amerika Serikat dari Demokrat Joe Biden. ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque Transfer Senjata
Hanya saja, lelaku Biden ini membuat seorang pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada Rabu mundur karena kecewa dengan kebijakan Presiden Joe Biden dalam menangani konflik Israel-Palestina Josh Paul, yang menangani transfer senjata selama lebih dari 11 tahun di Biro Urusan Politik-Militer Deplu AS, mengumumkan pengunduran dirinya melalui surat.
Dalam surat dua halaman itu, dia menjelaskankeputusannya didasari keyakinan bahwa pendekatan AS dalam konflik tersebut, khususnya soal penyediaan senjata mematikan, telah mencapai titik di mana dia tidak lagi dapat mendukungnya.
Menurut Paul, penyediaan senjata oleh AS ke Israel terus berlanjut, bahkan diperluas dan dipercepat.
"Saya tidak lagi bisa mendukung kebijakan ini," kata dia, merujuk pada dukungan pemerintah Biden pada Israel dalam merespons serangan Hamas pada 7 Oktober.
Paul menegaskan serangan Hamas terhadap Israel adalah tindakan yang mengerikan. Tetapi serangan balasan Israel yang didukung AS akan memperburuk konflik tersebut.
"Dukungan buta pada satu pihak akan merusak kepentingan kedua pihak dalam jangka panjang," katanya.
Dalam pidatonya di Tel Aviv pada Rabu, Biden menyuarakan dukungan penuhnya bagi Israel. "Kalian tidak sendirian. Kalian tidak sendirian," katanya.
"Amerika Serikat akan selalu ada untuk kalian. Kami tahu bahwa serangan teroris baru-baru ini telah menyebabkan rasa sakit dan penderitaan yang mendalam bagi bangsa ini (Israel)," serunya.
Dalam surat pengunduran dirinya, Paul menyampaikan keinginannya agar orang-orang yang tidak bersalah, baik di Israel maupun di Palestina, dilindungi. Pembunuhan dan penculikan warga sipil oleh kelompok teroris di Israel dan Palestina adalah tindakan yang bertentangan dengan upaya perdamaian.
Dia menambahkan hukuman kolektif, pembersihan etnis, pendudukan, dan kebijakan apartheid adalah musuh bagi perdamaian.
Veto Amerika
Di sisi lain, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning mengatakan Dewan Keamanan PBB tidak dapat menjalankan tugasnya karena veto Amerika Serikat terhadap usulan resolusi tentang perang Palestina-Israel.
"China sangat kecewa atas penolakan AS terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. Padahal karena ketegangan terus meningkat, DK PBB perlu mendengarkan seruan dari banyak negara Arab dan rakyat Palestina dan menjalankan perannya untuk mewujudkan gencatan senjata, melindungi warga sipil dan mencegah bencana kemanusiaan yang lebih buruk," kata Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Kamis (19/10).
Pada Rabu (18/10), AS mengajukan veto atas rancangan resolusi DK PBB yang diusulkan oleh Brazil untuk menuntut jeda kemanusiaan di Gaza. Resolusi yang ditentang oleh AS itu mendapat dukungan 12 negara anggota DK PBB, sementara Rusia dan Inggris menyatakan abstain. Resolusi yang dirancang Rusia yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan pun gagal disahkan pada Senin (16/10).
"Wakil Tetap China untuk PBB telah menjelaskan posisi kami secara panjang lebar setelah pemungutan suara. Konflik Palestina-Israel terus meningkat sehingga menimbulkan banyak korban sipil dan krisis kemanusiaan serta pukulan telak terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan," tambah Mao Ning.
China, menurut Mao Ning, mendukung DK PBB dalam memainkan perannya dan melakukan semua upaya yang bertujuan meredakan situasi dan memulihkan perdamaian.
"Selama beberapa hari berturut-turut, DK PBB telah terlibat dalam diskusi mendalam mengenai rancangan resolusi untuk Palestina dan membangun konsensus. Mayoritas negara, khususnya negara-negara Arab, mendukung DK PBB agar mengambil tindakan sesegera mungkin," ungkap Mao Ning.
Terkini, Israel diyakini berada di balik pemboman Rumah Sakit Al-Ahli Baptist di Gaza pada Selasa (17/10) malam waktu setempat yang menewaskan sekitar 500 orang.
"China terkejut dan mengutuk keras serangan terhadap rumah sakit di Gaza yang memakan banyak korban jiwa. Kami berduka atas para korban dan menyampaikan simpati kepada mereka yang terluka," katanya.
Mao Ning menyebutkan China menyerukan gencatan senjata segera dan penghentian permusuhan, pemenuhan kewajiban berdasarkan hukum humaniter internasional dan segala upaya untuk melindungi warga sipil dan mencegah bencana kemanusiaan yang lebih buruk.
Terkait dengan kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Israel pada Kamis (19/10) untuk menjanjikan dukungan Amerika terhadap Israel melawan Hamas, Mao Ning berharap AS dapat memberikan contoh yang adil.
"Dalam menghadapi isu-isu yang menjadi titik panas internasional dan regional, negara-negara besar harus bersikap obyektif dan adil, bersikap tenang dan menahan diri, serta memberi contoh dalam mematuhi hukum internasional," katanya.
Dia pun berharap agar AS dapat mendorong Israel mau melakukan solusi diplomasi.
"Kami berharap AS dapat memainkan peran konstruktif dan mengembalikan permasalahan ke jalur penyelesaian politik," tambahnya.