c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

31 Januari 2025

19:00 WIB

Asyik Mendaki Gunung Sambil Memunguti Sampah

Penyebab banyaknya sampah di gunung adalah karena belum semua pendaki sadar bahwa gunung harus dilindungi.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Rikando Somba

<p dir="ltr" id="isPasted">Asyik Mendaki Gunung Sambil Memunguti Sampah</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Asyik Mendaki Gunung Sambil Memunguti Sampah</p>

Ilustrasi pendaki. Shutterstock/Vitalii Matokha

TANGERANG SELATAN - Sudah 10 tahun lamanya I Putu Dharmaning Jayaruchi melakukan hal yang berbeda tiap kali mendaki gunung. Dia pasti akan memunguti sampah-sampah tak bertuan yang terserak di jalur pendakian. Kebiasaan ini dimulainya sejak bergabung dengan Trashbag Community, komunitas kumpulan para pendaki yang memiliki kepedulian dengan kebersihan di gunung.

Humas Trashbag Community ini menjelaskan, komunitas itu memiliki tujuan mengubah perilaku pendaki agar peduli terhadap kebersihan gunung, minimal dengan menjaga sampahnya sendiri ketika mendaki. Untuk mencapainya, salah satu metode yang digunakan adalah aksi operasi bersih (opsih) sampah-sampah di gunung yang dilakukan anggota maupun relawan Trashbag Community yang mencapai 600 orang.

Tiap kali opsih digelar, Dharma maupun rekan-rekannya pasti akan berangkat mendaki dengan membawa kantong sampah dan sarung tangan. Biasanya, bahan makanan juga akan disiapkan untuk bertahan 2-3 hari di gunung.

Opsih yang dilakukan secara tim ini akan menyusuri rute pendakian gunung. Satu tim terdiri dari beberapa orang. Sebagian dari mereka akan berjalan, sambil memetakan letak sampah, hingga puncak gunung. Sebagian lain, hanya sampai di pos-pos yang tersedia.

Saat mencapai puncak gunung, barulah mereka mulai memunguti sampah. Pengambilan sampah memang sengaja tidak dilakukan saat mendaki, agar tidak menjadi beban saat perjalanan menuju puncak. 

Dharma mengaku kesal kalau melihat puntung rokok dibuang sembarangan. Jenis sampah ini terbilang sering ditemuinya di jalur pendakian. Bahkan, pernah pinggangnya sampai sempat sakit karena terlalu sering membungkuk untuk memungut puntung rokok.  

“Kesalnya sudah ampun-ampun. Heran, padahal kecil, bisa dimasukin kantong atau cukup wadah kecil, tapi tetap saja pendaki buang sembarangan,” katanya kepada Validnews saat berbincang di Tangerang Selatan, Banten, Jumat (24/1).

Dia juga cukup sering mendapat sampah berusia sudah lama, tapi tak terurai, yakni botol plastik keluaran tahun 1980-an. Sampah-sampah ini dinamainya sampah dinosaurus. 

Kemudian, ia juga beberapa kali menemukan botol plastik yang masih ada airnya. Botol masih berisi air seperti ini bisa berefek suryakanta (seperti kaca pembesar) yang dapat menyebabkan kebakaran di gunung.

Ada pula kotoran manusia yang dimasukkan ke plastik. Dampak dari kotoran yang tidak dikubur ini membuat lalat berkumpul, sehingga bisa menyebarkan penyakit bagi para pendaki di sekitarnya. Meski baunya menyengat, Dharma tetap rela mengangkutnya ke dalam kantong sampah. Sampah kotoran ini akan diberikan tanda, agar ketika sudah dipilah di bawah gunung dapat dikenali.

Sampah lainnya yang mungkin tak disadari begitu berbahaya adalah sampah organik atau sisa makanan yang tak dikubur. Sampah ini bisa mengundang hewan-hewan liar untuk datang karena baunya. Menurut Dharma, sampah jenis ini juga dapat membuat perilaku hewan berubah. Dari yang tadinya mencari makan di hutan, menjadi terbiasa mencari makan di rute pendakian.

“Kita ngomong soal tikus hutan, babi, monyet terutama. Beberapa gunung yang masih banyak monyetnya, kayak Rinjani, itu mereka sudah berani buka-bukain tenda. Karena mereka tahu di situ ada makanan,” jelas pria yang berprofesi sebagai mekanik pesawat ini.

Temuan lainnya, adalah sampah yang dibuang ke sumber air. Akibatnya, bukan cuma menjengkelkan, tapi juga fatal. Sampai-sampai, ada sungai yang airnya tak bisa lagi diminum karena penuh sampah. Hal ini bisa membuat pendaki atau warga sekitar menempuh jarak yang lebih jauh agar bisa mendapat sumber air bersih.

Edukasi Pendaki
Menariknya, aksi opsih ini tidak jarang mampu memantik perhatian pendaki-pendaki lain. Terbilang banyak pendaki yang tertarik ikutan membersihkan sampah.

Ada juga pendaki yang memang sengaja didatangi Trashbag Community untuk diberikan edukasi secara langsung dan diajak melakukan memungut sampah. Cukup banyak yang tertarik ikut bersih-bersih dan bergabung menjadi anggota Trashbag Community.

Namun, ada saja pengalaman yang sering dialami anggota komunitas ini. Tak jarang, ada pendaki yang cuek saja tetap membuang rokok di gunung dengan bara api masih menyala saat anggota Trashbag Community sedang bersih-bersih. Biasanya, anggota yang melihat akan segera memungut puntung rokok itu, sembari menegur pendaki terkait. 

Pendaki lain juga ada yang sengaja memberikan sampahnya ke Trashbag Community. Pemberian ini akan langsung ditolak. 

“Kita bukan pemulungnya. Nolaknya halus kita. 'Bang, itu kan sampah abang, tanggung jawab abang buat bawa turun',” begitu cerita Dharma.

Opsih sendiri setidaknya dilakukan setiap bulan bergantian di 13 regional Trashbag Community. Selain itu, ada aksi bersih-bersih secara serentak yang dilakukan tiap dua tahun sekali di beberapa gunung di waktu yang sama. Sapu Jagat nama kegiatannya.

Kalau opsih bulanan biasa mampu membersihkan ratusan kilogram (kg) sampah per gunung, Sapu Jagat bisa membersihkan berton-ton sampah. 

Sebagai contoh, pada 2017, aksi Sapu Jagat berhasil mengangkut 3.693,57 kg sampah dari 17 gunung, dengan rincian sebagai berikut. 

- Gunung Talang 301,5 kg
- Gunung Kerinci 145,3 kg
- Gunung Pulosari 324 kg
- Gunung Salak 696 kg
- Gunung Cikuray 272,2 kg
- Gunung Ciremai 88 kg
- Gunung Slamet 625 kg
- Gunung Sindoro 73 kg
- Gunung Merbabu 52,07 kg
- Gunung Lawu 42 kg
- Gunung Welirang 182 kg
- Gunung Penanggungan 67 kg
- Gunung Batur 114 kg
- Gunung Rinjani 146 kg
- Gunung Saran 21 kg
- Gunung Nokilalaki 279,5
- Gunung Bawakaraeng 265 kg

Komposisi dari 3,6 ton sampah ini didominasi sampah plastik dengan jumlah mencapai 36%. Selanjutnya, sampah botol plastik 16%; puntung rokok 6%; kain 8%; kaleng 8%; tisu basah 9%; beling 6%; dan lainnya 11%.

Setiap aksi bersih-bersih, ada saja anggota Trashbag Community yang bisa mengangkut 40 kg sampah. Dharma sendiri bisa mengangkut sampai 20 kg. Berat sampah ini di luar dari peralatan mendaki yang mencapai 12 kg.

Saat ini, potensi sampah yang dihasilkan pendaki diperkirakan Trashbag Community terus meningkat. Pada 2019 saja, Trashbag Community memperkirakan satu pendaki berpotensi menghasilkan 172 gram sampah, atau setara tiga botol air minum dalam kemasan kosong berukuran 1,5 liter.

Kegiatan demi kegiatan yang dilakukan oleh komunitas yang berdiri pada 2011 ini tentu saja memerlukan dana. Beruntung, dana itu masih bisa didapat dari hasil kerja sama dengan kementerian atau lembaga lainnya. Pemasukan lainnya diperoleh dari penjualan merchandise.

Terkadang, kegiatan tertentu juga sengaja mengenakan biaya sebesar Rp10 ribu-Rp20 ribu untuk mereka yang berminat mendaki sambil memunguti sampah. Para pendaki yang rela membayar ini nantinya akan mendapat sarung tangan, kantong plastik, dan pin. Kalau dananya sedang ada, mereka juga bisa mendapat kaus.

Pendaki Srikandi
Komunitas ini juga memiliki agenda opsih khusus perempuan yang dinamakan Srikandi Trashbag Community. Kegiatan ini ingin menunjukkan bahwa perempuan tak kalah dengan laki-laki. Buktinya, di antara pendaki perempuan ini, ada yang mampu mengangkut sampah 15 kg-20 kg seorang diri.

Salah satu wanita kuat itu adalah Perintis sekaligus Green Warrior Trashbag Community, Anita Febrianti, yang mampu menahan beban sampah dari gunung sekantong penuh kantong sampah ukuran 40 x 60 cm sembari membawa peralatan mendakinya.

Tak hanya kuat, Anita membuktikan perempuan tahan terhadap segala jenis sampah di gunung. Contohnya, air kencing pendaki yang dimasukkan ke botol.

"Air kencingnya kita buang, kita tetesin dulu biar lebih ringkas bawaannya. Mau tidak mau itu sudah jadi bagian kegiatan walau kadang kesal. Kadang tahi saja sering kita temukan dalam kresek,” papar ibu rumah tangga ini, Rabu (25/1).

Sama seperti Dharma, ketika mendaki sendirian, Anita juga selalu membawa kantong plastik agar dapat menampung sampah yang ada jalur pendakian.

Anita juga aktif kegiatan Trashbag Community terkait edukasi dan pengawasan. Edukasi ini berhubungan dengan workshop, forum diskusi, kampanye media sosial, dan mengedukasi pendaki di gunung. Untuk pengawasan, Trashbag Community bekerja sama dengan pengelola gunung maupun pihak terkait menjaga agar tak ada sampah dibuang di gunung.

Sebagai perempuan, ia ingin menunjukkan hal yang baik ke masyarakat, terutama para perempuan. Selain itu, ia ingin memberikan contoh bahwa perempuan bisa menjaga gunung. 

“Bisa kok tetap menjaga tempat bermain kita, alam. Biar bisa memberikan warisan yang baik ke anak dan cucu juga, dan bisa turut menjaga air gunung yang memang dibutuhkan,” ujarnya.

Gunung Harus Dilindungi
Sementara itu, Plastics Project Lead Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, memandang penyebab banyaknya pendaki yang membuang sampah di gunung adalah karena tidak semua pendaki sadar mengenai lingkungan. Bahkan, tidak semua pendaki paham dengan standar keselamatan mendaki.

Untuk itu, pola pikir bahwa gunung tak sebatas wisata, tapi juga harus dilindungi, perlu ditanamkan kepada para pendaki. Edukasi menjadi kunci mengubah pola pikir pendaki yang kurang peduli.

“Kalau kita merasa alam harus dijaga, seharusnya tidak buang sampah di situ. Kayak kita melihat lingkungan kita sekitar. Emang kita mau buang sampah di rumah kita? Enggak kan?” katanya, Minggu (26/1).

Selain edukasi, Ibar memberi saran agar tak ada pendaki buang sampah di gunung, setiap pengelola gunung mendata yang dibawa pendaki dan yang berpotensi menjadi sampah.

Saat pendaki itu turun, perlu diperiksa kembali sesuai atau tidaknya dengan jumlah bawaan awal. Jika kurang, bisa diberikan sanksi diminta kembali mendaki mengambil sampahnya atau sanksi administrasi dilarang mendaki lagi atau denda.

Ibar menambahkan, media sosial kini menjadi magnet orang-orang melakukan pendakian. Namun, ia berharap hal ini tak hanya membuat orang minat mendaki, tapi bisa dimanfaatkan juga untuk mengedukasi masyarakat nol sampah di gunung.

Dharma, Anita, dan Ibar memberikan tips bagi para pendaki agar tak mengotori gunung dengan sampah. Pertama, ajaklah rekan mendaki yang mengerti keselamatan dan manajemen sampah. Kemudian, cukup membawa kantong sampah ukuran 30 x 50 cm sebagai wadah sampah makanan maupun barang yang dihasilkan saat mendaki. Lalu, bawalah tumbler atau jerigen untuk air.

Selanjutnya, bawa makanan tidak dengan wadah plastik sekali pakai. Bawalah peralatan mandi secukupnya. Terakhir, yang juga harus diingat adalah, jangan pernah membawa tisu basah karena mengandung bahan kimia yang bisa mencemari tanah.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar