c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

03 September 2024

15:08 WIB

Biaya Pendidikan Picu Inflasi, Pemerintah Belum Laksanakan Konstitusi

Berdasarkan data survei HSBC pada tahun 2018, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Biaya Pendidikan Picu Inflasi, Pemerintah Belum Laksanakan Konstitusi</p>
<p>Biaya Pendidikan Picu Inflasi, Pemerintah Belum Laksanakan Konstitusi</p>

Ilustrasi. Siswa kelas XI MIPA mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMA Negeri 2 Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (26/7/2024). Antara Foto/Adeng Bustomi

JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengatakan biaya pendidikan menjadi penyumbang utama inflasi pada Agustus 2024. Hal ini mencakup biaya pendidikan di jenjang sekolah dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, hal ini merupakan kenyataan aneh. Pasalnya, pendidikan dasar seharusnya wajib dibiayai oleh pemerintah.

"Tarif biaya sekolah yang terus meroket ini menunjukkan bahwa pemerintah belum melaksanakan amanah konstitusional pasal 31 UUD 1945 soal kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan bagi setiap warga negara,” ujar Ubaid melalui keterangan tertulis, Selasa (3/9).

Dia menjelaskan, berdasarkan data survei HSBC pada 2018, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia. Rata-rata orang Indonesia membutuhkan biaya sebesar US$18.422 atau sekitar Rp287 juta untuk menempuh pendidikan dari jenjang SD hingga perguruan tinggi.

Menurut Ubaid, biaya pendidikan dasar yang masih tinggi membuat jutaan anak tidak bisa sekolah. Hal ini berdampak pada keberlanjutan anak untuk menempuh jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Dia menjelaskan, tingginya biaya pendidikan terjadi karena tiga faktor utama. Pertama, lemahnya political will pemerintah dalam persoalan pendidikan. Hal ini terlihat dari tidak adanya peta jalan pendidikan yang jelas. Alhasil, problem utama terkait ketimpangan akses dan kesenjangan kualitas pendidikan menjadi warisan turun-temurun yang tak terselesaikan.

Kedua, alokasi anggaran pendidikan salah sasaran. Ubaid berkata, konstitusi mewajibkan anggaran pendidikan untuk pelaksanaan program wajib belajar. Namun, anggaran pendidikan justru banyak digunakan untuk belanja pegawai dan belanja kementerian/lembaga yang tidak berkaitan dengan pendidikan.

Ketiga, kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Menurut Ubaid, semakin tinggi jenjang pendidikan, maka peran pemerintah semakin kecil dan peran swasta kian besar. Hal ini terlihat dari data BPS 2023 yang menunjukkan, jumlah SDN mencapai 75%, SMPN 42%, SMAN/SMKN 33%, dan perguruan tinggi negeri (PTN) hanya 9%.

"Tentu ini sangat merepotkan masyarakat golongan kelas menengah dan bawah. Mereka akan kesulitas akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi," ujar Ubaid.

Sebelumnya, Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menyampaikan, sektor pendidikan menjadi salah satu penyumbang utama inflasi pada bulan Agustus 2024. Angkanya, sektor pendidikan mengalami inflasi sebesar 0,65%.

Dia merinci, tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya pendidikan jenjang SD sebesar 1,59%, diikuti biaya SMP sebesar 0,78%, biaya akademi/perguruan tinggi 0,46%, dan biaya SMA 0,36%. Hal ini disebabkan naiknya biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi.

"Kelompok (pendidikan) ini memberikan andil inflasi sebesar 0,04% terhadap inflasi umum," ujar Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, seperti diwartakan Antara, Senin (2/9).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar