17 September 2024
21:00 WIB
Asal Serius, Kecelakaan Angkutan Umum Bisa Tergerus
Kecelakaan transportasi umum, minim menyasar tangung jawab pemilik angkutan. Aspek legalitas, kelaikan jalan dan aspek kelayakan pengemudi kerap diabaikan sehingga kecelakaan terus berulang.
Penulis: Gisesya Ranggawari, Aldiansyah Nurrahman, Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi. Mobil derek berusaha mengevakuasi bus yang terlibat kecelakaan di Desa Palasari, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Sabtu (11/5/2024). Antara Foto/Raisan Al Farisi
JAKARTA - Kasus kecelakaan lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) yang diinvestigasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) melonjak, selalu di atas 10 kasus sejak 2017. Asal tahu saja, kasus kecelakaan yang ditangani KNKT, bisa dibilang bukanlah kecelakaan biasa.
Ada syarat bagi KNKT melakukan investigasi kecelakaan lalu lintas. Antara lain, minimal ada delapan korban jiwa. Peristiwa tersebut juga mengundang perhatian publik, menimbulkan kontroversi, dan menimbulkan rusak beratnya prasarana.
Selain itu, kecelakaan terjadi berulang pada merek atau tipe kendaraan yang sama dalam setahun. Juga, berulang pada lokasi yang sama dalam setahun, dan mengakibatkan pencemaran lingkungan akibat limbah atau bahan berbahaya yang diangkut.
Syarat tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi. Data KNKT, pada 2015 lembaga itu menginvestigasi 15 kasus, lebih dari dua kali lipat hal yang sama pada tahun sebelumnya, yakni enam kasus. Lalu, pada tahun 2017 dan 2018 kembali naik dengan 16 dan 19 kasus.
Kemudian turun menjadi 13 kasus pada 2020. Namun, kembali naik menjadi 16 pada 2021. Tahun berikutnya (2022) menjadi 15 kasus dan 11 kasus pada 2023.
Kemudian, KNKT melansir rekomendasi dari setiap kasus yang ditujukan pada stakeholder untuk ditindaklanjuti. Tercatat, sejak 2021 hingga semester I 2024, KNKT mengeluarkan 233 rekomendasi terkait kecelakaan angkutan umum darat.
Sebanyak 72 rekomendasi ditujukan kepada operator, 71 untuk regulator yaitu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan kementerian lainnya. Sebanyak, 21 rekomendasi untuk Dinas Perhubungan (Dishub) provinsi dan kabupaten/kota. Lalu, 19 rekomendasi ditujukan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Hingga semester satu 2024, KNKT mencatat baru 50 rekomendasi yang telah dilaksanakan, sebanyak 183 rekomendasi lainnya belum ditanggapi stakeholder terkait. Periode Januari-Juni 2024, KNKT menginvestigasi 5 kecelakaan LLAJ. Mencakup, 2 kecelakaan tunggal bus, 1 tabrakan beruntun yang melibatkan 2 mobil dan 1 bus, serta 2 kecelakaan mobil tangki yang terbakar. Lima kecelakaan itu mengakibatkan 30 korban meninggal dunia dan 51 korban luka-luka.
Sementara itu, berdasarkan data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, secara umum sejak Januari hingga Juli 2024 terdapat 1.070 kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus. Ini mengakibatkan lebih dari 400 korban meninggal dunia, 189 korban luka berat, dan 1.961 korban luka ringan.
Empat Faktor
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan, setidaknya ada empat faktor terjadinya kecelakaan. Pertama, masalah pada sarana angkutan terkait, contohnya rem yang tidak berfungsi dengan baik.
Menurut Deddy, kondisi kendaraan dan kelengkapan administrasi angkutan umumnya diperiksa melalui ramp check. Namun, ramp check rutin hanya dilakukan dinas perhubungan kepada angkutan trayek yang singgah di terminal. Sementara itu, angkutan nontrayek seperti bus pariwisata dan travel tidak mendapatkan rampcheck rutin. Hal ini membuat pemerintah sulit mendeteksi angkutan yang tidak layak jalan atau tidak lengkap izinnya, tapi tetap beroperasi.
Berdasarkan pengamatan Deddy, angkutan nontrayek jenis bus pariwisata, justru merupakan yang paling banyak terlibat kecelakaan. “Kalau tidak ada operasi atau tidak terjadi kecelakaan, kita tidak tahu kalau bus-bus itu ternyata KIR-nya (uji kendaraan bermotor) mati, misalnya,” ujar Deddy melalui telepon kepada Validnews, Jumat (13/9).
Dia melanjutkan, faktor kedua adalah prasarana. Contohnya, kurangnya rambu-rambu jalan dan infrastruktur jalan yang kurang baik seperti jalan bergelombang. Faktor ketiga, penerapan manajemen keselamatan dari perusahaan angkutan atau PO bus.
Contohnya, perawatan kendaraan dan sistem pergantian sopir yang benar. Manajemen keselamatan ini juga perlu dilengkapi kajian untuk memastikan kelayakan dan efektivitasnya. Faktor keempat, sumber daya manusia atau sopir. Sopir yang kurang istirahat disebut Deddy berisiko mengalami kecelakaan. Hal ini sejalan dengan data KNKT yang menyebut faktor penyebab kecelakaan paling dominan adalah pengemudi.
Jika terjadi kecelakaan, kata Deddy, sanksi pidana penjara dan denda biasanya dijatuhkan kepada pengemudi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang- Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 310 ayat 1 tertulis, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang, dipidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp1 juta.
“Sayangnya, UU 22 Tahun 2009 tidak membahas tanggung jawab pengusaha. Dan ini jadi titik lemah, sehingga harus direvisi,” cetus Deddy.
Pengamat transportasi Darmaningtyas memaparkan, kecelakaan angkutan umum berbasis jalan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor infrastrukturatau jalan yang merupakan wilayah Kementerian PUPR. Kedua, faktor alam seperti cuaca dan jalanan becek.
Ketiga, faktor sarana atau kendaraan, misalnya kendaraan tidak layak jalan yang dipaksa beroperasi. Keempat, baru pengemudi, hanya salah satu sebab dari empat sebab yang ada. “Jadi tidak bisa sepenuhnya (kecelakaan) disalahkan kepada pengemudi,” ujar Darmaningtyas kepada Validnews, Selasa (17/9).
Dia menyebutkan salah satu angkutan umum yang sering terlibat kecelakaan adalah bus pariwisata. Hal ini tidak terlepas dari pola kerja para pengemudinya. Rata-rata, kata Darmaningtyas, bus pariwisata dikemudikan oleh satu orang yang menyetir terus- menerus tanpa istirahat.
Kondisi ini membuat pengemudi letih dan berpotensi terjadi kecelakaan. Untuk mengatasi hal ini, dia menilai perlu ada hubungan kerja yang jelas buat pengemudi bus pariwisata.
Jam kerja pengemudi pun harus sesuai dengan amanat Pasal 90 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Salah satunya, pengemudi wajib beristirahat minimal 30 menit setelah mengemudikan kendaraan umum selama empat jam.
Sementara itu, untuk memastikan armada layak jalan, lanjutnya, bus pariwisata harus memiliki izin atau terdaftar. Izin ini mempermudah Dinas Perhubungan melakukan pengawasan terkait kelayakan kendaraan. Kelayakan kendaraan ini lantas dites melalui uji KIR.
“Kalau kendaraannya tidak terdaftar, bagaimana Dinas Perhubungan bisa mendeteksi, oh kendaraanmu belum melakukan uji KIR ya. Jadi, memang syarat pertama dan utama adalah legalisasi kendaraan,” tandas Darmaningtyas.

Kelaikan Kendaraan
Kasus sejumlah bus pariwisata yang terlibat kecelakaan, turut menjadi perhatian Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Menurut keterangan di laman resmi Kemenhub, temuan itu membuat Kemenhub melakukan pengecekan kelaikan bus pariwisata untuk mencegah kecelakaan. Mereka juga mengawasi legalitas bus-bus tersebut.
Salah satu pengawasan bus pariwisata dilakukan akhir Juli lalu di lima titik pool bus ilegal Kota Tangerang, Banten. Hasilnya, dari 30 unit kendaraan yang diperiksa, 20 di antaranya tidak memenuhi aspek administrasi dan perizinan, sembilan bus tidak layak jalan, dan dua bus memiliki dokumen perizinan palsu.
Kendaraan yang tidak memenuhi syarat ini mendapat penindakan. “Perusahaan bus pariwisata membutuhkan persyaratan untuk trayek tetap dan teratur dengan memiliki izin usaha angkutan dan izin trayek,” tegas Dirjen Hubdat Kemenhub Risyapudin Nursin, dalam keterangan resmi, Jumat (2/8).
Selain pengawasan dari pemerintah, menurutnya masyarakat juga perlu mengecek kondisi bus pariwisata yang akan mereka gunakan. Hal ini, sekarang dapat dilakukan secara daring melalui aplikasi MitraDarat. Aplikasi ini mampu menunjukkan apakah bus pariwisata yang akan digunakan berizin dan layak jalan. Hal ini disebut Risyapudin dapat meminimalisir potensi terjadinya kecelakaan.
Tak hanya itu, pencegahan kecelakaan pada bus pariwisata juga dilakukan Polri dengan melakukan ramp check sesuai ketentuan. Ramp check ini dilakukan secara berkala dan insidentil, baik di hulu atau di tengah perjalanan. Polisi bisa bekerja sama dengan Kemenhub.
“Pertama dicek melalui aplikasi, nomor bus ini sudah terdaftar belum, izin kelayakan jalan ada tidak, dicek di situ,” ujar Kasubdit Laka Dit. Gakkum Korlantas Polri, Kombes CF Hotman Sirait, dalam gelar wicara daring yang disiarkan saluran YouTube resmi TV Radio Polri Divisi Humas Polri, Selasa (8/8).
Dia menjelaskan, bus yang tidak memenuhi kelengkapan administrasi dilarang memberangkatkan penumpang. Pihak pengusaha bus diwajibkan mencari bus pengganti untuk menjamin keselamatan penumpang. Senada dengan Risyapudin, Hotman juga meminta masyarakat untuk lebih waspada dalam menyewa bus pariwisata.
“Jangan tertarik dengan harga murah, tapi jaminan untuk aman dan selamat menggunakan bus itu dipertanyakan,” tambah Hotman.
RUNK LLAJ
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, mengurangi angka kecelakaan angkutan berbasis jalan, dapat dilakukan dengan berpedoman pada Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUNK LLAJ).
Ini merupakan dokumen perencanaan keselamatan amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2022. Dokumen ini disusun untuk mengurangi jumlah fatalitas kecelakaan LLAJ. RUNK LLAJ menjadi panduan bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun Rencana Aksi Keselamatan (RAK) LLAJ.
“Kalau dulu RUNK itu hanya tingkat pusat, daerah enggak tahu. Sekarang sampai tingkat kabupaten/kota harus punya RAK,” ujar Djoko kepada Validnews, Kamis (12/9).
Dia menjelaskan, RUNK LLAJ diturunkan menjadi lima pilar program nasional keselamatan LLAJ. Kelima pilar ini melibatkan berbagai kementerian karena upaya mengurangi angka kecelakaan angkutan jalan, perlu kerja sama banyak pihak.
Berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2022, pilar pertama RUNK LLAJ adalah sistem yang berkeselamatan yang merupakan tanggung jawab kementerian bidang perencanaan pembangunan nasional. Pilar kedua merupakan jalan yang berkeselamatan, tanggung jawab kementerian yang mengurus bidang jalan.
Pilar ketiga adalah kendaraan yang berkeselamatan,t anggung jawab kementerian bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan. Pilar keempat pengguna jalan yang berkeselamatan, tanggung jawab Polri. Pilar kelima adalah penanganan koban kecelakaan, tanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Yang penting RUNK itu harus ada yang menjadi komandonya siapa, presiden, wakil presiden, atau menko. RUNK ini yang perlu diperjuangkan pelaku transportasi,” pungkas Djoko.
So, aturan sudah jelas, aparat juga sudah bertugas. Dengan langkah yang terlihat serius, harusnya kecelakaan angkutan umum sudah bisa digerus bukan?