28 Juli 2023
12:45 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA - Petani kelapa sawit masih mengalami perlakuan termarginalkan karena sejumlah alasan. Padahal, perkebunan sawit rakyat sebenarnya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan mengurangi pengangguran di daerah setempat.
"Peran petani masih termarginalkan karena produktivitas kebun rendah, tata kelola kebun yang belum baik, ditambah dengan persoalan logistik pascapanen," papar Kepala Pusat Riset Agroindustri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mulyana Hadipernata dalam keterangan tertulis, Kamis (27/7) malam.
Selain itu, Mulyana menyebutkan adanya pedagang perantara dan pungutan atas penjualan tandan buah segar (TBS) kian meminggirkan petani sawit.
Ditambah lagi, petani masih menggantungkan penjualan hasil panennya kepada perusahaan kelapa sawit (PKS) besar. Umumnya, PKS sudah memiliki kebun sendiri dan kebun milik masyarakat yang terikat (kebun plasma). Maka dari itu, hasil panen masyarakat pun hanya dijadikan penyangga ketika produksi PKS tidak cukup.
"Meski jumlahnya signifikan, petani sawit mandiri masih menjadi aktor terlemah dalam industri perkebunan kelapa sawit. Salah satu kendalanya alur rantai pasok CPO yang terbilang panjang," terang Mulyana lagi.
Dia menjelaskan, setelah panen, petani akan menjual TBS ke tengkulak. Lalu, tengkulak membawa TBS ke pengumpul untuk ditimbang dan dijual. Baru setelahnya, pengumpul mengirim TBS ke PKS.
Rantai pasok panjang dengan waktu tidak menentu ini pun berkontribusi terhadap rendahnya kualitas TBS. Hasilnya, crude palm oil (CPO) berkualitas rendah karena ada kandungan asam lemak bebas (ALB) yang tinggi. Ini akibat TBS tidak dikelola dalam waktu 24 jam setelah dipetik.
Mengatasi persoalan itu, Mulyana merekomendasikan petani untuk berpartisipasi mengolah TBS di lokasi yang dekat dari kebun mereka. Cara ini juga mampu membuat petani mandiri.
"Hasil riset BRIN untuk pascapanen dalam pengolahan sawit pada skala petani, yaitu pres buah sawit bekerja sama dengan peneliti MAKSI (Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia), dan pemurnian hasil pemerasan buah agar didapat hasil CPO yang memenuhi standar industri," cetus Mulyana.
Dia menambahkan, teknologi yang digunakan harus tepat guna dan sederhana agar dapat dioperasikan petani. Perlu dikenalkan pula skema bisnis pengolahan sawit berbasis kawasan. Harapannya, daya tawar penjualan sawit dan kesejahteraan petani meningkat.
Dalam keterangan yang sama, Kepala Divisi Usaha Kecil Menengah Koperasi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (UKMK BPDPKS), Helmi Muhansyah, turut berpendapat.
Menurut dia, kemitraan antara petani dan perusahaan sawit masih diperlukan. Namun, kemitraan dilakukan dengan hubungan dua institusi yang merdeka.
"Setelah merdeka baru bermitra. Jadi, bermitra yang sehat, kedua pihak akan diuntungkan," tandas Helmi.