24 Februari 2025
13:58 WIB
Aliansi BEM NKRI Desak Pengusutan Kasus Penambahan Reses DPD RI
Sejak 2019, DPR RI hanya melaksanakan satu kali reses dalam periode Oktober hingga Desember. Tetapi, di DPD RI reses tahun 2024 dilaksanakan dua kali dalam periode yang sama
Aliansi BEM NKRI geruduk KPK, desak pengusutan kasus penambahan reses DPD RI. dok. BEM NKRI
JAKARTA – Aliansi BEM NKRI menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (24/2/2025) pukul 10.00 WIB. Aksi ini dilakukan untuk mendesak KPK segera mengusut dugaan penyalahgunaan keuangan negara oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, terkait penambahan jumlah reses pada tahun 2024, yang diduga melanggar aturan dan berpotensi merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah.
Dalam pernyataan tertulisnya, Komite Aksi Aliansi BEM NKRI menegaskan, keputusan Pimpinan DPD RI untuk mengadakan dua kali reses dalam periode Oktober hingga Desember 2024 bertentangan dengan aturan yang berlaku. Mereka menyoroti, pelanggaran ini tidak hanya merupakan penyimpangan prosedural, tetapi juga bertentangan dengan tiga undang-undang, yakni UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Kevin Simamora, Koordinator Lapangan yang juga merupakan Presiden Mahasiswa Universitas Jayabaya menegaskan, keputusan tersebut bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga berpotensi memperkaya diri atau kelompok tertentu.
Hal ini terjadi karena anggaran reses yang bernilai puluhan miliar rupiah telah dicairkan dan diterima oleh anggota DPD RI, meskipun secara aturan mereka hanya berhak atas satu kali reses dalam periode tersebut.
"Kami sudah menelusuri pola reses DPR dan DPD dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2019, DPR RI hanya melaksanakan satu kali reses dalam periode Oktober hingga Desember. Tetapi yang terjadi di DPD RI pada tahun 2024 ini justru anomali. Mereka melaksanakan dua kali reses dalam periode yang sama, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini jelas bukan kesalahan teknis, tetapi ada unsur kesengajaan yang berpotensi merugikan keuangan negara," ucap Kevin.
Lebih lanjut, Kevin memastikan, Aliansi BEM NKRI telah menyerahkan bukti-bukti terkait kepada KPK dalam aksi mereka. Bukti tersebut, menurutnya, akan memperkuat dugaan bahwa pimpinan DPD RI telah menyalahgunakan anggaran dengan mengadakan reses tambahan yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
"Kami tidak datang hanya untuk berorasi atau sekadar protes. Kami telah menyerahkan bukti-bukti, reses DPD dilakukan dua kali dalam periode yang sama, berbeda dengan DPR RI yang hanya satu kali. Ini bukan sekadar opini, tetapi ada fakta konkret yang bisa diverifikasi oleh KPK," ujar Kevin.
Dalam aksi ini, Aliansi BEM NKRI mendesak KPK untuk segera menindaklanjuti laporan dugaan korupsi dalam penambahan reses DPD RI, mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan keuangan negara, serta memastikan, dana reses tambahan yang telah dicairkan bisa dikembalikan kepada negara.
Mereka juga menuntut KPK agar lebih aktif dalam menegakkan prinsip keadilan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, terutama dalam pengawasan terhadap lembaga legislatif. Kevin menambahkan, aksi ini bukan hanya tentang protes terhadap DPD RI, tetapi juga sebagai bentuk tekanan moral bagi KPK agar segera bertindak tegas terhadap praktik-praktik penyalahgunaan anggaran yang semakin marak terjadi.
"Kami ingin memastikan bahwa KPK tidak hanya diam menghadapi skandal seperti ini. Jangan sampai uang rakyat terus dikorupsi tanpa ada tindakan hukum yang nyata. Ini bukan sekadar soal prosedur administrasi, tetapi sudah masuk ke ranah tindak pidana korupsi. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk di masa mendatang," ujarnya.
Aksi ini juga mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Salah satu tokoh yang turut mendukung aksi ini adalah Bona Paputungan, seorang seniman yang dikenal melalui lagu-lagu bertema antikorupsi. Kevin mengungkapkan, Bona hadir dalam aksi ini untuk menyanyikan beberapa lagu bertemakan pemberantasan korupsi sebagai bentuk dukungannya terhadap perjuangan mahasiswa dalam mengawal transparansi keuangan negara.
"Bung Bona membakar semangat mahasiswa dan seluruh peserta aksi dengan lagu-lagunya yang selalu membawa pesan kuat tentang pentingnya melawan korupsi. Kami percaya seni juga bisa menjadi alat perjuangan dalam membangkitkan kesadaran publik," kata Kevin.
Aliansi BEM NKRI menegaskan, mereka akan terus mengawal kasus ini hingga KPK bertindak dan keadilan benar-benar ditegakkan. Mereka berharap aksi ini menjadi momentum untuk mendorong perubahan dalam tata kelola keuangan negara yang lebih transparan dan berintegritas.
Aksi yang melibatkan sekitar 50 peserta ini dikatakannya telah melalui proses pemberitahuan resmi kepada pihak kepolisian. Jumat (21/2/25), Aliansi BEM NKRI telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto, sebagai bagian dari komitmen mereka untuk menjalankan aksi secara damai dan tertib.
Pelanggaran Prinsip
Sebelumnya, Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mengkritik keras kebijakan penambahan jumlah reses di DPD RI pada rentang bulan Oktober hingga Desember 2025, dari seharusnya satu kali, menjadi dua kali. Menurutnya, menambah jumlah reses dari empat kali menjadi lima kali pada tahun persidangan terakhir, dianggap tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dapat berujung pada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara.
Sebab, kata Hardjuno, masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR. Sedangkan di rentang Oktober hingga Desember 2025, DPR hanya satu kali reses. “Saya kira, selain melanggar UU MD3, penambahan reses ini tentu akan memberikan tekanan yang berat kepada APBN kita. Ini mencerminkan para pembuat kebijakan di DPD tidak memiliki sense of crisis,” kata Hardjuno di Jakarta, Kamis (15/1).
Ia pun menegaskan, uang pajak rakyat yang dipakai untuk membiayai penambahan reses anggota DPD RI ini sangat besar. Bahkan angkanya mencapai miliaran rupiah.
“Kita tahu uang reses yang diberikan secara lumsum kepada anggota DPR dan DPD cukup besar. Kalau tidak salah setiap orang menerima lebih kurang Rp350 juta sekali reses. Sedangkan jumlah anggota DPD sekarang 152 orang. Jadi dikalikan saja, berapa uang APBN yang terkuras untuk penambahan reses DPD RI ini,” tegas Hardjuno.
Senada, Indonesian Corrupt Workflow Investigation (ICWI), meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan pelanggaran yang terjadi. Menurut ICWI, penambahan jumlah reses yang tidak sesuai aturan berimplikasi pada penggunaan anggaran negara yang tidak semestinya, terutama di tengah kondisi fiskal negara yang defisit.
Awalnya saya membaca berita yang disampaikan mantan anggota DPD RI asal Aceh Fachrul Razy, yang mengungkapkan, sekaligus mengingatkan pimpinan DPD baru, lantaran menambahkan jumlah reses melampaui jumlah reses DPR. Ada beberapa Undang-Undang yang patut diduga dilanggar,” kata pendiri ICWI Tommy Diansyah, di kantor KPK RI, Senin, (13/1).
Ditambahkan Tommy, beberapa UU yang patut diduga dilanggar adalah UU MD3 yang mengatur, masa reses DPD harus mengikuti masa reses DPR. Juga UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di Pasal 3 Ayat (3), yang menyebutkan, Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pegeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
Tommy juga menyinggung UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, di mana ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (1) bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
"Dan perlu diingat, korupsi itu kaidahnya luas, termasuk perilaku tidak mematuhi prinsip. Karena itu di dalam pemberantasan korupsi, selain menyangkut delik-delik, juga menyangkut kaidah-kaidah dalam penyelenggaraan keuangan negara,” imbuhnya.