12 November 2024
19:48 WIB
BPOM Cabut Izin Edar 16 Produk Kosmetik Microneedle
Tren penggunaan produk yang didaftarkan sebagai kosmetik, namun diaplikasikan dengan menggunakan jarum yang marak beredar, berhasil diungkap BPOM dan ditertibkan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar mencabut izin edar 16 produk kosmetik yang digunakan atau diaplikasikan selayaknya obat dengan menggunakan jarum maupun microneedle, di Jakarta, Selasa (12/11/2024). dok.BPOM
JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencabut izin edar 16 produk kosmetik yang digunakan atau diaplikasikan, selayaknya obat dengan menggunakan jarum maupun microneedle (jarum mikro). Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (12/11) Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, penindakan tegas ini hasil dari pengawasan peredaran kosmetik secara intensif pada periode September 2023-Oktober 2024.
“Tren penggunaan produk yang didaftarkan sebagai kosmetik, namun diaplikasikan dengan menggunakan jarum yang marak beredar, berhasil diungkap BPOM dan perlu ditertibkan,” kata Taruna, di Jakarta.
Sesuai dengan Peraturan BPOM Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetik, katanya, produk kosmetik didefinisikan sebagai bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia. Seperti epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar, atau gigi dan membran mukosa mulut.
Produk-produk tersebut digunakan untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/ atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
"Oleh karena itu, produk yang digunakan dengan jarum atau microneedle maupun digunakan dengan cara diinjeksikan tidak termasuk ke dalam kategori kosmetik," ucapnya. dia menjelaskan.
Injeksi Harus Steril
Menurutnya, produk yang digunakan dengan cara injeksi haruslah steril dan diaplikasikan oleh tenaga medis. Kosmetik, katanya, bukanlah produk steril dan secara umum dapat digunakan oleh siapapun, tanpa bantuan tenaga medis. Serta tidak dimaksudkan untuk memberikan efek di bawah lapisan kulit epidermis.
Oleh sebab itu meskipun produk ini telah terdaftar sebagai kosmetik, namun tetap melanggar peraturan dan membahayakan kesehatan penggunanya.
"Injeksi yang dilakukan dengan menggunakan produk yang tidak sesuai dan diaplikasikan oleh bukan tenaga medis berisiko terhadap kesehatan, mulai dari reaksi alergi, infeksi, kerusakan jaringan kulit, hingga menyebabkan efek samping sistemik," jelasnya.
Taruna menegaskan, penggunaan kosmetik dengan cara diinjeksikan sangat membahayakan kesehatan. Dia menilai produk seperti ini dikategorikan sebagai obat dan harus didaftarkan sebagai produk obat.
Kosmetik yang mereka temukan diaplikasikan selayaknya obat dengan menggunakan jarum maupun microneedle dapat dikenali ciri-cirinya. Dia menjelaskan, produk seperti ini memiliki izin edar sebagai kosmetik dan biasanya berbentuk cairan dalam kemasan ampul, vial, atau botol yang disertai dengan/tanpa jarum suntik.
Namun, katanya, pada penandaan dan/atau promosinya, dinyatakan diaplikasikan dengan cara diinjeksikan. Karena itu, pihaknya secara tegas meminta para pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaku usaha, tegasnya, harus mendaftarkan produk sesuai dengan komoditas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Zat Berbahaya
Belum lama ini, Jumat (8/11), BPOM Makassar memerintahkan untuk menarik enam produk kosmetik yang diproduksi di Sulawesi Selatan, karena positif mengandung merkuri atau zat berbahaya bagi kesehatan.
"Penarikan ini berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap enam produk kosmetik yang positif mengandung merkuri," kata Kepala BPOM Makassar Hariani di Makassar, Jumat.
Dia mengatakan, tindakan tersebut dijalankan berdasarkan temuan yang diperoleh melalui hasil pengujian yang dilakukan bersama Direktorat Reskrim dan Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel. Adapun keenam produk kosmetk yang positif mengandung merkuri, yakni FF (Fenny Frans), RG (Raja Glow/Ratu Glow), MH (Mira Hayati), MG (Maxie Glow), BG (Bestie Glow), dan NRL.
Menurut dia, beberapa produk yang telah diuji di laboratorium itu terbukti positif mengandung merkuri dan ini sudah diekspose di Polda Sulsel. Hariani mengatakan, awalnya produk-produk kosmetik tersebut telah melalui proses pendaftaran sesuai prosedur yang berlaku di BPOM.
Mereka juga tetap dalam pengawasan pre-market sebelum produksi dimulai. Hanya saja, produk yang telah sesuai standar saat didaftarkan itu, melanggar ketentuan setelah proses produksi dilakukan.
"Setelah produksi berlangsung, ada oknum yang sengaja menambahkan bahan berbahaya, seperti merkuri, ke dalam produk tersebut," tuturnya.
Pengawasan Ketat
Merujuk kasus tersebut, Hariani menegaskan, BPOM terus melakukan pengawasan ketat, baik pre-market maupun post-market.
Ia memastikan, pihaknya secara rutin melakukan pengawasan hingga ke tingkat yang paling kecil di pasar, namun tetap saja masih ada pelanggaran seperti ini. Tindakan para pemilik produk kosmetik tersebut, lanjut dia, merupakan bentuk kejahatan dalam industri kosmetik.
Ia membeberkan, sedikitnya terdapat 33 pemohon kosmetik dan 30 industri kosmetik di Sulsel yang tersebar di berbagai daerah seperti Gowa, Maros, dan Parepare. "Tindakan produsen kosmetik itu adalah kejahatan di bidang kosmetik, sehingga kami melibatkan penyidik dari Polda yang didukung oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di BPOM dan unit teknis Ditkrimsus untuk melakukan pengawasan di lapangan," ujarnya.
Berkaitan dengan hal itu, BPOM Makassar terus berkomitmen memberikan edukasi kepada masyarakat agar mereka menjadi konsumen yang cerdas dalam memilih kosmetik yang aman.
Sementara sesuai dengan SOP BPOM, tanggung jawab penarikan produk berbahaya ada pada produsen atau pemilik produk. Para owner, wajib menarik produk mereka dari pasaran. BPOM bersama Polda akan memantau proses penarikan tersebut untuk memastikan produk benar-benar ditarik dari peredaran.