c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

26 April 2025

17:55 WIB

Aksi (Tak) Kecil Hadang Investasi

Premanisme dikeluhkan masyarakat, pelaku usaha, bahkan investor luar negeri yang berujung pada kerugian banyak pihak, termasuk negara.

Penulis: Gisesya Ranggawari, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Aksi (Tak) Kecil Hadang Investasi</p>
<p id="isPasted">Aksi (Tak) Kecil Hadang Investasi</p>

Ilustrasi sejumlah pelaku premanisme yang ditangkap aparat Polri karena melakukan pungli. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha .

JAKARTA - Saat berkunjung ke Shenzen memenuhi undangan Pemerintah China baru-baru ini, Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno menerima keluhan dari investor setempat. Mereka mengeluhkan  aksi premanisme yang mengganggu perusahaan mobil listrik asal China, BYD (Built Your Dream) di kawasan Subang Smartpolitan, Jawa Barat.

Padahal, diperkirakan BYD menggelontorkan investasitak sedikit. Nominalnya hingga Rp11,7 triliun untuk memulai operasional pada 2026. Investasi ini bukan hanya bisa membuka ribuan lapangan kerja baru, tetapi juga meningkatkan transfer teknologi dan keahlian di bidang manufaktur EV. Dengan demikian, investasi ini akan mendorong pertumbuhan industri pendukung di sektor EV. Bahkan, membuka peluang baru bagi perusahaan lokal untuk terlibat dalam rantai pasokan global EV.

“Pemerintah perlu tegas menangani masalah ini. Jangan sampai investor datang ke Indonesia dan merasa tidak mendapatkan jaminan keamanan, hal paling mendasar bagi investasi,” imbuh Eddy dalam unggahan di akun Instagram miliknya.

Bisa diperkirakan, bukan? Apa jadinya jika investasi ini urung dilakukan lantaran gangguan itu?

Apa yang dikemukakan Eddy diamini Ketua MPR, Ahmad Muzani di kesempatan berbeda. Dia menegaskan, tindakan premanisme oleh ormas, harus segera diselesaikan karena dapat mengganggu iklim investasi.

“Investasi merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Sehingga, iklim investasi harus terus dijaga, baik melalui peraturan maupun daya dukung yang memadai,” kata Ahmad Muzani di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/4).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani mewakili kalangan pelaku usaha mengatakan, aksi premanisme di Indonesia terhadap proyek investasi bukanlah hal baru.

“Sedangkan, investor butuh iklim usaha yang kondusif. Keamanan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi investasi,” kata Shinta di Kantor Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Jakarta, Rabu (23/4).

Senada, Deputi Promosi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan menilai aksi premanisme seperti pungutan liar bisa membuat ketidaknyamanan investor. Padahal, pemerintah sudah susah payah untuk menggaet investor dan bersaing dengan negara lain.

“Mereka yang memberi kontribusi pada mahalnya biaya ekonomi dan investasi di Indonesia, sekaligus menyengsarakan para pencari kerja untuk mendapat pekerjaan,” papar Nurul.

Direktur Wilayah V Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Ady Soegiharto punya pendapat berbeda. Premanisme menurut dia tidak terlalu berdampak signifikan terhadap rencana investasi asing baru di Tanah Air.

Menurutnya, belum ada kasus calon investor meninjau ulang rencana mereka untuk investasi di Indonesia karena premanisme. Dalam catatannya, sejauh ini premanisme banyak terjadi kepada perusahaan eksisting yang ada di Tanah Air. Pelaku usaha di tanah air lah yang menjadi objek premanisme.

“Banyak keluhan akan premanisme. Tapi, proses produksi tetap berjalan dan kasus yang ada cepat ditangani aparat,” kata Ady kepada Validnews, Kamis (24/4) di Jakarta.

Dari sisi skor Business Ready (B-Ready) pun, pungli dan premanisme diklaim tidak memengaruhi minat investasi. Premanisme tidak masuk menjadi indikator penilaian kemudahan berbisnis di Indonesia dalam penilaian B-Ready.

“Penilaian skor indeks lebih pada isu tenaga kerja. Premanisme enggak terlalu signifikan,” ucap Ady.

Sebelumnya, pada September 2024, Bank Dunia meluncurkan laporan Business Ready (B-Ready), indikator yang mengukur kemudahan berbisnis di berbagai negara. Laporan ini menggantikan Ease of Doing Business (EoDB) lantaran bermasalah pada data serta hasil. Juga dinilai tidak signifikan berdampak pada arus investasi ke sebuah negara.

B-Ready diklaim lebih terpercaya dan komprehensif. Fokus pada bisnis dan iklim investasi di 60 negara, dengan cakupan yang lebih luas dan aspek-aspek peraturan yang lebih transparan.

Laporan B-Ready dapat menjadi pertimbangan penting bagi investor karena mencakup tiga kerangka utama sebagai kebutuhan dasar dalam bisnis dan investasi, yakni kerangka regulasi dan pelayanan publik, serta efisiensi operasional. 

Ada pula sepuluh lingkup pilar yang menjadi variabel analisisnya, yakni business entry, lokasi usaha, jasa pendukung, tenaga kerja, jasa keuangan, perdagangan internasional, perpajakan, penyelesaian sengketa, kompetitif, dan kepailitan.

Meski tak masuk indikator, Ady mengakui premanisme ini membingungkan para investor asing. Pasalnya, kebiasaan ini jarang ditemui di negara-negara lain.

Modus yang kerap dipakai, pungutan liar sebagai jasa keamanan, minta tunjangan hari raya (THR), serta menitipkan kerabat mereka sebagai pekerja meski tak punya kemampuan mumpuni.

Namun, Ady menilai investor pun mesti mulai memahami yang menjadi kebiasaan itu. Mereka perlu mencoba membenahi dari sisi komunikasi dan memahami kearifan lokal.

Ekonomi Jadi Berat
Lalu, apa yang terjadi sebenarnya?

Peneliti senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan menilai, ada perbaikan kurun 10 tahun ini kan proses investasi di Tanah Air. Misalnya, perbaikan dari sisi pengurusan izin sampai durasi perizinan meski proses perbaikannya berjalan lambat. Kemudian, lanjut Deni, kemudahan perizinan mendirikan badan usaha tidak dibarengi dengan pendaftaran secara resmi yang berkaitan dengan pajak usaha dan sebagainya.

“Juga premanisme yang membuat ekonomi jadi berat,” kata Deni kepada Validnews, Jumat (27/4) di Jakarta.

Ironisnya, Deni memandang pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat dan UMKM. Lantaran, menurut dia, perusahaan besar tidak akan terlalu terpengaruh karena memiliki jasa keamanan dan beking keamanan kuat.

Banyaknya pungli dan premanisme ini pun dinilai Deni akan meningkatkan high cost economy. Ada beberapa kasus di dunia usaha yang terpaksa tutup karena cost-nya habis untuk pungli-pungli para oknum.

Pada saat cost economy meningkat, imbasnya harga jualnya lebih besar. Kalau harga jual lebih besar, maka tidak bisa bersaing dan pada akhirnya ditinggalkan oleh konsumen.

Deni menantikan keseriusan pemerintah untuk memberantas kebiasaan pungli dan premanisme ini. Yakni, dari sisi peraturan dan penegakan hukum. 

Menurut Deni, political will pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih kurang. Dia khawatir, jika premanisme ini dibiarkan tanpa aturan dan penegakan hukum yang tegas, hanya akan menurunkan lapangan pekerjaan dan daya beli masyarakat.

Rekomendasi Berulang
Ketua Ombudsman, Mokhammad Najih menyatakan, premanisme juga bukan hal baru. Komisinya, kerap menerima keluhan ini. Dia juga mengaku sudah menyampaikan rekomendasi berulang ke kepolisian dan kementerian terkait akan maraknya premanisme di dunia usaha.

Pelaku usaha mengeluhkan, izin usaha yang mereka punya seperti tak kekuatan karena selalu diganggu dengan aksi premanisme, baik yang dilakukan sipil maupun aparat. Padahal, implikasi dari pemberian izin tersebut adalah kepastian keamanan dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah.

“Setiap izin yang diterbitkan sudah berkaitan dengan banyak hal, termasuk izin lingkungan dan komunikasi dengan masyarakat sekitar. Seharusnya, premanisme tidak akan ada,” ujar Najih kepada Validnews, di Jakarta, Jumat (27/4) .

Dari pengaduan yang ada, Najih mencatat seringnya disebabkan pola hubungan antara dunia industri dan masyarakat yang kurang klop. Misalnya, corporate social responsibility (CSR) yang belum sesuai sasaran dan sampai ke masyarakat. Ujungnya, hanya berakhir pada kelompok tertentu dan bukan merupakan kelompok masyarakat terdekat yang ada di lingkungan industri dan perusahaan.

Ke depannya, Najih menyarankan agar penegakan hukum sebagai pertanggungjawaban ketertiban umum mesti diperkuat, misalnya oleh Satpol PP atau pihak kepolisian, untuk menegur dan mengambil tindakan pada aksi premanisme.

Ia meminta aparat jangan ragu untuk memberikan sanksi tegas kepada para pelaku premanisme, sepanjang pelaku usaha telah memenuhi semua standar perizinan.

“Karena ini mengganggu jalannya dunia usaha dan sudah melanggar ketertiban. Ini juga akan berdampak pada perilaku pungli dan korup pada umumnya secara keseluruhan,” tegas Najih.

Di sisi lain, Najih mengimbau pelaku usaha mempertegas legalitas usahanya. Ini perlu, agar, menjadi dasar meminta pelindungan dari pemda dan pemerintah pusat supaya tidak jadi korban premanisme.

Selain itu, Najih juga meminta perusahaan untuk memperbaiki pola komunikasi dengan warga sekitar. Contohnya, dengan membuka lapangan pekerjaan untuk warga setempat, karena hal ini sering menjadi masalah. Meski, diakuinya tidak lah bisa dengan hal ini saja premanisme hilang. Oleh sebab itu, pemerintah sebagai aktor utamalah yang memegang peranan paling depan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar