c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

16 November 2023

20:56 WIB

Berebut Suara Santri

Beragam survei menyebutkan bahwa peran kiai masih jadi penentu kemana santri berpihak.

Penulis: James Fernando, Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

Berebut Suara Santri
Berebut Suara Santri
Presiden Joko Widodo (tengah) mendapat sambutan dari santri yang menghadiri acara Deklarasi Hari Santri Nasional di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (22/10/2015). Antara Foto/Widodo S. Jusuf

JAKARTA – Saat memperingati Hari Santri 2023, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan, suara kalangan santri menjadi penentu arah laju bangsa untuk lima tahun ke depan.

Dia berharap, santri harus terlibat pada setiap episode sejarah negeri ini. Menag yang akrab disapa Gus Yaqut itu mengingatkan para santri untuk menyuarakan hak pilihnya pada gelaran Pilpres 14 Februari 2024. 

“Soal pilihan politik, itu merupakan ranah pribadi. Namun, cerdas dalam menentukan pilihan,” kata Gus Yaqut saat memperingati Hari Santri di Surabaya, dilansir dari Antara, Sabtu (21/10/2023).

Cerdas memilih itu dilakukan para santri dengan terlebih dahulu mencari tahu rekam jejak pasangan capres-cawapres. Bagaimana latar belakang dan pengalaman sosok yang akan dipilih, adalah hal mutlak diketahui.

Santri jangan sampai memilih pemimpin yang hanya didasarkan pada penampakan fisik saja, sebut Menag. Serta, harus benar-benar orang yang memang siap memimpin negara ini, karena tantangan ke depan yang luar biasa.

Mengacu data Kementerian Agama (Kemenag) hingga semester genap 2023, ada 39.167 pesantren di dalam negeri. Seluruh pesantren itu mendidik sebanyak 4.847.197 santri. Terbagi dalam kategori santri bermukim 4.487.744 orang dan tidak bermukim ada 359,453 banyaknya.      

Sebaran pesantren menurut data yang sama, terkonsentrasi di Jawa, yakni Jawa Barat ada 12.121 pesantren, disusul Jawa Timur dengan 6.745 pesantren. Kemudian, Banten 6.423 ada pesantren, dan Jawa Tengah sebanyak 5.084 pesantren.

Dari 4,48 juta santri itu, sebagian adalah mereka yang memiliki hak suara atau hak untuk memilih. Sekaligus, berusia muda. 

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52% atau 106.358.447 jiwa di antaranya merupakan pemilih muda.

Data-data itu menguatkan pernyataan Menag Yaqut bahwa santri yang nota bene orang muda, menjadi penentu bangsa melalui pemilu.

Pilihan Santri
Terkait perilaku santri sebagai pemilik hak suara, lembaga riset memaparkan hasil kajiannya.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) adalah salah satunya. Lembaga itu melakukan survei terhadap muslim Jawa yang berada di Jawa dan luar Jawa. Survei pada Maret 2023 itu membagi responden menjadi santri, abangan, dan priyayi.

Hasil survei menunjukkan, 60% warga muslim Jawa yang mengaku santri, memilih Ganjar untuk menjadi presiden. Sementara itu, sebanyak 20% memilih Prabowo dan 15% memilih Anies, sebanyak 5% lainnya tidak menjawab.

Selain SMRC, survei kepada santri dilakukan Tim Survei Pusat Studi Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Hasil survei khusus di Jawa Timur ini mengungkap pada golongan pemilih dari santri, Ganjar unggul dengan 35,2%, disusul Prabowo sebanyak 33,7%, kemudian Anies 19,4%.

Survei yang dilakukan September 2023 ini juga menunjukkan preferensi santri terkait cawapres. Survei menunjukkan Mahfud MD unggul dengan 19,7%, Cak Imin 13,7%, Khofifah Indar Parawansa 9,3%. 

Sisa suara lainnya terbagi ke Erick Thohir, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, tokoh lainnya, dan yang tidak menjawab.

Ketua tim survei ini, Rully Inayah Ramadhan menerangkan kategori santri ini adalah orang yang pernah mengenyam pendidikan formal ponpes maupun informal. Informal maksudnya tidak pernah ikut pendidikan ponpes, tapi dia pernah belajar mengaji atau berguru dengan dengan seorang kiai.

Rully lalu menjelaskan karakteristik santri, terutama dari kalangan nahdliyin. Santri cenderung mengikuti arahan dari kiai. 

Hal ini terbukti dari hasil survei. Masyarakat belum tentu memilih capres dan cawapres meski ada ikatan primordial. Namun beda cerita jika memilih atas rekomendasi kiainya.

“Ada variabel yang lebih kuat, yaitu hubungan patron klien dengan kiai. Kiainya bilang pilih A, dia pilih A. Karena mereka lebih takut kualat dengan kiai. Karena NU memang tidak diajarkan untuk berani terhadap kiai, tidak diajarkan untuk menentang apa kata kiai,” paparnya, kepada Validnews, Senin (13/11).

Sejauh ini, lanjut dia, sudah beberapa kiai atau ulama kondang masuk barisan pendukung capres. Misalnya, di Prabowo ada Habib Luthfi (Ponpes Sunan Gunung Jati), KH Abdul Ghofur (Ponpes Sunan Drajat), KH Adib Rafiuddin Izza (Ponpes Buntet), dan KH Zaini Zulfa (Ponpes Miftahul Huda).

Sementara untuk Ganjar didukung KH Mohammad Ali Shodiqin (Ponpes Roudlotun Ni’mah), KH Ariman Anwar (Ponpes Nurul Anwar), KH Ubaidillah Ruhiat (Ponpes Cipasung), Buya KH Abdul Satar Saleh (Ponpes Syekh Maulana Qori).

Kemudian, barisan Anies ada KH Nasirul Mahasin (Ponpes Tahfidzul Quran), KH Maksum Faqih (Ponpes Langitan), KH Said Aqil Siradj (Ponpes Luhur Al-Tsaqafah), dan ulama perempuan Nihayatul Wafiroh (Ponpes Nihayatul Wafiroh)

Sementara itu, Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto menerangkan, di pesantren hubungan antara kiai dan santri yang bermukim atau mondok memang sangat kuat. Itu diidentifikasi dari dua hal. Pertama adalah hubungan yang bersifat guru dengan murid. Kiai diasumsikan satu-satunya orang yang dihargai mempunyai ilmu dan bisa mengajarkan sesuatu.

Kedua adalah relasi patron klien. Jadi, belajar di pesantren atau belajar dengan kiai itu tidak cukup dalam hubungan relasi guru murid. Namun, juga bagaimana menjalankan nilai-nilai atau norma-norma sesuatu yang baik dan buruk, diterima atau ditolak.

“Patron klien ini dimensi emosional. Hingga mereka menganggap kiai ini bapak sendiri, wakil keluarga, bahkan mungkin wakil Tuhan,” jelasnya, Jumat (10/11).

Ketika musim politik, kata Derajad, hubungan patron klien kerap kian kuat. Kiai yang memberikan dukungan kepada capres bisa memobilisasi massa santrinya. Mobilisasi santri mondok ini makin bisa dilakukan mengingat pesantren merupakan salah satu tempat pemungutan suara lokasi khusus.

Namun demikian, lanjut dia, ada pesantren yang kiai-nya tidak menyampaikan dukungan pada pasangan tertentu. Biasanya yang seperti ini ada di ponpes modern. Sekalipun ada mobilisasi santri, lanjut dia, di balik bilik suara tetap santri yang menentukan.

Berbeda, survei yang dilakukan LSI Denny JA pada September 2023. Menurut temuan LSI ini, di kalangan pemilih Nahdlatul Ulama (NU), Prabowo-Gibran mendapatkan 44 69%. Ganjar dan Mahfud mendapatkan 35,5%. Anies dan Muhaimin mendapatkan 15%.

Survei itu menguraikan sebab yang memengaruhi perilaku pemilih kaum santri. Pertama, kini di para santri itu memiliki telepon selular (ponsel) di tangan. Membuat mereka punya akses informasi di luar dunia para kiai. Mereka kini mempunyai sumber informasi lain.

Kedua, para santri pun semakin terekspos ke dunia luar yang begitu berbeda, begitu beragam. Mereka kini bisa membanding-bandingkan. Menjadikan, pandangan para kiai atau pengurus NU hanya salah satu patokan saja. 

Ketiga, para santri sekarang ini punya begitu banyak informasi dan percakapan, dengan jendela dunia yang jauh lebih luas. Pandangan mereka sudah melampaui tembok pesantren. Jadi, dalam perilaku politik mereka, dan pilihan pasangan capres-cawapres, kini relatif mandiri. 

Survei menguraikan, tak hanya pedoman para kiai yang memengaruhi perilaku pemilih mereka. Bahkan jika tokohnya, sang kiai itu sendiri, ikut menjadi capres atau cawapres, pun mayoritas pemilih NU juga tetap menimbang-menimbang. Di survei ini, santri terkesan objektif dan independen jauh dari hubungan patron-klien.

Menjual Predikat
Sekalipun demikian, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai masih ada capres-cawapres yang ‘menjual’ latar belakangnya sebagai santri, untuk menarik pengaruh. Pasalnya, faktor kesamaan latar belakang jadi pertimbangan memilih secara psikologis hal yang normal.

“Identifikasi diri sesama santri bisa. Kita ini memilih orang dekat dulu, orang satu keluarga dulu. Kalau santri, ya keluarga besarnya santri,” jelasnya, Jumat (10/11).

Ujang menambahkan, basis pesantren banyak dari kalangan nahdliyin. Hal ini jadi sebuah keuntungan bagi capres-cawapres berlatarbelakang NU. Begitupun capres-cawapres yang dekat dengan tokoh atau kiai NU, mempunyai peluang dapat suara santri dan nahdliyin pada umumnya.

Pengurus Pesantren Husnul Khatimah, Umar mengatakan pesantrennya memberi pemahaman kepada para santri kriteria pemimpin yang baik, tapi tidak menunjuk salah satu calon. Pesantren itu tetap bersikap netral.

Kriteria presiden dan wapres ideal dilihat dari keimanan, latar belakang, dan rekam jejak ketika memimpin. Berpihak kepada masyarakat atau tidak, serta amanah atau tidak.

“Faktor yang paling menonjol, biasaya dilihat dari kiai dan ulama yang mendukung calon tersebut. Bisa juga dari kesamaan partai yang mendukung pesantren, atau ada hubungan antara kiai dan partai pengusung,” papar Umar, Rabu (15/11).

Meski begitu, ia menjelaskan, dalam memilih, para kiai membebaskan para santri. 

Label Santri
Sejauh ini, tiap pasangan capres-cawapres yakin bisa menguasai suara santri. Karena kedekatan latar belakang mereka maupun kedekatan masing-masing pasangan dengan kiai. Bahkan di ketiga pasang capres-cawapres, keikutsertaan tokoh NU jelas terlihat dari posisi yang berkontestasi, sampai tim pemenangan. 

Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, misalnya, memanfaatkan kedekatan dengan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mendapat suara santri. Hal ini diketahui dari pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Hasto mengatakan, menggalang dukungan bukan karena pemilu, melainkan memang kedekatan antara PDIP dan NU sudah lama. NU yang lahir lebih dulu dianggap PDIP sebagai saudara tua PDIP yang dulu namanya PDI.

“Hubungan kulturalnya berjalan dengan baik dan ini boleh dilihat di lapangan setiap kepala daerah PDIP itu anggota legislatifnya, jajaran DPP-nya membangun komunikasi yang baik,” ujarnya, saat ditemui Validnews, di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Tangerang Selatan, Kamis (9/11).

Hasto optimistas yang diusung partainya bisa menggaet suara warga NU terutama santri. Aspek historis, ideologis, komitmen bagi bangsa dan negara mendukung keyakinan itu. Serta, keberpihakan mendorong kemakmuran rakyat menguatkan hubungan PDIP dan NU, apalagi di tubuh PDIP juga banyak keluarga nahdliyin.

Sementara itu, dari pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) ‘menjual’ latar belakang keduanya yang sesama santri untuk mendapat dukungan santri.

“Kalau melihat realita pasangan ini mewakili dua entitas santri. Entitas santri NU dari tradisional dan entitas dari modern Muhammadiyah,” kata Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), saat ditemui Validnews, di UMJ, Tangerang Selatan, Kamis (9/11).

HNW mengatakan, sosok Cak Imin yang merupakan cucu pendiri NU dan Anies yang sukses saat menjadi Gubernur DKI Jakarta dan cucu pahlawan nasional menguatkan peluang dipilih santri.

Hal sama diutarakan oleh pihak Prabowo-Gibran. Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan, peluang suara santri ke pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat dilihat dari anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Maju banyak yang dari kalangan santri dan pesantren.

“Jadi mereka ini tahu petanya, terutama basis yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena itu tentu yang pertama dilakukan adalah bagaimana memaksimalkan potensi yang ada di internal TKN,” jelasnya, Senin (13/11).

TKN mendatangi para kiai sepuh di pondok pesantren (ponpes) sehingga basis massa yang ada di ponpes, seperti santri tidak lari dukungannya dari Prabowo. Selain itu, dari program dana abadi pesantren yang ditawarkan Prabowo dianggap bisa menarik suara di ponpes.

Kemudian, kegiatan-kegiatan yang dilakukan banyak dilaksanakan di ponpes untuk mendekatkan Prabowo-Gibran di kalangan ponpes diharapkan mampu menarik suara ponpes.

Selain itu, Saleh mengungkapkan, kiai ponpes memiliki pengaruh terhadap masyarakat sekitar di luar ponpes. Oleh sebab itu, dengan memperoleh dukungan kiai diharapkan mampu turut memperoleh suara di masyarakat sekitar ponpes.

“Belum lagi alumni pesantren itu juga banyak tersebar di banyak tempat. Jadi alumni pesantren itu berbaur dengan masyarakat dan itu pasti berpengaruh juga kalau ada alumni pesantren, misalnya, yang jadi kiai, ustaz, tokoh masyarakat, itu semuanya pasti akan berpengaruh,” paparnya.

Cara lainnya adalah dengan menempatkan sosok kiai besar masuk ke dalam TKN, seperti Habib Luthfi bin Yahya sebagai pembina. Mengutip tulisan di laman NU Online, Rabu (15/11), yang dimuat 2009, Habib Luthfi diketahui memiliki tujuh ponpes.

“Itu juga simbol kepada kalangan santri bahwa Prabowo itu sangat dekat dengan tokoh-tokoh sekaliber Habib Luthfi,” ungkap Saleh.

Dia melanjutkan, capres Prabowo menganggap serius kalangan ponpes. Sebab, selama ini selalu menjadi bagian yang menentukan dalam pemenangan.

Dihimpun dari berbagai sumber, sejumlah ulama ponpes dan organisasi mengatasnamakan santri sudah menyatakan dukungan ketiga pasangan capres dan cawapres. Misalnya, sejumlah ulama dan santri di Kabupaten Malang, Jawa Timur, yakni Relawan Prabu Nusantara di Ponpes An Nur II dan Pengasuh Ponpes Mubarok menyatakan dukungannya ke Prabowo.

Kemudian, sejumlah santri dan kiai di Kota Depok menggelar istigasah di Ponpes Assa'adah, Depok, Jawa Barat untuk kemenangan Ganjar. Lalu, Anies mendapat sambutan dari ribuan santri, wali santri, warga, termasuk tokoh agama dan masyarakat di Ponpes Al Badar, Baturaja, Tangerang, Banten, yang menyatakan mendukungya.

Diyakini, penyataan dukungan kian deras ke masing-masing pasangan calon yang berkompetisi. Lalu, seberapa besar keberpihakan santri kepada mereka? Ya, tangga 14 Februari nanti lah penentunya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar