29 Maret 2023
15:39 WIB
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menguraikan pentingnya fortifikasi pangan atau penambahan zat gizi makro dan mikro pada makanan yang biasa dikonsumsi.
Menurut peneliti PRTPP BRIN Ardiba Rakhmi Sefrienda, ada kemungkinan zat gizi yang terkandung dalam pangan hilang atau rusak pada saat proses pembuatan. Atau, memang minim karena jumlah kandungan gizinya yang kurang.
“Untuk itu perlu fortifikasi, untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas gizi makanan pada total diet kelompok, komunitas, atau populasi tertentu," papar Ardiba seperti dikutip dari laman BRIN, Rabu (29/3).
Menurut dia, ada banyak bahan pangan yang dapat difortifikasi. Terutama, lanjut dia, bahan-bahan pangan utama seperti garam, susu, beras, margarin, dan mie instan.
Dia melanjutkan, fortifikasi tersebut tidak mengubah warna maupun rasa pada produknya. Oleh karena itu, dapat membantu perbaikan gizi ke masyarakat.
Adapun zat gizi penting yang dapat ditambahkan pada makanan antara lain adalah yodium, zat besi, vitamin A, zink, vitamin D, asam folat, dan kalsium.
Zat tersebut, lanjut Ardiba, dapat ditambahkan ke dalam makanan melalui berbagai teknik fortifikasi yaitu pencampuran dalam kondisi kering (dry mixing).
Atau, mencampur dengan suhu dan tekanan tinggi (hot extrusion). Kemudian, mencampur pada suhu di bawah 70°C (cold extrusion). Bahkan, dengan cara menaburkan ke makanan (dusting), ataupun melalui teknik kimiawi.
Akses Teknologi
Proses fortifikasi membutuhkan teknologi. Sementara itu, Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Kementerian/Lembaga, Masyarakat, dan UMKM BRIN, Dadan Nugraha menguraikan, akses teknologi jadi kendala bagi para pelaku usaha mikro dan kecil.
Hasil-hasil riset BRIN dapat diterapkan dan dimanfaatkan agar usaha mikro dan kecil dapat didorong dengan dukungan teknologi.
"Dengan demikian, nantinya produk yang dihasilkan dapat lebih berkualitas dan mempunyai daya saing yang lebih berkembang," sambung Dadan.
Salah satu peluang pemanfaatan teknologi yang dapat diaplikasikan oleh UMKM adalah pengolahan limbah berupa tulang ikan menjadi produk tepung tulang ikan sebagai bahan fortikan pangan. Untuk mencapai manfaat yang optimal dalam pengelolaan perikanan, salah satu upayanya adalah mengelola produk hasil sampingan dari industri hasil perikanan yang berupa limbah.
“Dalam 1-2 kilogram ikan patin saja dapat menghasilkan 30-40% limbah, baik berupa kulit, insang, jeroan, kepala, dan tulang," ungkap peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN, Hilda Novianty.
Dia menjelaskan, tulang ikan merupakan limbah yang masih memiliki nilai gizi tinggi seperti asam amino, asam lemak, dengan kandungan kalsium dan mineral yang menjadi kandungan utamanya.
Beberapa literatur studi riset menunjukkan, ikan tuna dan mas mengandung asam amino dan asam lemak yang diperlukan oleh tubuh. Misalnya, kandungan EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic acid) yang sangat penting bagi pertumbuhan janin pada ibu hamil, serta perkembangan otak pada balita, urai Hilda.
Pada kesempatan ini, Hilda mengimbau UMKM untuk menciptakan inovasi melalui riset kecil sehingga dapat membuat produk-produk dari limbah hasil pengolahan ikan. Baik dari bagian tulang, pencernaan, dan bagian-bagian limbah lainnya.
"Banyak hasil riset limbah ikan yang bermanfaat seperti gelatin yang dapat dibuat dari bagian pencernaan, kulit, dan tulang ikan, serta produk lain seperti kecap ikan yang diambil dari bagian limbah yang sama," terang dia.