05 September 2023
20:43 WIB
JAKARTA – Jelang setahun terbit, implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 yang diundangkan 13 September 2022, masih sulit diwujudkan. Padahal, lingkup dari Inpres itu hanya kendaraan dinas pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Inpres itu mengamanatkan, penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/bev) sebagai kendaraan dinas operasional dan/atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Jika mengacu data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total kendaraan dinas pemerintah pada 2022 mencapai 189.803 unit.
Namun terhadap Inpres itu, ada sejumlah suara dari kepala instansi yang bersikap menentang. Ini jelas berdampak pada realisasi dari Inpres itu.
Seperti kebijakan Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming. Dia menghapus anggaran mobil listrik untuk Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta di 2022.
Alasannya, anggaran yang diperlukan untuk membeli satu mobil listrik tembus Rp800 juta. Dia menganggap dana itu bisa digunakan untuk membangun pasar dan taman cerdas, dibanding beli mobil listrik.
Hingga 2023, Gibran masih belum ingin membeli mobil listrik dinas. Lagi-lagi masalahnya anggaran. Walau begitu, kali ini Pemerintah Surakarta membeli sepeda motor listrik untuk para lurah dan camat.
Surakarta tidak sendiri, tak sedikit daerah yang belum juga mengimplementasikan Inpres Nomor 7 Tahun 2022 itu. Manajer Komunikasi dan Informasi Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Devy Munir menyampaikan, masalahnya sama, karena anggaran. Baik, anggaran pengadaan kendaraan listrik maupun infrastruktur.
“Mungkin kota besar yang bisa langsung melaksanakan karena memiliki anggaran,” jelasnya, Senin (4/9).
Meski begitu, dia mengatakan, Apeksi mendukung Inpres tersebut, hanya saja pelaksanaannya diserahkan ke daerah masing-masing.
Di sisi lain, meski tak seberapa moncer terserap di pemerintahan, data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat bahwa penjualan mobil listrik di Indonesia mencapai 15.437 unit sepanjang 2022. Jumlahnya melesat 383,46% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 3.193 unit.
Infrastruktur
Terhadap amanat Inpres, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi menyoroti ketidaksiapan daerah. Dia mengatakan, baru ada tiga pemerintah provinsi yang memiliki dasar hukum sebagai turunan Inpres 7 Tahun 2022. Ketiganya adalah Sumatra Selatan, Jawa Timur dan Bali.
Ketiga daerah, giat membangun infrastruktur untuk mendukung kendaraan listrik. Sejumlah daerah, lanjut dia, tetap menyediakan infrastruktur, bahkan tergolong siap untuk infrastruktur kendaraan listrik dinas.
Dia mengungkapkan, yang menjadi salah satu ukuran infrastruktur dikatakan siap adalah tersedianya infrastruktur stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) di setiap 5 kilometer (km) untuk area padat penduduk. Daerah yang mampu menyediakan ini adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta dan Bali.
Untuk daerah yang belum siap infrastrukturnya, perlu didorong, mulai dari peraturan kepala daerah menyediakan anggaran. Minimal, dalam satu daerah anggaran untuk membangun. Menurut hitungan, dalam satu daerah bisa sampai 200 SPBKLU.
“Secara perhitungan sederhana, setiap pemda dapat membangun atau memasang 200 unit BSS (battery swap station/SPBKLU) dengan spek 120 kotak per BSS dikali Rp100 juta per BSS,” jelas Yudo saat berbincang dengan Validnews, Jumat (1/9).
Kementerian ESDM, diakuinya, terus mendorong agar kendaraan listrik ini bisa diimplementasikan. Salah satunya dengan meluncurkan program konversi gratis untuk 350 unit sepeda motor konversi milik kementerian/lembaga (K/L) dan pemda di 2023.
Hal ini menjadi pemantik untuk perubahan kendaraan dinas operasional milik instansi pusat dan daerah menjadi kendaraan listrik.
Pada Inpres 7 Tahun 2022 menyebutkan, untuk kendaraan listrik pemda, pengadaannya dapat melalui skema pembelian, sewa, dan/atau konversi.
Selain itu, untuk mendukung Inpres, Kementerian ESDM telah menerbitkan Permen ESDM Nomor 3 tahun 2023 tentang Pedoman Umum Bantuan Pemerintah dalam Program Konversi Sepeda Motor dengan Penggerak Motor Bakar menjadi Sepeda Motor Listrik Berbasis Baterai, beserta aturan petunjuk teknisnya lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2023.
“Pemberian kemudahan dan kepastian bagi badan usaha untuk membangun SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) dan SPBKLU juga telah dilakukan, melalui penerbitan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai,” ujar Yudo.
Hingga Juli 2023, secara total telah dibangun 842 unit charging SPKLU di 488 lokasi publik dan 1.346 SPBKLU.
Di pihak lain, Sekjen Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) Hanggoro Ananta Khrisna mengatakan sasaran Inpres Nomor 7 Tahun 2022 untuk pemerintah sudah tepat.
Sebab percepatan kendaraan listrik dimulai dari pemerintah dahulu, dibandingkan masyarakat umum. Inpres juga sebagai salah satu langkah membuat masyarakat tertarik menggunakan kendaraan listrik karena sudah digunakan dinas.
“Tapi kalau kami melihat juga di perjalanan waktu ini memang kurang banyaknya K/L pemerintah, baik di pusat maupun di daerah yang menggunakan ini,” jelasnya, Sabtu (2/9).
Dia tak menafikan, infrastruktur pastilah menjadi hal yang dipertimbangkan siapapun penggunanya, termasuk pemda. Opsi yang bisa dipilih pemda jika anggaran dan infrastruktur terbatas, bisa mengadakan motor listrik dahulu dibandingkan mobil listrik.
Sebab motor listrik untuk pengisian dayanya sama dengan ponsel. Hanya tinggal dicolok. Di rumah sekali pun bisa.
Walau begitu, Hanggoro menyarankan, agar SPKLU terus dibangun. Tujuannya, agar pemda yang mempunyai mobilitas tinggi bisa lebih leluasa pergerakannya. Masyarakat umum pengguna kendaraan listrik juga bisa dipermudah untuk pengisiannya.
“Usul, pemerintah untuk mewajibkan di kantor pemerintah pusat, daerah sampai tingkat kecamatan, kelurahan, pasar, puskesmas kalau bisa charging station,” ujar dia.

Ketersediaan Anggaran
Ada hal lain selain infrastruktur, yang tak boleh dilupakan. Ya, bicara pengadaan juga bicara anggaran. Hingga kini, kendaraan listrik terbilang mahal. Untuk itu, ini menjadi tugas bersama, termasuk dengan industri agar bisa menurunkan harga kendaraan listrik.
Dia mengungkapkan, ada beberapa komponen-komponen utama kendaraan listrik yang masih belum bisa sediakan Indonesia.
“Misalkan baterai, kita belum bisa sediakan, di mana baterai itu hampir 50% menyumbang harga dari kendaraan listrik. Mungkin dari kepala daerah itu melihat lebih realistis, karena mahal kita pakai kendaraan bensin dulu. Karena nanti dia dihadapkan untuk kebutuhan masyarakat yang lain,” ucap Hanggoro.
Jika akhirnya pemda ingin membeli kendaraan, dia menyarankan, beli dengan spesifikasi sesuai kebutuhan agar. Dengan demikian, anggaran tidak dikeluarkan cuma-cuma.
Soal harga, pemerintah bukannya bergeming. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2023 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024 Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2024 berfungsi sebagai batas tertinggi atau estimasi kendaraan listrik.
Dalam PMK itu, ditetapkan anggaran kendaraan listrik pejabat Eselon I sebesar Rp966 juta per unit dan Rp746 juta per unit untuk Eselon II. Biaya tersebut belum termasuk biaya pengiriman dan instalasi daya.
Dianggarkan juga biaya pengadaan motor listrik sebesar Rp28 juta per unit. Khusus untuk kendaraan listrik operasional kantor Rp430 juta per unit.
Untuk aspek-aspek lain, Hanggoro menyarankan evaluasi secara menyeluruh. Lalu data temuan itu dibandingkan dengan peta jalan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2022 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Belakangan, sejumlah daerah bergeliat terhadap amanat Inpres. , Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengungkapkan, beberapa daerah sudah membuat Rencana Aksi Daerah untuk kendaraan listrik. Di antaranya adalah Bali. Bali bahkan sudah juga membuat perdanya.
Maka dari itu, pengadaan kendaraan kendaraan listrik Bali direncanakan dilakukan tahun depan. Tak hanya untuk dinas, tapi juga kendaraan umum.
Djoko berpandangan, kendaraan listrik untuk dinas sebaiknya baru diadakan setelah kendaraan berbahan bakar minyak yang dipakai selama ini rusak. Sebab bila kendaraan dinas tetap diadakan, akan menyakiti hati rakyat. Prioritas pemda bisa menjadi pertanyaan besar.
Yang harusnya jadi prioritas adalah kendaraan listrik untuk umum, ketimbang membeli kendaraan dinas. Beralihnya transportasi umum ke tenaga listrik, jelas berdampak terhadap pengurangan polusi. “Ini kesempatan kita, untuk membenahi angkutan umum di daerah menggunakan kendaraan listrik,” sergahnya, Kamis (31/9).
Djoko turut menyinggung anggaran insentif kendaraan listrik yang mencapai Rp12,3 triliun. Dia menyayangkan dana sebesar itu digunakan untuk belanja kendaraan listrik dari luar negeri. Di kacamatanya, dana di bawah Kementerian Perindustrian (Kemenperind) tersebut, bisa digunakan untuk mengembangkan industri otomotif dalam negeri.
Begitu industri dalam negeri berkembang, belanja kendaraan listrik dilakukan di dalam negeri. Harganya juga akan menjadi lebih murah.
Industri Sulit Terwujud
Dia mengakui, selayaknya Indonesia punya industri mobil listrik sendiri mengingat pasar dalam negeri besar. Akan tetapi, dia juga mengamini, hal itu terbilang sulit. Dia mencermati, ada permainan mafia otomotif.
Djoko pun mempertanyakan pemda yang rela merogoh kocek sekitar 800 juta rupiah untuk membeli mobil listrik dari luar, seperti Hyundai Ioniq 5.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu turut mencermati implementasi Inpres kendaraan listrik. Daerah punya sejumlah kendala, seperti diulas di atas.
Tak hanya itu. Di pemerintah pusat pun belum ada alokasi anggaran khusus dari Kemenkeu. Untuk itu, Yannes menyarankan, anggaran khusus kepada pemda perlu diberikan untuk mendukung implementasi kendaraan listrik dinas.
Anggaran khusus bisa menjadi langkah yang baik dan strategis, terutama jika pemerintah pusat memiliki komitmen untuk mendorong transisi menuju kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Hal yang diamatinya, banyak pemda masih ragu menggunakannya, karena masalah kepastian mobilitas yang terbatas akibat masih sangat kurangnya infrastruktur SPKLU.
“Jumlah SPKLU yang dibutuhkan untuk mendukung kendaraan listrik dinas akan sangat tergantung pada beberapa faktor, termasuk lokasi geografis, kebijakan pemerintah, dan kebutuhan spesifik setiap kendaraan,” jelas Yannes, Sabtu (2/9).
Dia mengungkapkan, harga satu SPKLU sekitar Rp300-Rp600 juta. Untuk itu perlu investasi besar. Apalagi tidak cukup hanya satu SPKLU dalam satu daerah untuk keperluan dinas.
Teknologi SPKLU turut memengaruhi harga. Semakin canggih SPKLU, maka semakin mahal. Teknologi itu dari pengisian daya lambat, pengisian daya lambat-medium, pengisian daya medium, pengisian daya cepat, dan pengisian daya sangat cepat.
Mengutip Indonesia Baik, Selasa (5/9), per 18 April 2023, jumlah SPKLU dengan teknologi pengisian daya sangat cepat sebanyak 32 unit. Sebanyak 91 SPKLU yang telah dibangun menggunakan teknologi pengisian daya cepat.
Kemudian, jumlah SPKLU yang menggunakan teknologi pengisian daya medium sebanyak 267 unit. SPKLU dengan teknologi pengisian daya lambat-medium dan pengisian daya lambat masing-masing sebanyak 162 unit dan 290 unit.
Kesemua SPKLU itu dominan ada di pulau Jawa.
Sebatas Imbauan
Selain persoalan di atas, Yannes mengamati soal aturan konversi yang setara antara besaran CC kendaraan internal combustion engine (ICE) konvensional dan besaran daya kendaraan listrik yang ada saat ini di pasar Indonesia, belum ada.
Sementara itu, perbandingan harga kendaraan listrik terlalu jauh dengan kelas kendaraan ICE konvensional. Ini terang membuat sebagian pemda bingung untuk mengonversikan ICE ke kendaraan listrik sesuai dengan peruntukan dan desain bodi kendaraan.
Hambatan terakhir, Inpres masih berupa imbauan tampaknya, tidak menjadi kewajiban sehingga belum menjadi perhatian serius masing-masing pemda.
Pada intinya, menurut Yannes, implementasi di daerah sangat bergantung kepada komitmen dan keseriusan kepala daerah. Juga bergantung kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing wilayah yang begitu lebar perbedaanya.
“Dan masih banyak permasalahan administratif lainnya, di samping masih terbatasnya varian BeV, yang setara dengan jenis kendaraan yang biasa daerah beli sesuai dengan klasifikasi jabatan di masing-masing pemda,” ungkapnya.
Belum lagi, harus diakui ada imbas persoalan otonomi daerah, yang berbasis pimpinan daerah terhadap pelaksanaan beleid itu. Jika beda partai, beda kepentingan dan beda cara pandang mengenai kendaraan listrik, biasanya berbeda.