04 Juli 2024
17:53 WIB
AMSI Minta Revisi UU Penyiaran Tidak Mengatur Pers
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) meminta pemerintah periode saat ini dan periode mendatang untuk berkomitmen menjaga dan memelihara kebebasan pers
Penulis: James Fernando
AMSI gelar diskusi ‘RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia’ di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Validnews/James Manullang
JAKARTA - Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) meminta pembahasan Revisi Undang-undang Penyiaran di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyinggung jurnalisme dan bersinggungan dengan UU Pers.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhayatmika, usai diskusi bertajuk ‘RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia’ di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/7). Diskusi ini disponsori oleh PLN, BNI, Mandiri, ASDP Indonesia Ferry, Harita Nickel, Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, Eiger dan Kino.
Wahyu menyatakan, sejumlah poin dalam pembahasan RUU Penyiaran memerlukan kajian lebih lanjut, utamanya poin yang terkait dengan kegiatan jurnalisme dan UU Pers. “Silakan mau revisi Undang-undang Penyiaran, tapi jangan mengatur pers,” kata Wahyu.
Wahyu pun meminta pemerintah saat ini maupun periode mendatang berkomitmen menjaga dan memelihara kebebasan pers.
Perlindungan kebebasan pers diamatinya sudah tergolong kuat. Karena itu, pembahasan revisi UU Penyiaran sejatinya tidak perlu bersinggungan dengan kegiatan jurnalisme. Khawatirnya bisa mengganggu perkembangan media di Indonesia.
“Sekarang begitu, presiden pelaksana UU, jadi kalau memang ada upaya mengubah UU Pers di situ kita wajar merasa khawatir, kalau tidak ada upaya itu kita yakin media kita akan terus berkembang,” kata Wahyu.
Saat ini, AMSI lewat Perpres Publisher Rights dan peraturan lainnya, tengah berupaya agar bisnis media siber bisa berkesinambungan dengan konten media jurnalistik yang berkualitas. “Karena itu, jangan masuk UU Pers jurnalisme, silakan untuk penguatan lembaga KPI,” lanjut Wahyu.
Poin Kontroversi
Chief Content Officer Kapan Lagi Youniverse Wenseslaus Manggut menambahkan, RUU Penyiaran sepatutnya kembali pada filosofi dari revisi itu sendiri, yakni level of playing field atau asas kesamaan antara televisi, platform, hingga publisher.
“Level of playing field yang sama adalah apakah regulasi yang general itu berlaku untuk semua. Apakah regulasi periklanan itu mengikat publisher, teman- teman televisi, juga mengikat teman-teman platform,” tambah Wens.
Karena itu, dia menyarankan, sejumlah poin yang dianggap kontroversi dalam pembahasan revisi beleid ini sebaiknya dihapus saja. Dengan begitu, peraturan yang akan dilahirkan oleh DPR kelak tidak merugikan banyak pihak.
“Jadi yang bagus menurut saya, sekian banyak poin yang menjadi kontroversi di revisi itu dikeluarkan saja, diatur sebagaimana sejumlah negara lain mengaturnya. Dalam regulasi platform,” imbuh Wens.
Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana turut menanggapi kontroversi pembahasan revisi UU Penyiaran, utamanya soal kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Menurutnya, jika KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik, maka setiap keputusannya akan berpotensi disusupi kepentingan politik. Sebab, KPI merupakan bagian dari produk politik. Para pemimpin KPI dipilih oleh DPR.
"KPI itu dipilih oleh DPR, hasil dari produk politik, Dewan Pers bukan produk politik, ketika ukurannya itu dikasih kepada KPI, maka akan jadi rezim political control," tutur Yadi.
Dia khawatir kemerdekaan pers di Indonesia akan terancam apabila setiap sengketa jurnalistik diselesaikan dengan cara yang salah, apalagi politis dan represif.
"Rezim pers kita itu rezim etik, bukan rezim menghukum, mencabut, bukan itu. Kalau seandainya itu dilakukan, selesai. Tidak akan ada lagi kemerdekaan pers," lanjut Yadi.
Selain itu, Yadi menyoroti pasal larangan tayangan jurnalistik investigasi dalam RUU Penyiaran. Hal itu tentu tidak dalam semangat melindungi eksistensi media mainstream. Bahkan, bisa mengancam soal kebebasan pers.
“Kalau kemerdekaan pers yang bisa diatur-atur di situ, bukan persoalan tanggung jawab. Artinya, selama menyentuh itu pastikan akan menimbulkan reaksi yang besar dari publik karena kan kemerdekaan pers,” tutupnya.